Menuju konten utama

Argumen Lemah Rektor UIN Yogya Soal Larangan Cadar

Argumen rektor UIN  Sunan Kalijaga Yogyakarta soal pelarangan cadar tidak berdasarkan argumen yang kuat.

Argumen Lemah Rektor UIN Yogya Soal Larangan Cadar
Ilustrasi perempuan bercadar. FOTO/iStock

tirto.id - Larangan menggunakan cadar di institusi pendidikan kembali mengemuka. Kali ini terjadi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Yogya). Rektor UIN, Yudian Wahyudi, mengeluarkan surat keputusan untuk "membina" mahasiswa bercadar di kampusnya.

Surat Keputusan Rektor UIN Yogya menyatakan mahasiswa bercadar wajib mendaftarkan diri sebelum 28 Februari 2018. Tim konseling yang terdiri dari lima dosen dari berbagai disiplin ilmu bertanggung jawab melakukan pembinaan. Jika lebih dari tujuh kali konseling mahasiswa tetap tidak mau melepas cadarnya, maka mereka akan diminta mengundurkan diri.

Yudian mengatakan kalau mahasiswa bercadar ini patut diduga menganut Islam "yang berlawanan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Islam moderat di Indonesia." Katanya pula, "pembinaan" ini dilakukan dalam rangka menyelamatkan mereka dari ideologi yang tidak dipahami.

Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Najib Azca, mengatakan ada yang keliru dari argumen di balik penerbitan aturan ini. Mengaitkan paham radikalisme, ekstremisme, dan Islam yang anti-Pancasila dengan penggunaan cadar adalah keliru.

"Tidak ada kaitan langsung antara cadar dengan radikalisme. Lebih tepat kalau cadar itu adalah konservatisme, yaitu cara hidup yang menafsirkan agama secara konservatif, ketat, skripturalis," kata Najib kepada Tirto, Selasa (6/3/2018) malam.

Secara lebih eksplisit, dosen yang menggeluti sosiologi gerakan Islam ini mengatakan kalau belum tentu pemakai cadar adalah penganut aliran radikal.

Menurut Najib apa yang rektor Yudian lakukan adalah upaya untuk mempertahankan citra UIN yang dikenal sebagai pusat pendidikan Islam yang moderat. Namun, kebijakan tersebut tetap saja sudah melewati batasan UIN Yogya sendiri sebagai institusi pendidikan.

"Menurut saya sudah offside kebijakan ini," tambahnya.

Kebijakan alternatif sebetulnya bisa Yudian terapkan dengan tetap menempatkan diri sebagai pemimpin sebuah institusi pendidikan. Untuk menghalau paham radikal, maka yang dapat dilakukan misalnya dialog terbuka dengan mengikutsertakan semua civitas akademika tanpa membeda-bedakan tampilan. Diskusi akademik harusnya jadi jawaban atas berkembangnya berbagai pemikiran di dalam kampus.

"Tantangan universitas adalah riset dan edukasi untuk membuat siapapun bisa mendapat perspektif yang lain," kata Najib.

Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadli, mengatakan kalau alasan pembinaan terhadap mahasiswa bercadar sangat asumtif dan tidak berdasar. Rektor UIN Yogya telah bertindak gegabah, tidak menghormati hak asasi manusia dan diskriminatif.

"Semestinya hal ini tidak diucapkan oleh seorang rektor," kata Yogi, Selasa (6/3).

Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2 menetapkan kalau setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

Sementara pada pasal 29, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik (ICCPR). Pada pasal 18 tegas dinyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Dalam komentar umum 22 pasal 18 ICCPR dijelaskan, kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaan dalam ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran mencakup berbagai kegiatan, termasuk kebiasaan mengenakan pakaian tertentu atau penutup kepala.

"Berangkat dari berbagai aturan tersebut, kami mendesak Rektor UIN Sunan Kalijaga untuk mencabut kebijakan diskriminatif soal cadar."

Kebijakan ini terdengar hingga parlemen pusat. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo punya pendapat serupa dengan LBH Yogyakarta. Katanya, kebijakan ini tidak tepat karena tidak punya landasan hukum.

Ia berjanji akan meminta Komisi VII DPR mendorong Kementerian Agama—lembaga yang membawahi UIN di seluruh Indonesia—untuk menegur rektor UIN Yogya agar dapat memisahkan antara budaya dengan ajaran agama. Menurutnya cadar lebih dekat dengan budaya tertentu, bukan agama.

Bamsoet, demikian panggilannya, meminta seluruh rektor di Indonesia mengedepankan kebijakan persuasif. "Baik kebijakan akademik maupun non-akademik," katanya.

Bukan Kali Pertama

Kebijakan serupa rektor UIN Yogya sebetulnya pernah ada di UIN Jakarta. Bedanya, di UIN Jakarta yang dilarang adalah dosen berinisial "M", dan bukan peraturan yang berlaku umum. Ketika itu, rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada, berargumen kalau kegiatan belajar-mengajar di kelas yang diampu M akan terganggu. M bahkan diberi pilihan untuk mengundurkan diri.

Dede mengaku pernah memberikan pilihan soal ini, yaitu dosen bercadar tetap bisa mengajar sepanjang melepasnya ketika di kelas. Atas pilihan itu M mengambil opsi berhenti mengajar. "Pilihan dia mengundurkan diri, bukan saya pecat," kata Dede kepada Tirto, 1 Agustus lalu.

Pengamat pendidikan Budi Trikoryanto mengatakan kalau kebijakan rektor UIN Jakarta diskriminatif. Budi menolak argumentasi Dede bahwa cadar dapat mengganggu pola komunikasi saat mengajar. Menurutnya jika memang benar, mestinya pihak universitas menyediakan fasilitas yang dapat mengatasi hambatan itu. "Misalnya pakai mic wireless," katanya.

Baca juga artikel terkait PELARANGAN CADAR atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Rio Apinino