tirto.id - Peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD) telah dilaporkan beberapa wilayah di Indonesia sepanjang awal tahun ini. Hingga 31 Januari 2019, setidaknya terjadi 15.132 kasus di seluruh Indonesia. Bahkan, ada daerah yang menetapkan kejadian luar biasa (KLB) DBD, misalnya Kabupaten Manggarai Barat dan Kota Kupang di Nusa Tenggara Timur.
Selain Indonesia memang acapkali disebut wilayah endemik DBD, saat kasus DBD melonjak cepat, pihak yang umumnya dituntut untuk sigap dan bertanggung jawab dalam menghadapi situasi itu adalah masyarakat.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Oscar Primadi dalam keterangannya pada 29 Januari 2019, menyatakan bahwa upaya perubahan perilaku memang harus dilakukan dalam menyikapi DBD. Artinya, persoalan DBD bukan hanya soal nyamuk, tapi juga faktor perilaku manusia yang mendukung perindukan nyamuk meningkat.
Kasus DBD Fluktuatif
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dalam laporan strateginya, “WHO Global strategy for dengue prevention and control 2012–2020” menunjukkan di sebagian besar negara-negara di wilayah Asia Tenggara, DBD menjadi endemik.
WHO juga menyebut di berbagai negara pola musiman DBD berbeda. Jumlah kasus yang tinggi di India, misalnya, terjadi antara Agustus dan November. Di Indonesia, puncaknya umum terjadi pada bulan Januari hingga Februari. Di Myanmar dan Sri Lanka, peningkatan jumlah kasus dilaporkan antara Mei dan Agustus.
Menurut data Ditjen P2P Kemenkes RI, rata-rata ada 400-an wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia yang melaporkan kejadian DBD setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 2010-2016, jumlah kabupaten/kota yang mengalami DBD di Indonesia mencatat tren kenaikan, sekalipun kembali menurun pada 2017.
Sementara itu, untuk incident rate atau angka kejadiannya, jika dirata-ratakan di seluruh wilayah Indonesia, ada 49 kasus DBD per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Pada periode 2008-2010, rataannya 65 kasus DBD per 100.000 penduduk setiap tahun. Peningkatan drastis terjadi pada periode 2015-2016 dan ilai lebih rendah terjadi pada 2011-2012, 2014 dan 2017.
Kejadian di Satu Wilayah Bisa Naik Drastis Saat di Wilayah Lain Turun
Jika membandingkan data 2016 dengan 2017, kasus IR DBD yang terjadi di wilayah Provinsi Bali angkanya turun hingga lima kali lipat. Sementara itu, di wilayah Provinsi Kalimantan Barat justru mengalami kenaikan hingga lima kali lipat. Kasus penurunan di Provinsi Bali menegaskan bahwa pencegahan kasus DBD melalui intervensi perilaku bisa dilakukan.
Melihat gambaran fluktuatif IR per tahun dan bahkan per wilayah, muncul pertanyaan, benarkah peningkatan kasus DBD di waktu-waktu tertentu erat kaitannya dengan faktor perilaku manusia? Apakah mungkin melakukan deteksi dini terhadap wabah DBD?
Wilayah Rentan
Jumlah kasus kasus DBD yang besar terjadi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa terhadap, karena penduduknya juga memang paling padat. Data Kemenkes (PDF) memperlihatkan di Jawa Barat ada 10.016 kasus DBD sepanjang tahun. Menyusul Jawa Timur sebanyak 7.838 kasus dan Jawa Tengah dengan 7.400 kasus. Angka itu kontras dengan yang terjadi, misalnya, di Lampung sebanyak 2.908 kasus, Aceh 2.591 kasus atau Jambi 525 kasus.
Angka kematian kasus DBD di tiga provinsi Pulau Jawa itu juga tertinggi di Indonesia. Sorotan mengenai wilayah-wilayah di Jawa Timur yang punya kasus DBD terbanyak sepanjang Januari 2019 patut mendapat perhatian. Artinya, jika memang wilayah itu pernah punya angka kejadian tinggi, sistem peringatan dini semestinya dijalankan oleh pemerintah.
Kondisi Iklim di Waktu Tertentu
Pada aspek lainnya, membaca kasus DBD dalam hubungannya dengan situasi iklim pantas lebih banyak didorong ke publik. Artinya, sistem peringatan dini tidak hanya berdasar pada persoalan perilaku kebersihan dan kesehatan masyarakat semata, tapi menggunakan proyeksi wilayah lengkap dengan deteksi sistem informasi geografis.
Dian Perwitasari dkk, dari Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI pernah melakukan studi terbatas atas kondisi iklim dengan pola kejadian demam berdarah (PDF). Mereka mencoba membuktikan bahwa curah hujan yang berkisar di atas 200 mm dan hari hujan lebih dari 20 hari, dengan perkiraan perubahan suhu antara ± 25-27 0C dan kelembaban sebesar 80-87% berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kasus DBD sampai lebih dari 200 kasus.
Studi tersebut memang dilakukan secara terbatas untuk Kota Yogyakarta (2004-2011). Hasilnya, mereka meyakini bahwa kondisi iklim demikian menjadi salah satu faktor kuat peningkatan jumlah kasus DBD, terutama pada bulan-bulan tertentu.
Pola sama dapat kita pergunakan dalam membaca situasi terakhir. Melihat peningkatan kejadian DBD yang terjadi di Kediri, Ponorogo, dan wilayah lain di Jawa Timur, kita juga dapat menghubungkan dengan kondisi iklimnya.
Di wilayah Jawa Timur pada bulan Januari, memang tercatat curah hujan, hari hujan, rata-rata suhu, dan kelembaban yang tidak jauh berbeda dengan angka-angka yang dicatat Dian Perwitasari dkk. Artinya, kasus peningkatan DBD semestinya bisa diperkirakan dari kondisi iklim yang mendukung penyebaran DBD.
Penguatan sistem peringatan dini berdasarkan data iklim dan penanganan dengan menggunakan data geografis kasus secara lokal sangat dibutuhkan. Kemenkes RI bisa tidak sebatas memberi rambu dan melakukan penanggulangan pasca-kejadian. Pencegahan dapat dilakukan bukan hanya dalam mengintervensi perilaku atau menunjuk faktor perilaku kesehatan masyarakat. Tindakan pencegahan bisa juga dilakukan berdasarkan amatan dan analisis atas pola perubahan iklim di lokasi tertentu.
Editor: Maulida Sri Handayani