tirto.id - Sejak Agustus 2016, Endang Prihatin—karyawan swasta asal Bekasi—mulai membeli emas untuk menabung. Saat itu, dia percaya, menabung emas lebih menguntungkan dibandingkan menabung uang di bank.
Dengan emas, nilai uang tak akan surut terkikis inflasi. Jika tahun ini nilai emas milik Endang setara sepuluh karung beras, lima hingga sepuluh tahun lagi, nilainya akan tetap sama.
Akhir tahun lalu, Endang mendapat bonus dari tempat ia bekerja. Dia berniat menginvestasikan uang itu karena takut habis dengan konsumsi-konsumsi yang sebenarnya tak begitu ia perlukan. Endang lalu mulai berselancar di internet, mencari tahu jenis investasi apa yang cocok untuk jumlah dana yang tak terlalu besar. Dari beberapa situs, ia menemukan reksa dana.
Ia lalu membaca lebih rinci tentang reksa dana, setelah mengetahui bahwa imbal hasilnya lebih tinggi dari sekadar menabung emas, dia putuskan untuk berinvestasi pada instrumen itu.
Namun, persoalan belum selesai. Endang masih bingung, di mana ia harus membeli reksa dana dan jenis reksa dana apa yang harus dia pilih. Dia bertanya pada teman-temannya di grup WhatsApp. Di salah satu grup, kebetulan ada dua temannya yang sudah lebih dulu investasi pada instrumen itu. Yang satu adalah pegawai pajak, satunya lagi seorang wartawan.
“Aku dulu beli di Commonwealth Bank,” kata si pegawai pajak.
“Aku pertama kali beli, di Bank Mandiri,” kata si wartawan. Endang makin bingung, muncul pertanyaan baru, di bank mana dia sebaiknya membeli reksa dana.
Reksa dana, adalah produk dari perusahaan manajer investasi. Manajer investasi lah yang mengatur porsi penempatan pada pasar uang, saham atau surat utang. Mereka juga yang menentukan komposisi saham apa yang dibeli.
Ibarat mi instan, perusahaan investasi ini adalah produsennya. Nah, reksa dana adalah mi instan-nya. Mi instan memiliki berbagai varian rasa dan jenis. Ada yang rebus, ada yang goreng. Ada yang rasa soto, rasa ayam, dan rasa-rasa lainnya. Ada yang mi-nya dari tepung terigu, ada pula yang dari tepung beras.
Begitu juga reksa dana. Satu manajer investasi tak hanya meracik satu jenis reksa dana, ada banyak racikan, dengan komposisi yang berbeda-beda. Investor kemudian memilih produk mana yang sebaiknya dibeli. Nah, berbagai jenis varian reksa dana itu dijual lewat bank, perusahaan asuransi, hingga situs-situs online.
Berbeda dengan mi instan yang harganya bisa berbeda di satu toko dengan toko lainnya, reksa dana dijual dengan harga yang sama di agen-agen penjualan yang berbeda. Jadi, tak menjadi soal membeli reksa dana di manapun, di bank apapun, atau di situs manapun. Yang harus menjadi perhatian Endang adalah, produk apa dan racikan manajer investasi mana yang harus dia pilih.
Sebelum memilih itu, investor pemula seperti Endang harus menimbang-nimbang tujuan dan jangka waktu investasinya. Ini akan membuat pilihan reksa dana-nya semakin mengerucut. Bayangkan, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai akhir 2016, ada 1.414 jenis produk reksa dana.
Jumlah reksa dana ini bertambah terus tiap tahun. Tahun 2010 hanya ada 616 produk reksa dana. Dalam enam tahun, pertumbuhannya mencapai 129,5 persen.
Secara garis besar, produk reksa dana terbagi dua, konvensional dan syariah. Investor yang tak mau uangnya dipakai untuk bisnis haram biasanya memilih membeli reksa dana syariah. Reksa dana konvensional dan syariah ini terbagi lagi menjadi beberapa jenis. Ada reksa dana pasar uang, pendapatan tetap, campuran, dan saham.
Perusahaan manajer investasi biasanya merilis panduan memilih reksa dana di situs resmi mereka. Menurut panduan yang dikutip dari PT Mandiri Manajemen Indonesia, PT Danareksa Investment Management, dan PT Schrodes Investment Management, didapat kesimpulan sebagai berikut.
Reksa dana pasar uang adalah reksa dana dengan risiko paling rendah. Ia diperuntukkan untuk jangka waktu investasi yang kurang dari satu tahun. Namun, imbal hasilnya juga rendah. Danareksa, salah satu perusahaan manajer investasi pelat merah, mengindikasikan imbal hasil reksa dana pasar uang per tahun hanya 5 persen.
Dalam meracik produk ini, manajer investasi menempatkan uang pada instrumen pasar uang dan atau efek utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu kurang dari satu tahun.
Untuk jangka waktu investasi satu sampai tiga tahun, ketiga manajer investasi itu menyarankan investor membeli reksa dana pendapatan tetap. Risikonya masih terbilang rendah, tetapi tak serendah pasar uang. Indikasi imbal hasil per tahunnya sekitar 8 persen. Dalam meracik produk reksa dana pendapatan tetap, manajer investasi meletakkan 80 persen uang ke efek utang atau obligasi. Sisanya, bisa di pasar uang atau saham.
Sementara itu, reksa dana campuran diperuntukkan bagi investasi dengan jangka waktu lebih dari tiga tahun. Racikannya mencampur antara saham, pasar uang, dan surat utang. Porsi sahamnya sedikit lebih besar dibandingkan pendapatan tetap. Indikasi imbal hasilnya juga lebih tinggi, yaitu sekitar 12 persen.
Untuk jangka waktu lebih dari lima tahun, ketiga manajer investasi menyarankan investor memilih reksa dana saham. Indikasi imbal hasil reksa dana ini paling tinggi dibandingkan yang lain, sekitar 15 persen per tahun, bahkan bisa lebih. Akhir tahun lalu, ada beberapa produk reksa dana saham yang mencetak imbal hasil di atas 30 persen.
Namun, risikonya juga tinggi. Ini karena harga saham naik turun dan sekitar 80 persen dana ditempatkan pada instrumen saham. Akan tetapi, untuk jangka panjang, reksa dana saham tentu menguntungkan.
Jika sudah mengetahui jenis reksa dana apa yang sebaiknya dibeli, hal selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah siapa manajer investasinya? Apakah ia sudah cukup teruji dan bertahan di tengah krisis? Sebab bukannya tidak mungkin manajer investasi bangkrut. Pilihlah perusahaan yang kinerjanya terbukti baik. Pilihannya bisa jadi tidak cuma satu, ada beberapa manajer investasi yang sudah berusia cukup tua.
Jika Endang sudah menentukan jenis reksa dana apa yang ia butuhkan dan membuat daftar pendek beberapa perusahaan investasi ternama, yang selanjutnya harus dilakukan adalah mengecek kinerja tiap-tiap produk jenis reksa dana. Misalkan Endang memilih reksa dana saham, cukup periksa produk-produk reksa dana saham, abaikan jenis reksa dana lainnya.
Waktu terbaik membeli reksa dana adalah saat indeks saham dan reksa dana sedang turun. Pilihlah produk yang turunnya tidak terlalu jauh ketika yang lainnya anjlok. Hal itu menunjukkan produk tersebut cukup kuat dan tahan guncangan.
Jangan malas membaca prospektus produk reksa dana. Prospektus ini bisa didapat di situs-situs manajer investasi. Atau jika pembelian reksa dana dilakukan online, agen-agen penjual seperti Bareksa atau Ipot Fund selalu menyediakan prospektus.
Lewat prospektus, investor bisa melihat kinerja produk reksa dana tersebut. Ia juga bisa mengetahui berapa total dana kelolaannya, porsi penempatan investasi, dan saham apa saja yang dibeli. Ibaratnya, investor bisa mengetahui komposisi dan kualitas racikan suatu produk.
Jika investor itu peduli lingkungan dan hak asasi manusia, ia tentu tidak akan memilih reksa dana yang menempatkan dana pada perusahaan perusak lingkungan atau pelanggar HAM.
Satu hal lagi yang paling penting adalah, jangan menumpuk uang di satu produk reksa dana yang sama. Lakukanlah diversifikasi. Belilah berbagai reksa dana dari manajer investasi yang berbeda.
Tak selesai sampai di situ, setelah menentukan reksa dana apa yang akan dibeli, investor juga harus mengetahui beberapa cara berinvestasi pada reksa dana. Farah Dini Novita, seorang penasehat finansial sekaligus pendiri Janus Financial menyebutkan ada tiga cara berinvestasi pada reksa dana.
Ada yang rutin dengan jumlah yang sama tiap bulan, cara ini disebut dollar cost averaging (DCA). Ada juga yang membeli banyak ketika harga turun dan membeli sedikit ketika harga naik, ini disebut value cost averaging (VCA). Cara terakhir adalah lumpsum, investor membeli sekaligus dengan jumlah yang besar di awal.
“Biasanya investor ini yang memang punya modal besar dan tidak ingin diribetkan dengan investasi rutin,” ujar Farah kepada Tirto, Selasa (17/1).
Masing-masing cara memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Kelebihan berinvestasi dengan cara DCA adalah investor bisa lebih disiplin dan tidak perlu aktif mengecek pergerakan reksa dana secara rutin. Tetapi hasilnya tidak semaksimal VCA, karena ada kalanya investor membeli di saat harga sedang naik.
Namun, bukan berarti VCA tidak memiliki kelemahan. Farah bercerita, ada beberapa investor yang memilih cara VCA, menunggu harga turun untuk membeli, tetapi harga tidak kunjung turun hingga uangnya terpakai untuk hal-hal lain.
“VCA ini bisa digunakan untuk yang memiliki penghasilan tidak tetap. Bukan karena mau ngeliat harga tinggi rendahnya tapi karena penghasilan yang fluktuatif,” imbuhnya.
Sementara itu, kelemahan dari lumpsum adalah investor hanya mendapatkan satu harga saja. Pada akhirnya, imbal hasil dari lumpsum akan lebih kecil dibandingkan DCA. “Kecuali kalau lumpsum-nya didapat di harga paling rendah dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, which is itu untung-untungan,” kata Farah.
Apapun cara yang dipilih, asalkan sesuai dengan kebutuhan dan penghasilan, investasi pada reksa dana tentu akan menguntungkan asalkan investor tak menjual ketika harga sedang anjlok.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti