tirto.id - Calon kepala daerah dari petahana (incumbent) berpotensi menyalahgunakan kewenangan di bidang anggaran untuk kepentingan politik. Modus yang umumnya digunakan adalah meningkatkan anggaran bantuan sosial (bansos) dan hibah menjelang pilkada.
“Pengamatan kami ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan elite terutama incumbent menjelang pilkada, biasanya bansos dan hibah,” kata Sekretaris Jendral Forum Indonesian untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenni Sucipto saat dihubungi Tirto, Senin (6/2).
Yenni mengatakan dana bantuan sosial dan hibah rawan disalahgunakan lantaran pelaksanaannya tidak diatur rinci. Kepala daerah tidak saja memiliki diskresi menentukan pihak penerima bansos dan hibah, tapi juga besaran yang diberikan. Galibnya, besaran dana bansos dan hibah ditentukan tanpa ada perencanaan program yang jelas di APBD. Pelaksanaan dilakukan melalui satuan kerja perangkat dinas (SKPD) dengan melekatkan unsur politis di dalam media sosialisasi.
“Misalnya di SKPD [membuat] hibah pendidikan untuk beasiswa. Kemudian di pamflet dilekatkan [slogan] ‘lanjutkan’ atau ‘teruskan’,” ujar Yenni.
Menurut Yenni celah penyalahgunaan dana bansos dan hibah untuk tujuan politik bisa diminimalisir. Misalnya dengan memasukkan dana bansos dan hibah dalam program khusus di SKPD. Ia percaya hal ini dapat membuat pelaksanaan pemberian bansos dan hibah lebih terukur.
“Misalnya di SKPD itu, kan, program kegiatannya terukur,” kata Yenni.
Hal senada disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto. Ia mengatakan mungkin menyalahgunakan kekuasaannya dengan memberikan bantuan sosial (bansos) atau menarik upeti dari pengeluaran izin di daerah. “Itu selalu dijadikan cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi,” ujarnya.
Ia mengatakan persoalan bisa diminanilisir dengan mengefektifkan pengawasan internal pemerintahan oleh inspektorat jenderal. Selain itu, publik juga harus mendukung pengawasan dengan membuat kanal-kanal independen yang memperhatikan penggunaan anggaran di daerah masing-masing. "Bukan malah jadi bagian dari persengkokolan," ujar Sunanto.
Argumentasi Yenni dan Sunanto tidak jauh berbeda dengan temuan tim riset Tirto. Dari sampel acak terhadap APBD di sejumlah daerah, terjadi tren kenaikan anggaran bansos dan hibah di APBD 2018 dibandingkan 2017 dan 2016. Di APBD Jawa Timur, misalnya, anggaran hibah dan bansos tahun 2018 mencapai Rp7,544 triliun. Jumlah itu tertinggi dibandingkan alokasi dana bansos dan hibah pada APBD-P 2016 sebesar Rp7,38 triliun dan APBD-P 2017 senilai Rp6,69 triliun.
Kenaikan dana bansos dan hibah juga terjadi di Jawa Tengah. Berdasarkan APBD 2018, alokasi bansos dan hibah sebesar Rp5,6 triliun. Jumlah itu melebihi pagu bansos dan hibah pada APBD-P 2017 Rp5,34 triliun dan APBD-P 2016 Rp5,35 triliun.
Di Provinsi Jawa Barat, catatan dana bansos dan hibah di APBD 2018 belum tersedia. Namun, pada APBD-P 2017 alokasi dana bansos dan hibah dianggarkan Rp9,91 triliun. Jumlah itu lebih besar dari APBD 2016 senilai Rp9,67 triliun.
Di Provinsi Papua ada Rp1,14 triliun dana disiapkan untuk bansos dan hibah berdasarkan APBD-P 2017. Jumlah itu berbeda tipis dari anggaran di APBD-P 2016 senilai Rp1,32 triliun.
Penurunan anggaran bansos ditemukan di APBD-P 2017 Kalimantan Barat yang angkanya sebesar Rp113 miliar. Lebih kecil dibandingkan anggaran pada APBD-P 2016 yang mencapai Rp1,03 triliun.
Perlu Perhatian Khusus Soal Bansos dan Hibah
Anggota Badan Pengawas Pemilu RI (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan peningkatan anggaran dan pemberian bansos maupun hibah oleh petahana jelang pilkada sudah lazim. Menurutnya, kebiasaan itu harus diperhatikan secara khusus untuk mengurangi potensi terjadinya politik uang.
“Ini sudah kita jadikan salah satu indikator dalam memetakan kerawanan pilkada," ujar Afifuddin kepada Tirto.
Menurutnya masing-masing kandidat, khususnya petahana, memiliki kesadaran untuk mencegah penyalahgunaan anggaran. "Harus juga menjadi kesadaran peserta/politisi/petahana. Kalau mereka mempunyai niatan baik yang sama, (kasus) yang begini bisa dihindari," katanya.
Berdasarkan penelitian Bawaslu, kepala daerah petahana yang hendak kembali ikut pilkada biasanya melakukan penyalahgunaan wewenang jauh hari sebelum pemilihan dimulai. Mereka memanfaatkan penyaluran dana bansos, hibah, atau penarikan upeti demi menabung modal sosial dan ekonomi saat kampanye. Tujuannya, saat pilkada berlangsung akumulasi modal telah berjalan dan bisa digunakan sebagai sumber pasokan logistik.
"Seakan “natural” dengan aktivitas rutin, padahal frekuensi (pemberian bansos) dan lain-lain bisa berkali-kali lipat," kata Afifuddin.
Wacana penggunaan anggaran daerah untuk bansos dan hibah demi tujuan politik mengemuka usai pengakuan Bupati Jombang nonaktif Nyono Suharli Wihandoko yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap perizinan dan pengurusan penempatan jabatan di pemerintahannya. Nyono yang merupakan Ketua DPD I Golkar Jawa Timur menyebut uang suap yang ia terima dari Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati untuk membayar iklan sosialisasi Pilkada 2018 dan sumbangan ke anak yatim.
Selain Nyono, KPK juga menetapkan Inna sebagai tersangka. "Nyono Suharli Wihandoko di Rutan Pomdam Jaya Guntur dan Inna Silestyowati di Rutan KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu.
Uang yang diserahkan Inna Silestyowati kepada Nyono Suharli Wihandoko diduga berasal dari kutipan jasa pelayanan kesehatan atau dana kapitasi dari 34 Puskesmas di Jombang yang dikumpulkan sejak Juni 2017 sekitar total Rp434.000.000.
Dengan pembagian 1 persen untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang, 1 persen untuk Kepala Dinas Kesehatan, dan 5 persen untuk Bupati. Atas dana yang terkumpul tersebut, Inna Silestyowati telah menyerahkan kepada Nyono Suharli Wihandoko sebesar Rp200.000.000 pada Desember 2017.
Selain itu, Inna Silestyowati juga membantu penerbitan izin operasional sebuah rumah sakit swasta di Jombang dan meminta pungutan liar (pungli) terkait izin.
Dari pungli tersebut, diduga telah diserahkan kepada Nyono Suharli Wihandoko pada 1 Februari 2018 sebesar Rp75.000.000. Diduga sekitar Rp50.000.000 telah digunakan Nyono Suharli Wihandoko untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Bupati Jombang 2018.Sebagai penerima, Nyono Suharli Wihandoko disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan pihak pemberi Inna Silestyowati disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pewarta: Benardy Ferdiansyah.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar