tirto.id - Untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja Katolik, Vatikan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang khusus membahas kasus pelecehan seksual dalam lingkungan Gereja Katolik resmi dibuka oleh Paus Fransiskus pada Kamis (21/2) lalu. Pertemuan itu akan fokus pada tiga tema utama; tanggung jawab, akuntabilitas, dan transparansi.
Di hadapan 190 hadirin yang terdiri dari kardinal, uskup, kepala Gereja Ortodok Timur dan perwakilan ordo-ordo wanita dari penjuru dunia, Paus Fransiskus mengatakan bahwa umat sedunia kini sedang “mengawasi dan menunggu” agar para peserta konferensi melahirkan langkah-langkah konkret dan efisien dibanding sekedar kecaman yang biasa dan sederhana kepada para rohaniawan yang melakukan tindakan pelecehan seksual.
Setelah Paus berbicara, dia dan para pemimpin gereja yang berkumpul menyaksikan video kesaksian dari lima korban pelecehan seksual di negara yang berbeda. Dikutip dari CNN, seorang wanita, yang tidak disebutkan namanya, berbicara tentang seorang imam yang mulai melecehkannya secara seksual ketika dia berusia 15 tahun.
"Ini berlangsung selama 13 tahun," kata wanita itu. "Saya hamil tiga kali dan dia menyuruh saya melakukan aborsi tiga kali, (alasannya) cukup sederhana karena dia tidak ingin menggunakan kondom atau kontrasepsi lainnya." Wanita tersebut mengaku jika ia menolak keinginan sang imam, ia akan dipermalukan dan dipukuli. "Aku merasa hidupku hancur," katanya.
Korban yang lain dalam video mengaku dilecehkan oleh imam sejak remaja. Saat ia melaporkan perbuatan imam kepada uskup setempat, wanita itu justru balik dimarahi tanpa berusaha mendengar dan memahami terlebih dahulu.
Paus Fransiskus pada hari pertama konferensi menawarkan 21 poin refleksi sekaligus pedoman yang dibagikan kepada para hadirin. Di antaranya adalah, memiliki calon imamat yang menjalani evaluasi psikologis, para klerus dan sukarelawan yang dituntut punya kode etik yang mengatur batasan dalam hubungan antar individu, membikin protokol khusus penanganan tuduhan pelecehan, membentuk kelompok otonom yang mudah diakses korban untuk mengadukan tindak kejahatan dan lainnya.
Pada hari kedua KTT, pembahasan bergeser ke bagaimana para pemimpin gereja harus mengakui perbuatannya dan tidak terus-terusan menutupi kejadian. "Kita harus bertobat, dan melakukannya bersama, secara kolegial, karena selama ini kita gagal," kata Kardinal Mumbai Oswald Gracias, dilansir dari CBC. "Kita perlu mencari pengampunan."
Sedangkan Kardinal Chicago, Blase Cupich mengatakan bahwa prosedur hukum baru diperlukan untuk melaporkan dan menyelidiki kasus pelecehan seperti menggandeng para ahli dari luar gereja.
Selama ini yang menjadi salah satu kendala adalah penanganan kasus yang tidak kooperatif oleh institusi Gereja Katolik saat menerima laporan dugaan pelecehan seksual. Kardinal Oswald Gracias misalnya, meski jabatannya adalah kabinet Paus Fransiskus dan salah satu panitia KTT Vatikan, ia tidak luput dari kecaman keras saat menangani kasus pelecehan seksual di India.
Laporan BBC menyebut ada seorang ibu mengadu kepada Gracias pada 2015 bahwa putranya telah diperkosa oleh seorang pastor paroki. Gracias kala itu menjabat sebagai ketua Konferensi Waligereja India dan Federasi Konferensi Waligereja Asia. Alih-alih sigap membantu dengan segera melaporkan ke pihak berwajib, ia malah meninggalkan India terbang ke Roma.
Thomas J. Reese, seorang imam Yesuit pesimistis bahwa pertemuan seperti itu bisa menyelesaikan masalah. Dalam esainya untuk National Catholic Report yang tayang bulan lalu, Reese menyebut penyelenggaraan KTT yang hanya empat hari terlalu singkat untuk menangani masalah yang begitu penting dan rumit. Pertemuan juga tidak dipersiapkan dengan baik lantaran sejak dibentuk pada September 2018, sampai akhir November komite belum dibentuk.
Karena tampak tergesa-gesa dan keterbatasan waktu itulah, Reese memprediksi Paus Fransiskus akan menetapkan hukum tertentu dan memberitahu kepada para uskup tentang apa yang harus dilakukan ketika pulang ke negaranya dibanding proses dialog dan konsultasi.
Harapan dari pertemuan semacam itu adalah berjumpa dan berdialog. Budaya dan sistem hukum dari negara asal para pemuka gereja sangat bervariasi yang bisa berdampak pada sulitnya menyeragamkan kebijakan dan prosedur penanganan jika tanpa dialog intensif.
Misalnya banyak uskup dari belahan Selatan tidak percaya bahwa pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur terjadi di lingkungan Gereja Katolik. Mereka melihatnya sebagai masalah di negara-negara Barat. Ini sebagian terjadi karena banyak uskup di belahan Selatan tidak tahu seberapa buruk masalah itu. Dalam budaya setempat, bisa jadi para korban pelecehan sangat enggan untuk melaporkan tindakan yang menimpa mereka, baik kepada gereja maupun otoritas pemerintahan.
Kondisi tersebut yang tampaknya juga terjadi dalam kasus Kardinal Oswald Gracias dari India. Reese menyebut KTT Vatikan justru menjadi momentum untuk memberikan pemahaman secara gamblang tentang seluk-beluk perilaku pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di AS dan Eropa.
Terendus Sejak era Paus Yohanes Paulus II
Massimo Faggioli, seorang sejarawan gereja dan profesor teologi, mengatakan bahwa skandal pelecehan seksual disertai kekerasan ini merupakan krisis paling serius dalam tubuh Gereja Katolik sejak Reformasi Protestan di abad ke-16, dikutip dari The Guardian.
Lebih dari 30 tahun setelah skandal pertama kali meletus di Irlandia dan Australia, dan 20 tahun setelah skandal itu melanda Amerika Serikat, para uskup dan pejabat Katolik di banyak negara Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia masih menyangkal bahwa pelecehan seksual terhadap para klerus ada di lingkungan mereka, atau berusaha untuk mengecilkan masalah tersebut.
Pelecehan diduga dilakukan oleh para imamat (pastor, kardinal, uskup) Gereja Katolik. Para korban pelecehan dan kekerasan seksual adalah para anak-anak seminari baik laki-laki dan perempuan, juga para biarawati. Dalam beberapa kasus, biarawati dijadikan budak seks disertai tindak kekerasan, dipaksa aborsi, memperkosa anak-anak di bawah umur dan lainnya.
Budaya kekerasan seksual di lingkungan institusi Gereja Katolik pertama kali terungkap saat tim Spotlight dari koran Boston Globe merilis 600 cerita korban pada 2002 silam. Sejak itu, Spotlight bagai membuka tirai yang selama ini ditutup rapat-rapat. Kasus serupa lantas dilaporkan terjadi di berbagai penjuru dunia, seperti Australia, Republik Dominika, Belanda, Austria, Jerman, Spanyol, Swiss, Brasil, Irlandia, India dan Amerika Serikat dengan pelaporan waktu kejadian yang berbeda-beda.
Kasus pelecehan seksual di lingkungan Gereja Katolik sudah menjadi kasak-kusuk sejak era kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II (1978 – 2005). Pada 1989-an, menanggapi gelombang tuntutan hukum atas kasus pelecehan di lingkungan gereja, para uskup di Amerika Serikat menginginkan agar Vatikan menindak para imamat pedofil.
Mereka ingin agar orang-orang seperti itu segera dikeluarkan dari institusi demi nama baik. Tetapi Paus Paulus II bergeming, sampai akhirnya Boston Globe merilis laporan, tiga tahun sebelum Paulus II wafat.
Paus Benediktus menggantikan posisi Paus Paulus II per April 2005 di saat laporan mengenai kasus pelecehan sedang gencar-gencarnya diungkap ke publik. Di awal kepemimpinannya Benediktus tampak menjanjikan dengan mendepak pendiri institut Legion of Christ dan gerakan Regnum Christi, Marcial Maciel Degollado, setelah penyelidikan mengungkapkan ia terlibat melecehkan para anak laki-laki di seminari.
Ia juga disebut telah membubarkan sebuah ordo biarawati karena diduga kuat disalahgunakan sebagai ajang perbudakan seksual oleh para imam.
Namun, Benediktus juga menuai kritik lantaran ia tampak timpang dalam menegakkan doktrin gereja yang kaku. Kasus yang mencolok saat biarawati Margaret McBride yang duduk di komite etika di sebuah rumah sakit Katolik di Kota Phoenix, Arizona, AS dijatuhi ekskomuni (sanksi pengucilan karena pelanggaran berat) pada 2009.
Bride dihukum karena merestui aborsi kepada seorang pasien wanita yang sakit parah akibat gagal jantung dan sedang mengandung janin 11 minggu. Dokter bilang bahwa jika wanita tersebut melanjutkan kehamilannya sampai sembilan bulan, risiko kematiannya mendekati 100 persen.
Kasus tersebut menyedot perhatian publik lantaran di saat bersamaan, untuk menghukum predator seksual di Gereja Katolik butuh waktu berpuluh-puluh tahun dan itupun berbelit-belit. Padahal apa yang dilakukan oleh para pelaku pelecehan juga sama-sama menyalahi doktrin gereja dan tidak sedang menyelamatkan nyawa orang seperti yang dilakukan McBride.
Sepanjang kepemimpinan Benediktus, ia sebenarnya tidak tinggal diam menyikapi kasus pelecehan seksual. Dua tahun penuh dari 2011 sampai 2012, sebanyak 385 pastor yang diduga kuat sebagai predator seksual didepak dari Gereja Katolik. Pada 2012, Paus Benediktus juga mengadakan pertemuan yang dihadiri 100 perwakilan uskup dan membahas perkara kasus pelecehan seksual. Paus meminta maaf kepada para korban dan berbicara tentang bagaimana cara menghilangkan kasus serupa ke depan.
Belum sampai krisis reda dan janji penyelesaian dilunasi, Benediktus tampaknya angkat tangan. Secara mengejutkan pada 2013, ia memilih mundur dari jabatan Kepausan yang seharusnya secara tradisi diemban sampai tutup usia.
Di era Paus Fransiskus pengganti Benediktus, ia cukup banyak memberikan perhatian terhadap kasus pelecehan seksual yang melibatkan orang gereja. Sebuah komisi yang mengurusi kasus pelecehan seksual dibentuk pada 2014 dan berakhir Desember 2017 meski kinerjanya jauh dari harapan. Pada Februari 2018 lalu, setelah terkuaknya skandal pelecehan di Chili, Paus Fransiskus memperbarui keanggotaan komisi lagi dengan merekrut para akademisi, psikolog, para imam dan biarawati.
Kini, kepemimpinan Paus Fransiskus benar-benar diuji dalam penyelesaian kasus pelecehan. Para penyintas dan kelompok advokasi berharap bahwa KTT harus memberikan hasil yang jelas jika ingin kredibilitas Gereja Katolik dan Vatikan kembali. Mereka tidak ingin KTT hanya jadi ajang bicara dan unjuk keprihatinan saja dari para petinggi gereja.
Editor: Suhendra