tirto.id - Pertarungan Pilpres 2019 kembali menambah senarai kata “tak patut” dari kedua kubu. Setelah Jokowi melontarkan “politikus sontoloyo” dan “politisi genderuwo”, kemudian Ma’ruf Amin mengatakan “buta” dan “budek”, kini giliran Prabowo yang melontarkan kata “bajingan”.
Kata tersebut diucapkan Prabowo saat ia berkampanye di Stadion Kridosono, Yogyakarta, pada Senin (8/4/2019). Kepada para pendukung dan simpatisannya, ia mengatakan bahwa Indonesia telah “diperkosa” oleh segelintir elite di Jakarta.
“Ibu pertiwi sedang diperkosa, hak rakyat sedang diinjak. Segelintir orang elite di Jakarta seenaknya saja merusak negara ini. Mereka adalah… boleh enggak bicara agak keras di sini, tinggal 10 hari lagi, ya. Mereka adalah bajingan-bajingan,” ujar Prabowo.
Menurut Ujang Komarudin, Direktur Indonesia Political Review, kata “bajingan” yang dilontarkan Prabowo akan membuat citranya di masyarakat menjadi sosok yang emosional dan agresif. Dan hal tersebut akan merugikan dirinya.
“Prabowo sangat emosional. Itu dilakukan sebagai gerakan menyerang. Menyerang lawan politik. Dengan menyerang dan menyalahkan elite dan kubu lawan. Harapannya Prabowo mendapat simpati rakyat. Karena selama ini juga rakyat tidak suka ke elite-elite di Jakarta,” kata Ujang.
Di luar hitung-hitungan politik dari citraan tersebut, kata “bajingan” menjadi pintu masuk bagi kita sebagai penutur bahasa Indonesia untuk menengok kembali asal usul diksi tersebut.
Bermula dari Sais Pedati
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring yang dikelola Badan Pengembangan dan Pembinaaan Bahasa Kemendikbud mengartikan “bajingan” sebagai “penjahat, pencopet/kurang ajar (kata makian)”. Pengertian tersebut memang telah menjadi pengetahuan umum di masyarakat.
Namun sejumlah catatan menerangkan bahwa kata “bajingan” mula-mula berasal dari budaya keseharian orang Jawa dalam bidang transportasi.
Sebagai contoh, Olivier Johannes Raap dalam Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe (2013) menerangkan, zaman dulu dan bahkan sampai sekarang, di perdesaan di Jawa terdapat gerobak yang ditarik oleh sapi dan berjalan lambat. Sais atau kusir gerobak sapi itu disebut bajingan.
Menurutnya, perubahan arti kata “bajingan” yang kemudian berkonotasi negatif disebabkan karena gerobak sapi tersebut identik dengan pencuri yang mengambil muatan dari atas gerobak yang berjalan lamban. Padanan lain dari pencurian ini, imbuhnya, adalah banyaknya anak-anak yang kerap nggandhulatau naik dan menumpang secara gelap.
Sementara menurut Suhartono W. Pranoto dalam Bandit Berdasi: Korupsi Berjamaah Merangkai Hasil Kejahatan Pasca Reformasi (2008), kata “bajingan” adalah umpatan yang biasa digunakan masyarakat Jawa golongan bawah kepada sais gerobak.
Umpatan tersebut mengacu kepada sosok sais yang perilaku serta kata-katanya kasar, sebab ia berkomunikasi bukan dengan manusia, tetapi dengan hewan.
“Untuk masyarakat atas, priyayi, tentu tidak pernah menggunakan kata umpatan itu, demikian pula para bangsawan, jauh dari kata atau umpatan itu,” imbuhnya.
Jika kedua penulis itu menyebut perubahan makna kata “bajingan” dengan mengacu kepada perilaku manusia, baik pencuri maupun kusir, maka dalam Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta (1977) yang diterbitkan Depdikbud menyebutnya: “muka gerobak disebut bajingan.”
Maksud dari “muka gerobak” itu entah kusir atau arti lain, sebab dalam keterangannya yang panjang dalam menjelaskan gerobak para penyusun tidak menjelaskan gerobak yang berkaitan dengan manusia, tapi menerangkan bagian-bagian benda tersebut seperti tracuk, pantek, manukan, sambilan, janggutan, angkul-angkul, dan lain-lain.
Keterangan lain tentang asal mula kata “bajingan” terdapat dalam Mengulas yang Terbatas, Menafsir yang Silam (2017) yang disunting Hendra Kurniawan dan Agatha Cristhy Leatemia.
Para penulis yang mendatangi Paguyuban Gerobak Sapi Langgeng Sehati Bantul mendapat keterangan dari pendiri organisasi tersebut, Aipda Latif Munir, bahwa kata “bajingan” berasal dari nama seorang pencetus gerobak sapi yaitu Mbah Jingan.
“Kemudian kata ‘bajingan’ menjadi sebuah kata umum untuk menyebut semua pengendali gerobak sapi,” tulisnya.
Bajingan yang Enak dan Menyenangkan
Dari pelbagai catatan tersebut, kiranya mula kata “bajingan” yang sepadan dengan arti dalam KBBI lebih dekat dengan yang sampaikan Olivier Johannes Raap dan Suhartono W. Pranoto, yaitu yang berkaitan dengan pencuri dan sais yang kasar.
Arti lain kata “bajingan” di luar konotasinya yang negatif terdapat juga dalam khazanah kudapan di Yogyakarta. Seperti ditulis Murdijati Gardjito dan kawan-kawan dalam Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa (2017), “bajingan” adalah satu penganan yang terbuat dari singkong atau ketela pohon.
“Ini bukan teriakan kasar dan umpatan untuk yang mendengar, tetapi masyarakat Yogyakarta memiliki satu olahan ketela pohon yang mereka namai dengan kata kotor itu,” tulisnya.
Cara membuat bajingan mula-mula dengan memotong singkong sebesar ukuran yang pas untuk masuk ke mulut. Setelah itu, singkong direbus dan ketika agak matang airnya ditambah dengan irisan gula merah dan pandan.
“Begitu ketela itu masak dan empuk, api dimatikan. Dan setelah dingin ketela yang dikelilingi cairan kental manis inilah yang disebut bajingan. Tidak pernah ada yang menjelaskan mengapa namanya seperti itu,” imbuhnya.
Itulah bajingan yang paling enak dan menyenangkan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan