tirto.id - Dua pensiunan jenderal TNI berseteru. Kivlan Zen menuding Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998 dalam acara “Para Tokoh Bicara 98” di Gedung Ad Premier, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019). Wiranto merespons tudingan dengan menantang Kivlan untuk melakukan sumpah pocong.
“Oleh karena itu saya berani untuk sumpah pocong saja, 98 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu saya atau Prabowo atau Kivlan Zein? Sumpah pocong kita. Siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu, biar terdengar ke masyarakat, biar jelas masalahnya, jangan asal menuduh saja,” ucapnya.
Sejumlah kalangan mengkritisi ucapan Wiranto. Mereka mengatakan, Wiranto seharusnya menempuh jalur hukum bukan lewat sumpah pocong.
“Perdebatan Pak Wiranto dan Pak Kivlan Zein mengenai apa yang terjadi pada 1998 lebih baik diletakkan dalam narasi penegakkan hukum,” kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
Hal serupa disampaikan oleh Juru Bicara Amnesty Internasional, Haeril Halim. Menurutnya, kedua pensiunan tentara ini sebaiknya memberikan keterangan di Komnas HAM atau Jaksa Agung.
Jika ditarik ke pusaran politik Pilpres 2019, kali ini kedua kubu pendukung capres dan cawapres satu suara. Mereka mendorong Wiranto untuk sebaiknya menempuh langkah-langkah hukum daripada sumpah pocong.
Ada Apa dengan Sumpah Pocong?
Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan dibungkus kain kafan, seperti layaknya orang yang telah meninggal dunia. Sumpah ini dilakukan di hadapan orang ramai, di dalam masjid, dan kepalanya dipayungi Alquran, dengan tujuan demi meyakinkan orang lain bahwa pelaku sumpah pocong tidak bersalah seperti yang didakwakan orang kepadanya.
“Sumpah pocong dilaksanakan dengan keyakinan bahwa apabila seseorang telah berbohong, Tuhan sendirilah yang akan menghukumnya di alam baka nanti,” tulis M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (2013).
Di sejumlah daerah di Indonesia, sumpah pocong masih hidup dalam keseharian masyarakat untuk menyelesaikan pelbagai konflik. Sulit dilacak kapan sumpah pocong pertama kali dilakukan. Namun, berdasarkan atribut yang dihadirkan dalam setiap pelaksanaan sumpah ini, tradisi Islam sangat dominan.
Kaum Islam modernis atau pembaharu yang membabat praktik-praktik yang menurut mereka bid’ah, jelas tidak memperbolehkan praktik ini. Namun, di kalangan Islam tradisional, sumpah pocong diterima sebagai salah satu instrumen untuk menyelesaikan konflik.
Dalam penelitiannya, Ricklefs melihat bahwa praktik sumpah pocong terjadi di beberapa kalangan Islam tradisional, sejalan dengan praktik-praktik lainnya yang supernatural. Supernatural seperti kebal senjata tajam, perdukunan, dan lainnya tentu adalah kategori bid’ah dari perspektif Islam modernis.
Ricklefs melihat bahwa sumpah pocong lahir, hidup, dan masih bertahan sampai hari ini di kalangan Islam tradisional. Prinsip dan pemahaman keagamaan mendukung untuk praktik sumpah macam ini.
Sementara Azlinda Azman dan kawan-kawan dalam Wacana Warisan, Pelancongan dan Seni dalam Kearifan Tempatan (2015) menyampaikan, meski sulit diketahui dari mana sumpah pocong bermula, tapi berdasarkan sejumlah informasi yang mereka terima, sumpah pocong diyakini berawal dari Pandhalungan, Jember, Jawa Timur.
Sumpah ini membidik sisi psikologis, menekan mental, dan pembuktian keberanian para pengucap sumpah, dengan menghadirkan pelbagai atribut agama dan kata-kata sumpah yang mengerikan.
Para pengucap ini bersedia dilaknat Allah jika mereka berbohong. Namun, dengan dijalaninya sumpah pocong, ia akan terbebas dari tuduhan-tuduhan yang menyeretnya, dan masyarakat akan kembali tenang karena konflik telah terselesaikan.
“Pada saat masyarakat mengalami situasi konflik yang sukar dibuktikan secara undang-undang, misalnya didakwa sebagai penyebab sakitnya orang lain, didakwa mencuri, atau didakwa melakukan perselingkuhan dengan orang lain, maka sumpah pocong merupakan alternatif yang boleh ditawarkan untuk membuktikan bahwa dakwaan tersebut tidak benar,” tulis mereka.
Maksud dari “penyebab sakitnya orang lain” yang ditulis Azlinda Azman dan kawan-kawan adalah santet. Kasus dukun santet adalah pemicu paling tinggi dalam praktik sumpah pocong di Indonesia.
Saat peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh dukun santet merebak di Jawa Timur setelah 1998, sumpah pocong menjadi salah satu media yang menyelamatkan para tertuduh.
Lutfi Ahmad, seorang warga asal Desa Cangkring, Kecamatan Jenggawah, Jember, Jawa Timur bahkan dijuluki “juru selamat” karena ia tak pernah absen dalam setiap sumpah pocong yang dilakukan warga yang ketakutan karena dituding sebagai dukun santet. Ia yang telah menggelar lebih dari 1.000 sumpah pocong dipuja warga.
“Hampir saban hari ia melakukan penyumpahan. Sekali upacara tak jarang diikuti sampai tujuh orang yang dituding sebagai tukang santet. Hasilnya ampuh. Warga yang telah disumpah dengan mengenakan kain kafan bak jenazah itu selamat dari amukan warga,” tulis Gatra.
Sementara Heru Saputra dalam Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi (2007) mencatat, praktik sumpah pocong juga kerap dilakukan warga Using, Banyuwangi. Menurutnya, sebelum geger pembantaian dukun santet terjadi, budaya Using tidak mengenal pembunuhan terhadap dukun dengan cara pembantaian.
Mekanisme sumpah pocong yang dipimpin seorang kiai di bawah kitab suci Alquran di dalam sebuah masjid atau langgar, melegitimasi kejujuran seseorang yang dituduh sebagai dukun santet.
“Mekanisme budaya seperti itu merupakan salah satu model penyelesaian kekerasan dan sekaligus merupakan refleksi bahwa budaya Using tidak menyukai kekerasan, setidak-tidaknya kekerasan secara terbuka,” imbuhnya.
Namun, menurut Nicholas Herriman dalam Negara vs Santet (2013), sumpah pocong justru hanya menjadi instrumen sementara bagi meredakan ketegangan antara warga dengan orang yang dituduh sebagai dukun santet. Setelah sumpah pocong digelar, warga kembali diserang hal-hal supernatural sehingga praktik sumpah tersebut dianggap tidak efektif.
Sementara dari sisi orang yang dituduh sebagai dukun santet, cara lain untuk menyelamatkan nyawanya adalah meninggalkan desa tempat mereka tinggal. Dan pada akhirnya, warga yang terus-menerus tak mendapatkan solusi atas pelbagai kasus dukun santet, mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya cara yang efektif untuk mengatasi dukun santet adalah dengan membunuhnya.
Meski dalam catatan Nicholas Herriman sumpah pocong dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan kasus sumpah pocong, tapi mayoritas praktik sumpah ini dapat mengatasi konflik. Hal ini kemudian kerap hadir dalam persidangan kasus perdata.
Badriyah Harun dalam Tata Cara Menghadapi Gugatan (2010) menjelaskan, terdapat tiga jenis sumpah yang dijadikan alat bukti keperdataan, yakni sumpah pelengkap, sumpah pemutus, dan sumpah penaksiran.
Ia menambahkan, ketiga sumpah tersebut bersifat memberikan keterangan untuk meneguhkan sesuatu apakah benar atau tidak, atau berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak.
Menurutnya sumpah pemutus adalah sumpah yang diminta oleh pihak lawan pada pihak lainnya. Menolak untuk melakukan sumpah pemutus mengakibatkan dikalahkannya bukti, baik itu dari tergugat maupun penggugat.
“Sumpah pemutus dikenal dengan sumpah pocong, sumpah kelenteng, ataupun sumpah mimbar/gereja,” tulisnya.
Hal serupa ditulis Nur Muhammad Wahyu Kuncoro dalam Jangan Panik Jika Terjerat Kasus Hukum (2011). Ia menyampaikan, dalam sumpah pemutus, pihak yang memerintahkan kepada lawan untuk bersumpah disebut defferent. Sumpah ini harus litis dicissoir, artinya harus bersifat menentukan. Dan sumpah ini salah satunya dapat berupa sumpah pocong yang dilakukan di masjid.
Sementara pendapat berbeda disampaikan Wahyu Muljono dalam Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia (2012). Ia menilai sumpah pocong bukan termasuk sumpah pemutus karena tidak diatur dalam pelbagai aturan.
“Tidak ada aturannya […] penulis beranggapan bahwa sumpah pocong ataupun sumpah kelenteng itu bukan sumpah pemutus. Karena baik aturan kelenteng maupun aturan hukum Islam, tak mengatur masalah tersebut, juga KHU Perdata tidak mengenalnya,” terangnya.
Meski sumpah pocong disebut-sebut kerap hadir dalam ranah hukum khususnya perdata, tapi tentu saja “ranah hukum” yang mesti ditempuh dalam konteks perseteruan Wiranto dan Kivlan Zen bukan yang seperti ini. Wiranto dan Kivlan Zen, dua pensiunan tentara itu, bukan dukun santet, bukan pula orang yang terjerat dalam persoalan keseharian rakyat kecil.
Mereka para elite, tahu bahwa Indonesia adalah negara hukum. Untuk membuktikan apakah mereka terlibat atau tidak dalam peristiwa yang tonggak penting sejarah Indonesia, tentu tak sepatutnya dibuktikan atau diselesaikan dengan sumpah pocong. Perseteruan Wiranto dan Kivlan, sekaligus menunjukkan siapa diri sebenarnya elite tersebut.
Editor: Suhendra