Menuju konten utama

Asal Mula Pariwisata Bali yang Mampu Bertahan Menjaga Kekhasan

Sejak akhir abad ke-16, Bali perlahan menjadi salah satu tujuan pariwisata dunia dan selalu mampu menjaga kekhasannya di tiap-tiap perubahan yang terjadi.

Asal Mula Pariwisata Bali yang Mampu Bertahan Menjaga Kekhasan
Header Mozaik Popularitas Bali di Mata Dunia. tirto.id/Fuad

tirto.id - Setelah mengembara di Jepang untuk mempelajari Kabuki dan menjadi penerjemah Jenderal Douglas MacArthur, pada 1940-an Faubion Bowers tiba di Bali.

Setelah singgah di Denpasar dan menginap di Bali Hotel, Bowers pergi ke tujuan utamanya, Peliatan. Ia mengunjungi Anak Agung Gede Mandera, tetua adat cum ningrat yang memimpin kelompok tari Bali bernama "Dancers of Bali".

Kelompok ini sukses menggemparkan New York City melalui tarian hingga membuat Vincent R. Impellitteri, Walikota New York City kala itu, terkagum-kagum. Bowers tergelitik ingin mengetahui perubahan hidup Mandera serta anak-anak asuhnya.

"Beritahu saya Anak Agung, adakah perubahan yang terjadi [pada dirimu dan anak-anak asuhmu] usai kunjungan ke Amerika?" tanya Bowers.

"Oh, ya, tentu," jawab Mandera sambil tersenyum.

Namun, melenceng dari jawaban yang diinginkan Bowers, Mandera justru berkata bahwa "salah satu gadis telah menikah. Satu lagi kini telah memiliki pekerjaan di Denpasar. Dan kami sekarang mematok tarif [menari] sebesar lima ratus, tidak lagi seratus seperti dulu."

"Tunggu," sela Bowers, "bukan itu maksudku."

Kesal, tapi tak ingin mengusik hati Mandera, Bowers memperdalam pertanyaannya, "Apakah kamu, di dalam dirimu, telah berubah?"

"Oh, baik. Ya, pertama, saya sekarang lebih gemuk dan lebih tua," jawab Mandera.

Ekspedisi Perdana Belanda

Pada 9 Februari 1597, ekspedisi pertama Belanda tiba di Bali. Mereka berusaha memengaruhi penguasa Bali dengan mengirim Perwira Muda (Midshipman) Aernout Lintgens diutus untuk menemui Raja Bali.

Namun, ia tak bisa langsung bertemu dengan Raja. Lintgens harus terlebih dulu berhadapan dengan "kijlloer" alias seorang penengah atau broker yang mampu menghubungkan siapapun dengan penguasa Bali. Untuk mempertemukan dengan Raja, kijlloer umumnya meminta uang atau mahar.

Tak ingin memberikan uang sepeserpun kepada kijlloer, sebagaimana dipaparkan Djoeke van Netten dalam "Mapping Travel Knowledge: The Use of Maps on the First Dutch Voyages to Asia" (Trading Companies and Travel Knowledge in the Early Modern World, 2021), Lintgens bersiasat.

Lintgens memperlihatkan peta dunia kepada kijlloer sambil menyombongkan diri bahwa negerinya bukan hanya mengusai Belanda, tapi juga Jerman, Eropa Timur, Norwegia, hingga sebagian Muscovy (Moskow).

Singkat cerita, kijlloer akhirnya mempertemukan Lintgens dengan raja tanpa membayar uang.

Dalam pertemuannya dengan sang raja yang tak disebutkan namanya (kemungkinan Dalem Seganing), seperti sikap yang ditunjukkan kijlloer, raja pun terlena dengan asal-usul utusan yang dihadapinya.

Namun, sedikit berbeda dengan kijlloer, klaim Lintgens, sang raja menunjukkan ketertarikan luar biasa terhadap peta dunia yang dibawanya. Tanpa segan raja meminta Lintgens untuk menerangkannya lebih jauh.

Raja tertarik dengan keberadaan negeri atau kerajaan lain di luar Bali. Di akhir perbincangan, raja menyampaikan keterkejutannya bahwa Bali, negeri yang dikuasainya, begitu kecil dibandingkan negeri apapun di dunia.

Keterkejutan ini, ujar Robert Elegant--jurnalis Inggris-Amerika yang menghabiskan waktunya di Asia untuk meliput Perang Korea dan Perang Vietnam--seharusnya tak membuat sang raja malu atau merasa rendah diri.

Meskipun secara ukuran geografis kecil, namun nama Bali begitu besar di dunia. Demikian dituturkan Elegant dalam "Seeking the Spirits of Bali".

Ihwal Kemolekan Bali

Sejak dikunjungi dan dijajah Belanda pada akhir abad ke-16, Bali perlahan menjadi salah satu magnet utama dunia untuk berwisata. Di luar pandemi covid-19, pulau ini dikunjungi tak kurang dari 6,5 juta wisatawan mancanegara saban tahunnya.

Padahal, untuk mengunjungi Bali perlu perjuangan keras, baik biaya maupun waktu. Pada masa penjajahan Belanda, Bali hanya bisa dicapai melalui kapal ekspedisi yang berlayar selama sebulan dari Eropa dengan singgah terlebih dahulu di Malaka atau Singapura.

Sementara setelah pesawat terbang mengudara--di masa Indonesia baru merdeka--kecuali berasal dari Australia, wisatawan mancanegara arus terlebih dulu menuju Hong Kong untuk kemudian terbang ke Jakarta dan akhirnya tiba di Bali.

Namun, di balik kesukaran menuju Bali, Elegant menerangkan bahwa tantangan ini tak seberapa dibandingkan keharmonisan hidup yang dihadirkan Bali. Ia membandingkan suasana Bali dengan India, wilayah yang sama-sama berpenduduk mayoritas Hindu.

"Pembagian kasta turun-temurun yang membuat India begitu kontroversial anehnya menjadi akar kerukunan di Bali. Kemungkinan, ini bisa terjadi karena masyarakatnya baik hati, homogen, dan sebagian besar [hidup] tanpa eksploitasi. Kerukunan kasta Bali tampak sebagai keajaiban," tulisnya.

Di sisi lain, seperti dituturkan Charles P. Corn dalam "Bali: Journey To a Legend" di The New York Times, Januari 1983, populernya Bali di kalangan turis mancanegara kemungkinan terjadi karena-- meminjam istilah zaman kiwari--pengaruh influencer bernama Josep Conrad dan Walter Spies.

Berprofesi sebagai pelukis, dalam kunjungannya selama berbulan-bulan di Bali pada masa penjajahan, Conrad dan Spies dianggap berhasil menciptakan pelbagai karya lukis monumental yang menggebrak masyarakat Eropa.

Dan semua karya itu menggambarkan suasana Bali hingga memancing keinginan kuat masyarakat Barat pergi ke Bali. Keinginan yang menurut Faubion Bowers dibayar lunas olah masyarakat Bali.

"Secara artistik, pulau ini menawarkan berbagai kesenangan yang menakjubkan: lukisan dan ukiran kayu dengan keahlian yang luar biasa; drama dan opera—beberapa berlangsung sepanjang malam—dengan keindahan yang luar biasa; penari dari semua jenis; dan musik, khususnya musik orkes gamelan, yang merupakan kumpulan dari metalofon, xylophone, celeste, gong, dan kendang," ungkapnya.

Ia menambahkan, "Bali tidak diragukan lagi memiliki perbendaharaan musik yang lebih banyak dibandingkan populasi penduduknya. Lebih artistik daripada tempat lain di dunia."

Menurut teori lain, populernya Bali terjadi gara-gara kedatangan warga Australia, khususnya para peselancar. Setelah mengetahui biaya berlibur ke Bali lebih murah dan ombak lautan Bali lebih menantang, maka tercipta rantai informasi tentang keindahan Bali.

Mula-mula di telinga warga Australia, dan akhirnya menjalar ke telinga warga dunia khususnya kaum Hippie asal Rusia.

Bali yang Keras Kepala

Popularitas membuat Bali berubah. Beberapa waktu sebelum Jepang merebut Indonesia dari tangan Belanda, perubahan itu sudah dimulai.

Ditandai dengan kemunculan Bali Hotel di Denpasar, menjamurnya toko-toko kelontong milik peranakan Cina yang menjajakan sabun Palmolive, brandi Prancis, gin Belanda, hingga bir Cekoslowakia. Selain itu, berdiri dua bioskop, yakni Vishnu-Hollywood dan Maya, serta toko buku Klasik Komik.

Setelah kemerdekaan, perubahan ini dilanjutkan dengan kemunculan Pertamina Cottages, Bali Beach Inter-Continental, dan Bali Hyatt Hotel, serta "diokupasinya" Kuta oleh turis mancanegara sebagai markas utama mereka di Bali.

"Kuta bukan lagi bagian dari pulau saya. Kuta adalah wilayah kantong warga asing," ujar salah seorang aristrokrat Bali yang ditemui Charles P. Corn.

Kini, perubahan itu, dalam bentuk kemunculan pelbagai infrastruktur wisata, kian menjadi-jadi. Serta bukan hanya Kuta yang menjadi kantong warga asing, misalnya, tetapi juga Canggu. Dibanjiri jutaan wisatawan, masyarakat Bali kian tergantung hidupnya dengan dunia pariwisata.

Di saat normal, ketergantungan ini bukan masalah, malah menjadi berkah. Namun, saat pandemi Covid-19 mendera, Bali terkena imbas yang luar biasa.

Sebelum pandemi, pariwisata menyumbang 53 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali, dan memberi kontribusi senilai $9,34 juta atau setara dengan 55,26 persen perolehan devisa di sektor wisata nasional.

Saat pandemi, kunjungan wisatawan merosot tajam, dari jutaan menjadi hanya 25 orang per triwulan 1-2021.

"Bali kosong melompong, tak ada kegiatan apapun dan tak ada penghasilan apapun. Untuk bertahan hidup pilihannya cuma dua, bantuan dari orang-orang yang masih memiliki harta atau menjual barang berharga yang dimiliki. Pas pandemi, tanah dan mobil milik orang Bali dijual murah meriah," tutur seorang warga yang saya temui.

Pandemi Covid-19, diakui warga Bali, sangat merusak sendi kehidupan. Jauh lebih mengerikan dibandingkan Bom Bali karena berlangsung lebih lama.

Infografik Mozaik Popularitas Bali di Mata Dunia

Infografik Mozaik Popularitas Bali di Mata Dunia. tirto.id/Fuad

Bencana yang dihadirkan pandemi Covid-19 mendorong gagasan memperkecil ketergantungan Bali terhadap dunia pariwisata digelorakan. Semisal dengan membangkitkan kembali sektor pertanian yang di era 1970-an mampu menyerap 60-70 persen tenaga kerja.

Di sisi lain, ratusan tahun menggenggam predikat sebagai magnet dunia, banyak pihak khawatir gagasan ini justru menghilangkan ciri mengapa Bali menjadi Bali. Namun, merujuk catatan sejarah, Bali selalu mampu menjaga kekhasannya di tiap-tiap perubahan yang terjadi.

Terlebih, menurut Bowers, Bali memiliki senjata pamungkas bernama mud (lumpur) yang diartikan sebagai bored (bosan) atau boredom (kebosanan). "Masyarakat Bali mudah mengembangbiakkan mud, pulau ini sering tersapu oleh kegilaan baru," ujarnya.

Lukisan gaya Bali yang mulai dikenal dunia sejak 1927, misalnya, lahir atas kebosanan seniman-seniman Bali meniru lukisan-lukisan gaya klasik Jawa. Tanpa segan, lukisan gaya Bali diciptakan dengan mendompleng ciri artistik milik Walter Spies (gaya Persia), yang dibumbui dengan kekhasan Bali.

Pamela G. Hollie, dalam "Caught in a World of Change, Balinese Go Their Own Way" (arsip The New York Times, Mei 1982), menyebut bahwa salah satu kunci mengapa perubahan tak akan menghilangkan kekhasan Bali adalah sikap keras kepala dalam arti positif.

"Ketika orang berkumpul dan berbicara, mereka berbicara tentang seni, panen padi, serta festival keagamaan dan adat istiadat. Orang Bali, sebagian besar, bebas dari pengekangan material. Ini adalah tempat sederhana," tulis Hollie.

Pengamatan yang selaras dengan penuturan Anak Agung Gede Mandera, tetua adat cum ningrat yang memimpin kelompok Dancers of Bali kepada Bowers.

Ditanya tentang perubahan dirinya setelah berhasil menaklukkan publik New York City, Mandera menjelaskan bahwa segala peruntungannya dari Amerika dan Eropa telah "dikunci rapat" dan hanya menjadi kenangan.

Meskipun Amerika atau peradaban Barat lebih indah dan lebih modern, terang Mandera, "saya tinggal di Bali, dan akan selalu tinggal di Bali. Tidak ada yang perlu diubah dari hidup saya gara-gara sempat merasakan suasana Amerika."

Baca juga artikel terkait PARIWISATA BALI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi