Menuju konten utama

Proses Hujan Buatan untuk Atasi Kabut Asap Karhutla di Riau

Bagaimana proses terjadinya hujan buatan dan efek sampingnya bagi kesehatan.

Proses Hujan Buatan untuk Atasi Kabut Asap Karhutla di Riau
Pengendara melintas di Jembatan Kahayan yang diselimuti kabut asap di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (15/9/2019). ANTARA FOTO/Rendhik Andika/hma/pd.

tirto.id -

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengupayakan hujan buatan dengan menggunakan kapur tohor aktif (CaO) sebagai bahan semai untuk mendorong pertumbuhan awan.

Langkah ini ditempuh untuk mengatasi asap karhutla di sejumlah wilayah di Kalimantan.

"Kami akan tingkatkan upaya TMC (teknologi modifikasi cuaca), dengan upaya kapur tohor aktif sebagai bahan semai, disemai pagi hari untuk meningkatkan kualitas udara yang memudahkan pertumbuhan awan," kata Kepala BPPT Hammam Riza dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Setelah awan baru muncul, maka akan dilanjutkan dengan penyemaian garam (NaCl) pada siang hingga sore hari sehingga dapat mendatangkan hujan buatan.

Hujan Buatan adalah upaya mengondisikan awan agar dapat menurunkan hujan. Biasanya, ilmuwan menambahkan agen eksternal ke awan untuk menambah kelembapan dan kemampuan awan mencurahkan hujan.

Dilansir dari Study Tonight, partikel asing yang ditambahkan dapat berupa es kering (karbon dioksida padat), Perak Iodida, dan bubuk garam. Proses ini dikenal sebagai Cloud Seeding.

Stimulasi pemberian zat dapat dilakukan oleh pesawat terbang atau roket.

Tahap pertama hujan buatan adalah penggunaan bahan kimia untuk merangsang massa udara melawan arah angin dari wilayah sasaran hujan buatan untuk naik dan membentuk awan.

Zat kimia ini menyerap uap air dan membantu proses kondensasi. Zat kimia yang dipakai biasanya Kalsium Oksida, Senyawa urea, dan kalsium karbonat.

Tahap kedua, setelah awan terbentuk oleh urea, es kering, garam dapur ditambahkan untuk meningkatkan kepadatan awan.

Setelah awan memadat, untuk mempercepat hujan turun, super cool atau es kering (iodida) ditembakkan ke dasar awan untuk membuat butiran air dan membuatnya jatuh sebagai hujan.

Hujan sebenarnya hanyalah fenomena sederhana, air terkena panas matahari menguap, berkumpul di awan hingga menjadi terlalu padat, partikel saling berbenturan dan akhirnya jatuh menjadi butiran air hujan.

Namun, temperatur awan juga berpengaruh pada mudah atau tidaknya membuat hujan. Awan dingin adalah awan dengan temperatur di bawah 0 derajat celcius, sedangkan awan hangat adalah awan dengan temperatur di atas 0 derajat celcius, CWBmelansir.

Di awan hangat, tetesan air akan berkembang menjadi besar dan akhirnya memecah daya apung awan dan jatuh lalu menjadi hujan di tanah.

Di awan dingin, kristal es juga berkembang hingga memecah daya tampung awan lalu turun hujan.

Saat melewati suhu di atas 0 derajat celcius, es kristal berubah menjadi hujan. Dalam menghasilkan hujan buatan, memadatkan awan adalah faktor penting, lalu membuat cairan menjadi berat sehingga daya tampung awan jebol dan hujan turun.

Hujan buatan sedang diinisiasi oleh pemerintah India untuk memerangi asap di New Delhi. Tanggal pasti memulai hujan buatan belum pasti, namun ilmuwan India terus siaga untuk menembakkan perak iodin dan zat-zat lainnya ke awan.

Sejak tahap pertama, hujan buatan dapat terjadi selama kurang lebih satu minggu, bisa lebih cepat atau lebih lambat.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai efek hujan buatan. Hujan buatan dibuat dengan bantuan perak iodida dan garam.

Menurut Ranches.org, perak iodida baik untuk jantung pada jumlah pemakaian konsumsi. Garam pun memberikan efek baik bagi tubuh dalam jumlah konsumsi wajar.

Namun, untuk menurunkan hujan, jumlah yang digunakan pasti jauh melebihi jumlah batas konsumsi.

Konsumsi iodida kronis dapat menimbulkan apa yang disebut iodisme, dengan gejala ruam kulit, hidung mengalir, sakit kepala, dan iritasi selaput lendir.

Kelesuan, anemia, penurunan berat badan, dan depresi dapat pula terjadi. Inhalasi (penghirupan) kronis dan tertlan dapat menyebabkan argyria yang ditandai dengan warna biru abu-abu di selaput mata, kulit, dan selaput lendir.

Kontak kulit kronis juga menyebabkan perubahan warna kulit. Undang-undang Kesehatan AirEPA, perak iodida dianggap sebagai zat berbahaya, polutan prioritas, dan sebagai polutan beracun.

Cloud seeding tahun demi tahun yang terlalu sering dapat menyebabkan efek kumulatif yang cukup berbahaya.

Untuk meninjau efek berbahaya dari hujan buatan, pemerintah perlu melakukan pengawasan racun perak iodida, sampel air di tempat penyimpanan air, selokan, waduk, dan penampungan air lainnya perlu dicek laboratorium.

Jadi, cloud seeding atau hujan buatan bukan pada bahaya atau tidak, tetapi seberapa berbahaya, tergantung pada konsentrasi bahan kimia yang digunakan.

Selama proses seed clouding hingga pasca hujan buatan perlu untuk terus dipantau.

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Anggit Setiani Dayana
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yandri Daniel Damaledo