Menuju konten utama

Apa yang Diinginkan PDIP dengan Sistem Pemilu Tertutup?

Kendati memenangkan pemilu dua kali berturut-turut, PDIP ingin mengganti sistem pemilu jadi proporsional tertutup.

Apa yang Diinginkan PDIP dengan Sistem Pemilu Tertutup?
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politiknya dalam HUT ke-50 PDI Perjuangan di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023). HUT ke-50 tahun PDI Perjuangan bertemakan Genggam Tangan Persatuan Dengan Jiwa Gotong Royong dan Semangat Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/hp.

tirto.id - April 2008 jadi salah satu momen gelap dalam sejarah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kader mereka, Al Amin Nur Nasution, dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat suap alih fungsi hutan lindung dengan barang bukti Rp71 juta. Kala itu Amin adalah anggota DPR untuk periode 2004-2009.

Sehari setelah penangkapan, dosen Ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Kristen Indonesia, Victor Silaen, melempar pertanyaan kepada mahasiswanya soal sosok Al Amin ini. “Pernahkah Anda mendengar nama Al Amin Nasution?” Seluruh mahasiswa serempak memekik: “Tidak!” Victor, yang juga pemimpin tabloid Reformata, kembali mengajukan pertanyaan susulan: “Kenapa tidak?”

Sebenarnya ketidaktahuan para studen dapat dimaklumi karena mereka belum tentu berasal dari daerah yang sama dengan Al Amin, Jambi, meski dia dipilih berdasarkan sistem pemilu proporsional semi-terbuka. Namun jawaban mereka beragam. Menurut Victor, semua itu pada intinya adalah karena Al Amin bukanlah tokoh tenar yang dipilih karena dianggap punya kapabilitas.

“Kecuali bagi penggemar infotainment, karena Al Amin pernah bercerai dengan seorang penyanyi dangdut,” tulis Victor di Reformata edisi 82 tahun 2008.

Kritik kepada anggota dewan yang tak dikenal apalagi mewakili masyarakat sebenarnya bukan barang baru. Di era Orde Baru, itu misalnya dilakukan oleh musisi yang kini telah menyandang titel legendaris, Iwan Fals. Lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” yang dikeluarkan menjelang Pemilu 1987 ini menjadi populer dan mengudara di mana-mana.

Saudara dipilih bukan dilotre

Meski kami tak kenal siapa saudara

Kami tak sudi memilih para juara

Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha......

Sebagian orang menafsirkan lagu ini setidaknya memuat tiga poin kritik. Pertama, kritik terhadap maraknya nepotisme karena banyak anggota DPR punya pertalian darah dengan pejabat pemerintah. Kedua, anggota DPR mengabaikan tugasnya. Ketiga, kritik terhadap sistem pemilihan proporsional tertutup yang membuat masyarakat buta terhadap pilihan mereka.

Dalam sistem proporsional tertutup masyarakat hanya bisa mencoblos partai, bukan orang yang dianggap bisa mewakili mereka. Maka tak heran liriknya adalah meski kami tak kenal siapa saudara.

Sistem ini mulai diganti dengan proporsional terbuka karena semangat Reformasi. Lewat sistem ini orang mencoblos calon yang mereka yakini. Meski belum maksimal sebagaimana digambarkan dalam kasus Al Amin dan mahasiswa Victor, kelebihannya banyak--sebagaimana dituturkan salah seorang anggota dewan.

Kendati demikian, sekarang wacana kembali ke proporsional tertutup muncul. PDIP adalah partai yang paling mendukung sistem lama itu diterapkan kembali.

Infografik Pemilu Ala Orde Baru

Infografik Pemilu Ala Orde Baru

Biaya Mahal Jadi Alasan

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan ongkos yang dikeluarkan seorang politikus untuk berhasil duduk di parlemen mencapai Rp5 hingga Rp100 miliar. Angka ini didapat dari hasil riset internal oleh politikus lawas PDIP Pramono Anung.

Sebab inilah yang melatari PDIP mendukung proporsional tertutup.

Kekurangan sistem proporsional terbuka juga pernah dipaparkan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam Democracy For Sale (2020). Biaya banyak dihabiskan para caleg untuk melakukan kampanye tatap muka dengan konser atau kunjungan door-to-door dengan konstituen. Selain biaya berkeliling daerah, mereka juga harus mengeruk uang dalam pertemuan.

Pekerjaan ini tak dilakukan sendiri. Caleg terbiasa menyerahkannya kepada broker atau tim sukses. Tim inilah yang biasanya lebih sering berkunjung ke rumah-rumah. Mereka sering membagikan suvenir--entah paling sederhana berupa baju bergambar wajah caleg--hingga sembako.

Namun tak jarang juga mereka kedapatan membagikan uang (ya, politik uang) untuk membeli suara.

“Para broker lebih mengandalkan hubungan pribadi dengan tokoh masyarakat daerah tersebut dan menjanjikan pemberian uang untuk ditukar dengan suara,” catat Aspinall dan Berenschot.

Kekurangan tersebut tak ditampik pula oleh para ahli dan partai politik. Namun, pada 2014, toh perdebatan selesai setelah dilakukan uji materiel UU Nomor 10 Tahun 2008. Intinya adalah setelah judicial review yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu sistem proporsional terbuka murni-lah yang dipakai.

Dengan sistem proporsional terbuka murni, pemilu diharapkan dapat selaras dengan kedaulatan rakyat.

Meski sistem proporsional terbuka belum berhasil sepenuhnya karena tidak mewakili seluruh kelompok, namun sistem tertutup bisa jadi lebih parah. Karena bagaimanapun, pemilihan menjadi sepenuhnya keputusan partai dan membuat prinsip demokrasi yang melenceng: kedaulatan di tangan partai.

“Sistem pemilu yang tidak mendorong aspirasi masyarakat dalam menggunakan haknya, berarti sistem pemilu tersebut mengebiri bahkan menghilangkan penggunaan hak asasi manusia itu sendiri,” tulis Muhamad Doni Ramdani dan Fahmi Arisandi dalam artikel jurnal “Pengaruh Penggunaan Sistem Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Proporsional Daftar Terbuka” (2014).

Bergantung Pada Tokoh Partai?

Dengan sistem tertutup, seharusnya caleg tidak perlu lagi terbebani biaya yang mahal. Dengan sistem tertutup, diharapkan parlemen tak hanya didominasi pengusaha saja. Dengan sistem tertutup, diperkirakan pakar di bidang masing-masing bisa menjadi wakil rakyat.

Masalahnya, tidak ada jaminan semua itu terjadi. Musababnya, mereka yang berangkat ke Senayan ditentukan oleh nomor urut dari partai. Misalnya partai A mendapat jatah dua kursi, maka kader yang punya nomor satu dan dua-lah yang terpilih. Hasilnya, ada celah bagi kader untuk mengeluarkan uang ke partai agar namanya berada di nomor urut kecil. Singkatnya biaya untuk eksternal (untuk kampanye dan lain-lain) sekadar dialihkan ke internal.

Sistem tertutup juga dianggap baik karena kader-kader yang diajukan diperkirakan bukan kader “karbitan”, tapi sudah melalui serangkaian kaderisasi. Namun perkara lain mungkin muncul: menguatnya oligarki partai.

Sistem ini dapat mencegah konflik internal partai, siapa pun pemimpinnya--termasuk di PDIP. Mereka yang menentang keputusan partai harus bersiap untuk tidak mendapat nomor urut kecil saat pemilu.

Lalu apa kira-kira yang membuat PDIP berbeda dari yang lain? Seorang pengamat menyatakan bahwa PDIP-lah yang paling diuntungkan dari sistem proporsional tertutup. Ketika elektabilitas partai lain masih sangat fluktuatif, PDIP tidak. Dan fluktuasi partai tersebut salah satunya disebabkan oleh figur yang mereka usung.

Selain karena suara partai yang tinggi, PDIP punya kader Joko Widodo yang merupakan petahana dengan popularitas tinggi. Untuk persoalan pilpres, dukungan Jokowi terhadap figur tertentu diperkirakan akan mendongkrak elektabilitas. Sedangkan untuk pileg, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Median akhir 2022 lalu, disimpulkan ketokohan Jokowi tidak berpengaruh signifikan kepada tingginya suara partai.

Namun hasilnya sebenarnya cukup tinggi. Dari survei Median, sebanyak 15,9 persen dari 1.200 responden mengaku memilih PDIP karena sering mendapat bantuan. Baru sebanyak 13,9 persen lain senang tersebab ada Jokowi di partai berlambang banteng moncong putih tersebut. Dua alasan itu menjadi motif terbesar masyarakat memilih PDIP.

Di atas kertas, partai-partai baru atau yang belum punya bukti popularitas otomatis akan terpental dari parlemen jika sistem proporsional tertutup ini dikerahkan. Apalagi, tidak semua partai baru punya figur populer macam Jokowi yang bisa memberi pengaruh.

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino