tirto.id - William Kusmono, bocah berumur 6 tahun, tengah bersama kakaknya yang berumur 8 tahun, di kawasan Jakarta Barat, 13 Mei 1998 silam.
Bapak dan ibunda mereka pergi. Hanya ada sang kakek, berumur 75 tahun, dan seorang asisten rumah tangga menemani keduanya di rumah.
Rumah mereka lazim disebut rumah toko (ruko). Bagian depannya menghadap ke Jalan Pangeran Tubagus Angke, kawasan yang tak jauh dari Stasiun Pesing, Jakarta Barat. Sedangkan bagian belakangnya memunggungi komplek Perumahan Grawisa.
Di lantai satu ruko, orang tua William membuka toko bunga hias. Sedangkan lantai dua dan tiga bangunan dijadikan tempat tinggal. Hari itu toko tutup.
Sekitar pukul 4 sore, listrik padam. Di luar ruko, suara-suara gaduh mulai terdengar. Orang-orang ramai berlalu lalang di jalan.
William kecil penasaran. Dia buka satu jendela di lantai dua demi melongok keadaan di luar. Namun, tak lama sang kakek datang.
"Jangan dekat-dekat jendela," hardik sang kakek sambil menarik tubuh William.
Meski sejenak, William ingat betul senja yang dia lihat. Langit sore itu berwarna merah. Senja yang lain dari hari-hari biasanya.
Saat jam dinding menunjukkan pukul 5 sore, listrik masih padam. Kemudian, William mendengar suara batu menghantam. Rukonya menjadi sasaran amukan massa yang datang.
Pilihan jalan untuk menyelematkan diri adalah segera keluar melewati pintu depan ruko. Namun, itu juga bukan keputusan yang tepat. Massa yang sudah mengamuk sangat mungkin menghadang.
Tiba-tiba seorang laki-laki muncul dari lantai tiga. Dia bukan anggota keluarga. Bukan pula orang yang William dan tiga lainnya kenal. Laki-laki itu mengajak mereka keluar ruko melalui atap.
Rencana penyelamatan itu cukup sederhana. Empat orang yang terjebak dalam ruko akan dibawa ke kompleks Grawisa. Situasi di kompleks itu cukup kondusif. Tidak ada amukan massa. Namun, berjalan di atap cukup mencekam untuk dilalui keempatnya.
William bersusah payah melalui lantai tiga menuju atap. Dadanya sesak. Napasnya terganggu asap. Sumber asap ialah ruko-ruko sebelah yang tengah dibakar.
Saat meniti atap, laju William juga tak mulus. Suatu waktu, kakinya memijak atap yang rapuh. Itu bikin badannya jatuh menimpa sebuah televisi. William sedikit luka.
Di kompleks Grawisa, mereka bernaung di rumah kepala RT. Keempatnya, bersama Bapak dan Ibunda William, tinggal di sana selama satu pekan. Ruko mereka telah hangus dibakar.
Berawal Dari Trisakti
Kerusuhan di tempat tinggal William hanya satu titik dari deretan titik kerusuhan yang terjadi selama 13-15 Mei 1998 di Jakarta.
Kronologi kejadiannya bisa diurutkan sejak mahasiswa turun ke jalan memprotes kenaikan harga sembilan bahan pokok (sembako) dan beberapa kebutuhan dasar. Namun, unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, 12 Mei 1998, adalah gong penabuh perangnya.
Pada 12 Mei 1998, mahasiswa Universitas Trisakti melancarkan unjuk rasa. Aksi tersebut dihadang aparat TNI-Polri, lalu berujung ricuh. Sebanyak empat mahasiswa Trisakti meninggal ditembak aparat dalam peristiwa ini.
Sehari setelahnya, peringatan kematian empat mahasiswa yang kelak dijuluki "Pahlawan Reformasi" tersebut digelar pada 13 Mei 1998, tepat hari ini 20 tahun lalu.
CNN melaporkan ribuan mahasiswa sudah menyemut di Universitas Trisakti pada pukul 09.15 pagi. Mereka mengibarkan bendera setengah tiang dan menggelar mimbar bebas. Di atas mimbar, para orator tak segan mengkritik rezim Orde Baru.
Sedangkan di luar kampus, kelompok massa lainnya sudah berkerumun. Mereka mengajak mahasiswa untuk turun ke jalan. Namun, sebagian besar mahasiswa menolak.
Setelah itu, kerumunan menjadi ricuh. Massa merusak mobil-mobil yang diparkir di Pusat Perbelanjaan Citraland, Grogol, Jakarta Barat. Mereka juga membakar dua gerbang tol.
Pada 14 Mei 1998 kerusuhan semakin luas. Kawasan Glodok, wilayah dengan populasi etnis Tionghoa cukup tinggi Jakarta, mulai rusuh. Pusat barang elektronika Glodok Plaza diserbu penjarah. Gedung yang terdiri atas 600 toko itu, kemudian, dibakar.
"Beberapa membawa kantong berisi batu-batu, yang lainnya membawa alat-alat untuk mendongkel pintu. Polisi menembak ke udara, tetapi gerombolan itu tidak memedulikannya. Pada akhirnya, polisi menyingkir," sebut CNN dalam laporannya.
Setelahnya Mal Yogya Klender, Jakarta Timur dibakar pada 15 Mei 1998. Selama dua hari sebelumnya, mal ini menjadi target penjarahan warga. Diperkirakan ada ratusan orang meninggal karena terbakar di dalam mal.
Selain Glodok, wilayah hunian pertama etnis Tionghoa di Jakarta, seperti Kota, Pasar Senen, Mangga Besar, dan Pasar Baru, serta rumah pertama pebisnis Liem Sioe Liong turut diserbu massa. Ini membuat sebagian pemilik toko menuliskan kata "Milik Pribumi" di bagian dinding tokonya.
Saat kerusuhan ini terjadi, Presiden Soeharto berada di Kairo, Mesir untuk bertemu delegasi negara-negara G-15. Di sana dia mengatakan "Jika saya tidak lagi dipercaya, saya akan menjadi pandita dan mendekatkan diri kepada Tuhan."
Kata-kata serupa sempat diucapkan Soeharto pada akhir 1997, tak lama setelah krisis moneter melanda Indonesia. Dalam "Exit Suharto" (New Left Review 50, March-April 2008), Benedict Anderson mengatakan kata-kata itu bermakna sang Raja Agung di masa tua menyerahkan takhta kerajaan kepada penggantinya sekaligus mengakhiri hari-harinya dengan menjadi penasihat yang terhormat, dalam kebudayaan monarki Jawa.
Kerusuhan Yang Berpola?
Jérôme Tadié mengatakan dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009) deretan bangunan yang terbakar selama kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 itu mencerminkan gerak maju para perusuh dan memperlihatkan tatanan arah berbentuk garis - seperti kerusuhan Malari 1974 dan kerusuhan 1996 - yang menyebar di seluruh kotamadya di Jakarta.
Luasnya sebaran lokasi penjarahan menyiratkan bahwa motif utama pelaku adalah ekonomi. Dalam konteks krisis, toko (383 buah), pusat perbelanjaan (32 buah), dan bank (155) merupakan sasaran utama.
Sedangkan laporan Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 (2006, PDF) menyatakan bahwa wilayah di sekitar Universitas Trisakti sebagai titik awal kerusuhan di Jakarta. Menurut laporan tersebut, awalan titik-waktu kerusuhan terjadi hampir bersamaan, antara pukul 08.00-10.00 pagi.
"Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalu lintas dan lain-lain), kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis Cina," sebut laporan TGPF.
Khusus Jakarta, Tim Relawan TGPF mencatat 1.190 orang meninggal akibat dibakar dan 27 akibat senjata, serta 91 lainnya luka-luka sepanjang kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Sementara itu, jumlah total korban perkosaan dan pelecehan seksual massal yang melapor sampai 3 Juli 1998 adalah 168 orang (I52 dari Jakarta dan sekitarnya, 16 dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya).
Kerusuhan Besar di Jakarta
William kecil tidak tahu alasan rukonya diserang oleh massa yang mengamuk. Dia rasa kakeknya tahu tetapi memilih diam. Orang tuanya pun seingatnya tidak pernah membicarakan peristiwa itu.
Kini, William berumur 26 tahun. Kepada Tirto, laki-laki keturunan Tionghoa itu mengatakan mulai sadar bahwa kejadian di wilayah tempat tinggalnya tersebut bagian dari peristiwa yang lebih besar ketika mendengar ada peringatan peristiwa 13 Mei 1998.
Menurut William "Memang, ruko-ruko sepanjang jalan Pangeran Tubagus Angke hingga Pesing hangus dibakar. Tapi saya masih kecil, saya enggak tahu. Pas ada orang memperingati peristiwa 13 Mei 1998, baru saya sadar."
Pada 13 Mei 1998, hari ini 20 tahun lalu, merupakan awal dari kerusuhan besar yang terjadi di wilayah ibu kota hingga setelahnya.
Editor: Suhendra