tirto.id - Asosiasi petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyuarakan penolakan mereka atas rencana impor gula mentah (raw sugar) sebanyak 381 ribu ton yang akan dilakukan pemerintah. Mereka mengklaim, impor ini diadakan saat proyeksi kekurangan produksi gula nasional belum diketahui.
"Perkiraan produksi gula giling secara riil baru diketahui sekitar bulan Agustus 2016 atau pada saat puncak musim giling, sehingga baru akan diketahui stok gula mencukupi atau tidak," kata Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (22/5/2016).
Protes APTRI, menurut Soemitro, dipicu oleh terbitnya surat Menteri BUMN Nomor: S 289/MBU/05/2016 pada 12 Mei 2016 mengenai Impor Raw Sugar tahun 2016. Soemitro menuding, surat itu dikeluarkan saat dasar penghitungan maupun alasan impor tersebut belum jelas sepenuhnya
"Kami khawatir stok gula tahun 2016 melebihi kebutuhan dan dampaknya harga gula turun, terlebih pada awal tahun 2016 ada impor gula PPI sebanyak 200 ribu ton," imbuhnya.
Harga Patokan Petani (HPP) gula tani tahun 2016 hingga saat inibelum ditetapkan. Situasi ini membuat petani belum memiliki kepastian dalam menghitung hasil minimal pendapatan pada saat panen.
Para petani mendesak HPP gula tani ditetapkan sebesar Rp10.600 per kilogram. Namun, harga gula di pasaran mencapai Rp15.000 per kilogram, sehingga amat memberatkan konsumen.
"Kami berpendapat bahwa harga saat ini adalah skenario yang dibuat untuk mengesankan seakan-akan stok gula tidak ada, sehingga ujungnya minta impor," katanya lagi.
Ia mengatakan, kebijakan impor gula mentah dengan alasan kompensasi agar PTPN dan PT RNI menjamin rendemen minimal 8,5 persen merupakan kebijakan instan dan tidak mendidik. Apalagi, imbuhnya, rendemen rendah terjadi karena pabrik gula tidak efisien.
"Terbukti pabrik gula yang efisien rendemennya bisa di atas 8,5 persen, sehingga yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kinerja pabrik gula agar efisien," ujarnya.
Soemitro berpendapat bahwa pemerintah semestinya menggenjot revitalisasi total terhadap efisiensi produksi pabrik gula dibandingkan meningkatkan volume impor gula mentah untuk mengamankan kebutuhan konsumsi nasional.
Keuntungan hasil pengolahan gula mentah bagi pabrik yang tidak efisien, menurutnya, akan habis untuk menjamin rendemen pada petani. Hal ini membuat keuntungan tersebut tidak bisa dialokasikan untuk revitalisasi pabrik-pabrik gula.
"Pada prinsipnya kami para petani sangat mendukung jaminan rendemen 8,5 persen, tanpa embel-embel kompensasi impor 'raw sugar'," ujar Soemitro. Impor gula mentah sempat dilakukan oleh pabrik-pabrik gula BUMN dan swasta, namun tidak berkontribusi nyata terhadap perbaikan kinerja pabrik gula. (ANT)
Editor: Putu Agung Nara Indra