tirto.id - Kasus demam berdarah dengue (DBD) telah dilaporkan meningkat di Indonesia sepanjang awal tahun ini.
Hingga 31 Januari 2019, setidaknya terjadi 15.132 kasus di seluruh Indonesia. Bahkan, ada daerah yang menetapkan kejadian luar biasa (KLB) DBD, misalnya Kabupaten Manggarai Barat dan Kota Kupang di Nusa Tenggara Timur.
Terkait hal ini Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menuturkan beberapa cara untuk mempersempit ruang gerak persebaran penyakit ini, yaitu dengan memberikan larvasida serta melakukan fogging atau pengasapan.
Namun, Nadia mengakui efek fogging hanya berlangsung selama 30 menit, sebab fungsi dari fogging hanya untuk menghilangkan nyamuk dan jentik nyamuk yang hidup sebelumnya. Setelah ada pertukaran udara, bukan tak mungkin nyamuk dan jentik akan muncul kembali.
“Jadi, prinsipnya fogging itu kan menurunkan populasi nyamuk atau jentik dalam waktu cepat. Jadi misalnya ada seribu, kita turunkan [jadi] 500,” ungkap Nadia kepada Tirto.
Sebuah studi (PDF) yang dilakukan Mika Oki dan tiga rekannya menjelaskan waktu-waktu terbaik untuk melakukan pengasapan guna mengurangi persebaran nyamuk demam berdarah. Oki, dkk memasukkan beberapa parameter tambahan seperti musim dan tingkat penularan penyakit sehingga bisa menggambarkan wabah epidemi.
Dalam temuan studi tersebut fogging sebaiknya dilakukan beberapa hari setelah puncak prevalensi, yakni ketika kejadian demam berdarah mengalami peningkatan, ketika populasi orang yang berada di masa pemulihan melebihi tingkat infeksi baru.
Jika menilik pada musim, mereka menyimpulkan bahwa waktu penyemprotan yang baik adalah awal musim penghujan.
Lebih dari itu, selain pengasapan, WHO pernah mengungkap cara lain menekan angka kejadian demam berdarah, yakni vaksinasi Dengfaxia. Namun, Nadia menyampaikan bahwa saat ini Kementerian Kesehatan belum mewajibkan program tersebut. Penggunaannya masih diwarnai pro dan kontra.
“Kalau dulu vaksinnya itu untuk yang belum pernah terinfeksi demam berdarah. Kemudian setelah dilihat lagi, rasanya indikasi itu lebih bermanfaat pada orang yang pernah terinfeksi demam berdarah,” kata Nadia.
Ia menyebutkan bahwa sekitar 80 persen penduduk Indonesia diperkirakan pernah terinfeksi demam berdarah, meskipun tak berat.
Kunci utama pencegahan demam berdarah, lanjutnya, adalah kesadaran menjaga kebersihan lingkungan. Maka dari itu, lingkungan kita tinggal harus dibersihkan dari benda-benda tak terpakai seperti botol bekas, ban atau pot terbuka, hingga bak penampungan air yang tak ditutup.
Ia juga menekankan pentingnya menerapkan 3 M (menguras, menutup tempat penampungan air, serta mendaur ulang barang bekas) untuk mencegah munculnya demam berdarah.
Editor: Maya Saputri