Menuju konten utama

Asal-Usul Bakpia, Makanan Khas Jogja Akulturasi Jawa dan Cina

Bakpia Jogja merupakan kuliner hasil akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa.

Asal-Usul Bakpia, Makanan Khas Jogja Akulturasi Jawa dan Cina
Pekerja menyelesaikan pembuatan kue bakpia di Industri Bakpia Rumahan Eny 523, Pathok, Yogyakarta, Kamis (28/12/2017). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Bakpia merupakan ikon oleh-oleh populer dari Yogyakarta. Tak lengkap rasanya berkunjung ke Yogyakarta tanpa membeli bakpia. Hampir di setiap toko oleh-oleh menjual makanan yang satu ini.

Bakpia adalah makanan yang terbuat dari tepung terigu yang dipanggang dengan isian berupa kacang hijau dicampur gula. Namun makanan yang dianggap khas Jogja ini ternyata sebenarnya bukan asli berasal dari Yogyakarta, melainkan berasal dari Cina.

Menurut penelitian yang dilakukan Amelia Puspita Sari dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan judul Bakpia Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Indonesia dan Tiongkok di Bidang Kuliner (Studi Kasus Bakpia 29), tertulis bakpia terbentuk dari pengaruh akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.

Perpaduan kuliner ini berhasil menghidangkan kue enak dan nikmat. Bakpia menjadi bukti, benturan budaya tidaklah berbahaya. Bakpia berasal dari dialek Hokkian dengan nama asli Tou Luk Pia yang secara harfiah artinya kue atau roti yang berisikan daging.

Di Indonesia, nama makanan ini dikenal sebagai pia atau kue pia. Bakpia pertama kali dibawa oleh pendatang asal Tiongkok, Kwik Sun Kwok, pada 1940-an ke Yogyakarta. Pada saat itu. Kwik menyewa sebidang tanah di Kampung Suryowijayan, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta milik seorang warga lokal bernama Niti Gurnito.

Pada awalnya, bakpia dibuat menggunakan isian daging dan minyak dari babi. Namun dimodifikasi menjadi kue yang tidak lagi menggunakan minyak babi dengan isian kacang hijau. Hasil adaptasi cita rasa bakpia yang disesuaikan dengan lidah masyarakat Yogyakarta mulai digemari banyak orang dan berhasil diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Pada tahun 1980an, bakpia pun semakin populer dan mulai muncul produsen-produsen rumahan bakpia di kawasan Pathuk. Para penjual membuka toko di rumah masing-masing dalam memasarkan bakpia buatannya. Bakpia dikemas menggunakan dus atau kertas karton. Bakpia ini kemudian dikenal dengan nama Bakpia Pathuk.

Seperti dikutip dari Jalan-Jalan Kuliner Aseli Jogja (Suryo Sukendro, 2009), pada masa itu, para produsen bakpia belum mengenal istilah merek dagang sehingga menjualnya dengan merek dagang berupa nomer rumah pembuatnya seperti Bakpia Pathuk 25, 75 dan masih banyak lagi. Pelabelan Bakpia dengan merek dagang nomor rumah tersebut masih tetap bertahan hingga saat ini.

Seiring dengan berkembangnya waktu dan banyaknya permintaan dari pelanggan, Bakpia Pathuk tidak hanya berisi kacang hijau saja, dan berinovasi dengan berbagai varian isi baru. Kini bakpia disajikan dengan varian isi mulai dari keju, ketan hitam, ubi, pandan, hingga coklat.

Di Jogja, sentra bakpia lain selain Pathuk adalah bakpia Glagahsari yang terletak di Jalan Glagahsari. Jalan ini membentang utara-selatan yang menghubungkan antara Jalan Kusumanegara dengan terminal lama Umbulharjo.

Bakpia Glagahsari memang tak seterkenal dan bakpia Pathuk, tetapi bakpia Glagahsari memiliki citarasa yang khas dan memiliki pelanggan tersendiri.

Baca juga artikel terkait OLEH-OLEH atau tulisan lainnya dari Destri Ananda Prihatini

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Destri Ananda Prihatini
Penulis: Destri Ananda Prihatini
Editor: Dipna Videlia Putsanra