tirto.id - Fachrul Razi hanya butuh beberapa jam untuk menarik perhatian publik usai dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, 23 Oktober lalu. Saat itu dia bilang bukan Menteri Agama Islam, tapi "Menteri Agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada lima agama."
Entah silap lidah atau bukan, yang jelas pernyataan Fachrul tidak sesuai karena bukan lima agama yang diakui di Indonesia.
Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menyebut Fachrul tidak kompeten dan sebaiknya banyak-banyak berdiskusi.
"Pernyataan ini memang terlihat melindungi seluruh agama, tetapi mengandung kesalahan mendasar. Kesalahan tersebut selama ini menjadi sumber diskriminasi terhadap kelompok minoritas," kata Arip kepada reporter Tirto, Jumat (8/11/2019).
Arip mendasarkan pernyataannya pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UU 1/PNPS/1965. MK menyatakan negara tidak memiliki hak atau kewenangan untuk tidak mengakui eksistensi suatu agama. Sebaliknya, negara wajib menjamin dan melindungi agama-agama yang dianut masyarakat Indonesia.
"Pernyataan ini serupa pula dengan penjelasan Pasal 1 UU/PNPS/1965," imbuhnya.
Penjelasan pasal tersebut mengatakan: Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Confusius).
"Jika Menag menafsirkan penjelasan ini sebagai pengakuan oleh negara, ada enam agama yang disebut," ujarnya.
Fachrul kembali membikin kontroversi sepekan kemudian. Saat itu ia mengusulkan melarang aparatur sipil negara memakai cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintahan.
"Demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu," katanya di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Sadar bahwa pernyataan ini memicu kegaduhan, satu hari kemudian, Fachrul bilang itu hanya usul dan belum jadi keputusan.
Direktur Riset Setara Institute Halili menilai Fachrul sebenarnya cukup berbeda ketimbang menteri-menteri agama lain pasca Orde Baru. Menurutnya para pendahulu Fachrul cenderung mempertimbangkan psikologi jemaah atau anggota organisasi masyarakat tempat mereka berasal.
Para menteri terdahulu berasal dari Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah. Sementara Fachrul adalah purnawirawan TNI. "Fachrul tidak terlalu terikat ketat dengan ormas Islam tersebut," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta tersebut kepada reporter Tirto.
Halili mendaku sempat mengapresiasi pernyataan Fachrul ketika dia tegas menyebut diri "menteri semua agama." Namun ketika Fachrul hanya menyebut lima agama saja, Halili justru melihat ada hal serius yang mesti dibenahi.
"Karena mengeksklusi Kong Hu Cu dan kepercayaan atau agama-agama lokal," ujarnya. "Agama lokal adalah agama. Bukan entitas kebudayaan. Itu penting untuk mencegah diskriminasi pada mereka yang selama ini banyak dilakukan kelompok intoleran."
Begitu juga ketika Fachrul mempersoalkan cadar dan celana cingkrang.
Halili lantas mengatakan ketimbang "berbicara pendek-pendek ke publik dalam substansi gagasan yang parsial," lebih baik Fachrul membuat "kebijakan" yang dilakukan lewat "prosedur, mekanisme, dan pandangan yang komprehensif."
Sendirian
Dosen komunikasi politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno mengatakan pernyataan Fachrul membuktikan kalau dia tidak cocok jadi Menag. "Semakin menebalkan keyakinan publik soal ketidaksesuaian kemampuan dia," ujar Adi kepada reporter Tirto.
Selain itu, menurut Adi, pernyataan Fachrul juga membuktikan kalau dia masih belum bisa beranjak dari kebiasaan di lingkungan kemiliteran, terutama terkait komentar dia tentang radikalisme.
"Menag harus menggunakan pola-pola yang soft untuk mengkritik munculnya fenomena radikalisme itu. Kalau begitu kan masih menggunakan pola-pola militer, head to head."
Citra Fachrul semakin turun ketika tidak ada yang mendukung. Ini juga terkait dengan latar belakangnya yang bukan anggota ormas Islam. "Dulu saat Menag Lukman, sekalipun pernyataannya kontroversial, ada yang bela," katanya.
Pernyataan terakhir itu dipertegas dengan sikap Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud. Marsudi enteng menyerahkan semuanya kepada Fachrul.
"Pak Menag, kan, yang punya program. Kami mau melihat saja, dia mau melakukan apa," kata Marsudi kepada reporter Tirto.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino