tirto.id - Pemerintah menaikkan tarif tunggal PPN sebesar 11 persen mulai 1 April 2022 mendatang dan akan bertahap naik menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Hal itu tertulis dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disepakati menjadi Undang-Undang oleh pemerintah dan DPR dalam Sidang Paripurna tanggal 7 Oktober 2021 silam, laman kemenkeu.go.id melansir.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, kenaikan PPN akan digunakan untuk masyarakat lagi berupa pembangunan infrastruktur, sekolah, subsidi LPG, subsidi listrik dan lainnya. Tarif PPN Indonesia sendiri jika dibandingkan dengan beberapa negara di dunia relatif lebih rendah, misalnya Filipina yang menetapkan PPN 12%, China 13%, Arab Saudi 15%, Pakistan 17% dan India 18%.
Apa yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax (VAT) merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Jenis pajak ini termasuk pajak tidak langsung, karena disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak sehingga penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetor pajak dari barang yang ia beli secara langsung kepada pemerintah.
Sebelumnya sistem tarif tunggal untuk PPN Indonesia ditetapkan sebesar 10 persen, namun akan naik menjadi 11 persen per 1 April 2022 mendatang.
Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009.
Kriteria Barang/Jasa yang Tidak Kena/Kena PPN
Merujuk laman fiskal.kemenkeu.go.id, berikut ini adalah penjelasan dan kriteria atau daftar barang/jasa yang tidak kena/kena PPN:
Barang yang Tidak Dikenai PPN (Non-BKP)
1. Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya:
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak:
a. beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
b. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
c. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
d. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
e. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
f. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
g. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, tidak termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga (misalnya saham, obligasi)
- minyak mentah (crude oil),
- gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat
- panas bumi
- asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; dan
- bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Barang Kena Pajak (BKP)
- Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
- Pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN.
Jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non JKP)
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa keuangan
5. Jasa asuransi
6. Jasa keagamaan
7. Jasa Pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
11. Jasa tenaga kerja
a. Jasa perhotelan
b. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
c. Jasa penyediaan tempat parker
d. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
e. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
f. Jasa boga atau katering.
Jasa Kena Pajak (JKP)
- Jasa Kena Pajak (JKP) merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
- Seperti halnya cakupan BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP, kecuali ditetapkan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Yulaika Ramadhani