tirto.id - Hubungan Lion Air dan perusahaan pembuat pesawat Boeing tampaknya makin meruncing setelah pesawat JT-610 jenis Boeing 737 Max 8 dengan nomor registrasi PK-LQP jatuh pada 29 Oktober 2018. Manajemen Lion Air mengancam membatalkan pesanan pesawat senilai 22 miliar dolar AS dari Boeing.
Ancaman itu muncul selepas pabrik pesawat asal AS itu mengeluarkan pernyataan yang dianggap tidak adil terhadap Lion Air.
"Saya merasa dikhianati. Saya tengah mempersiapkan dokumen untuk pengajuan pembatalan pesanan pesawat. Semuanya masih dalam pertimbangan sekarang," kata pemilik Lion Air Grup Rusdi Kirana seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (06/12/2018).
Rusdi menilai Boeing mencoba mengalihkan perhatian publik dengan menyalahkan Lion Air atas kecelakaan akhir Oktober 2018 yang lalu.
Ia juga menganggap komentar Boeing sangat tidak etis. Seharusnya, kata dia, seluruh pihak tidak boleh berkomentar terhadap laporan pendahuluan (preliminary report) dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
"Kami adalah salah satu pelanggan terbesar mereka. Saat ini, kami sedang dalam situasi yang sulit. Sebagai mitra, mereka seharusnya membantu, bukan malah memberikan kesan negatif kepada kami," tutur Rusdi.
Rencana Rusdi membatalkan pembelian pesawat ini tampaknya tidak bisa dilakukan sepihak. Ini karena pembatalan juga harus dinegosiasisikan dengan Boeing, terlebih jumlah pesawat Boeing 737 Max 8 yang dipesan Lion mencapai 188 unit. Meski begitu, Rusdi agaknya keukeuh membatalkan seluruh pesanannya itu.
"Kami siap menangani konsekuensi yang akan datang nantinya, apa pun itu," tegas Rusdi.
Konsekuensi Pembatalan Pesanan
Ketua Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto menilai pembatalan pesanan pesawat yang dilakukan Lion Air bukan hal baru dan lazim terjadi di dunia penerbangan.
"Banyak, kok, maskapai yang membatalkan pesanan pesawatnya. Apakah itu karena kondisi ekonomi, permintaan melambat atau lain sebagainya. Saya kira wajar-wajar saja," tutur Bayu kepada reporter Tirto.
Kelaziman ini bukan tanpa konsekuensi. Bayu menyebut konsekuensi yang biasa terjadi adalah deposit berupa uang muka atau booking fee yang sudah dibayarkan maskapai kepada perusahaan tidak kembali. Konsekuensi paling buruk adalah tuntutan perdata jika pesawat yang dipesan maskapai, berjumlah banyak.
Sementara itu, konsultan penerbangan dari CommunicAvia Gerry Soejatman menjelaskan pembatalan ini tidak terlalu sulit dilakukan dan bukan persoalan rumit jika disepakati jauh hari sebelum pengiriman.
Kondisi akan berbeda apabila pembatalan dilakukan saat waktu pengiriman sudah dekat. Besar kemungkinan, kata Gerry, maskapai pun tak akan membatalkan karena mereka akan mendapat konsekuensi yang lebih besar.
Pada sisi lain, Gerry menyebut, pemesanan pesawat dalam jumlah yang besar umumnya dibiayai perusahaan leasing pesawat. Untuk itu, maskapai biasanya akan berhadapan dengan perusahaan leasing ketimbang perusahaan pembuat pesawat seperti Boeing.
"Buat perusahaan leasing, ada maskapai yang batal sewa pesawat, mereka tidak akan terlalu pusing. Pasalnya, pasar tukar-tukaran delivery date atau tukar-tukaran pemesanan pesawat itu ada pasarnya," jelas Gerry.
Namun hal itu tak berlaku jika pembatalan dilakukan saat masa pengirimannya sudah dekat, misalnya sekitar 1-3 bulan. Perusahaan leasing juga akan merasa kesulitan untuk mencari maskapai lain lantaran mereka butuh minimal waktu enam bulan untuk mencari pengganti.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Mufti Sholih