Menuju konten utama

Anies-Sandi dan Ujian Kesetiaan pada Parpol Pendukung

Politik itu (katanya) dinamis. Yang semula kawan bisa jadi lawan. Yang semula mencibir, kelak bisa menyanjung tinggi.

Anies-Sandi dan Ujian Kesetiaan pada Parpol Pendukung
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) bersama Anies Baswedan (tengah) dan Sandiaga Uno (kiri). ANTARA/M Agung Rajasa

tirto.id - Setidaknya ada dua jalur dukungan yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bagi warga negara Indonesia yang hendak menjadi calon kepala (dan wakil kepala) daerah, yakni partai politik (parpol) atau perseorangan. Jalur pertama jamak digunakan oleh para kontestan, tidak terkecuali Anies-Sandi yang dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta hari ini, Senin (16/10/2017).

Dengan memilih jalur tersebut, konsekuensinya, mau tak mau mereka mereka mesti berurusan dengan partai politik beserta targetnya. Ambillah contoh Ridwan Kamil. Saat diwawancarai Tirto, ia menyatakan sudah membayar "utangnya" kepada Prabowo.

"Saya diusung oleh Gerindra-PKS. Waktu saya jadi walikota saya tolong mereka, maaf ya, uang operasional dengan [uang] halal. Termasuk menjadi ketua tim pemenangan Prabowo tahun 2014," kata Emil—panggilan Ridwan Kamil. "Sudah dibayar dengan Prabowo menang di 29 kecamatan, Jokowi hanya menang di satu kecamatan di Bandung. Itu harga yang saya bayar."

Baca juga:Ridwan Kamil: "Dua Partai yang Terasosiasi Lawan Ahok Tidak di Pihak Saya"

Menariknya, relasi antara kepala daerah dan parpol pendukungnya kerap dinamis. Saat kampanye berlangsung, kedua pihak bahu-membahu meraup suara sebanyak-banyaknya demi menang pilkada. Namun, setelah kemenangan diraih dan jabatan diraup, tidak jarang keduanya pisah jalan.

Baca juga:Bagaimana Jokowi Menjual Citra

Pecah kongsi semacam ini terjadi pada kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kala menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta semasa 2014-2017.

Semula, Ahok maju sebagai wagub DKI Jakarta mendampingi Joko Widodo (Jokowi). Ahok adalah nama yang diusulkan oleh Gerindra, sementara Jokowi diusung oleh PDIP. Keduanya menang di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 dengan perolehan suara 53,82 persen suara di putaran kedua.

Pada 2014, Jokowi maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Hasilnya, Jokowi menang atas lawan satu-satunya yang tak lain adalah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Setelah itu, Ahok pun didapuk sebagai gubernur DKI Jakarta.

Sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden, pada 10 September 2014 Ahok resmi mengundurkan diri dari Gerindra. Kala itu Gerindra menjadi salah satu partai yang mengusulkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD dalam pembahasan RUU Pilkada. Ahok tidak menerima hal tersebut.

"Ngapain main di partai politik, keluar saja. Gua keluar, man, dari partai politik kalau seperti begitu caranya [kepala daerah dipilih DPRD]. Buat saya ini [kepala daerah dipilih DPRD] bukan sebuah kemunduran tapi orang yang mengusulkan itu adalah mereka-mereka yang tidak berjiwa rakyat," ujar Ahok, seperti dilansir Antara.

Prabowo pun menyesalkan tindakan Ahok tersebut. Menurutnya, Ahok tidak berpamitan terlebih dahulu sebelum keluar dari Gerindra. Sementara itu, Antaramelaporkan bahwa Ketua DPP Partai Gerindra Desmon J. Mahesa menyebut Ahok sebagai anak yang lupa kepada ‘orangtua’ yang telah membesarkannya.

"Ahok mau keluar ya biasa saja, tidak ada kerugian. Tidak rugi ditampung PDIP. Apa kontribusi Ahok di pileg dan pilpres? Tidak ada. Sebelum wakil gubernur dan sesudahnya gimana. Kita ini ibu yang baik membesarkan anaknya. Biar rakyat yang menilai, anaknya lupa sama ibunya, ya udah kaya Malin Kundang," ujar Desmon.

Baca juga:Fanatisme Massa Pendukung Ahok

Hal yang tidak jauh berbeda juga menimpa Walikota Bandung Ridwan Kamil. Dia menang di Pemilihan Wali Kota (Piwalkot) Bandung 2013 melalui jalur parpol dengan dukungan PKS dan Gerindra. Empat tahun kemudian, Emil ingin menjadi calon gubernur Pilgub Jabar 2018. Bukan dengan PKS atau Gerindra, laki-laki yang akrab dipanggil Kang Emil itu justru menerima dukungan pertama dari Nasdem—partai yang berkoalisi dengan PDIP dan menjadi pendukung pemerintah Jokowi.

Akibatnya, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan Gerindra mau mendukung Kang Emil maju di Pilgub Jabar 2018 asal dia insaf. Sementara itu, Ketua Departemen Pembinaan Badan Legislatif Daerah DPP Partai Keadilan Sejahtera Haris Yuliana mengatakan Kang Emil harus bertaubat terlebih dahulu.

"Disuruh tobat saja, karena urusan tobat ini kan ibaratnya saya berteman dengan Anda, pertemanan ini harus dijagalah," tutur Haris, seperti dilansir dari Antara.

Kata insaf dan taubat menyiratkan bahwa manuver Kang Emil menerima tawaran Nasdem adalah dosa yang teramat besar bagi Gerindra dan PKS.

Anies-Prabowo, Dari Lawan Menjadi Kawan

Karier politik Anies pun tidak lepas dari manuver politik. Menjalang Pilpres 2014 laki-laki yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina tersebut mendaftar sebagai calon presiden lewat Konvensi Partai Demokrat. Sayangnya, Demokrat hanya meraih suara 10,19 persen di Pemilihan Umum dan tidak dapat mengajukan calon presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain.

Anies pun berganti sauh. Pada gelaran 5 tahun sekali tersebut, Anies aktif sebagai juru bicara pasangan calon Jokowi-Jusuf Kalla. Di sela-sela acara Rakornas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) 29 Mei 2014, Anies menyindir gaya kampanye Prabowo Subianto.

"Kita tahu siapa Prabowo karena sudah beriklan selama 6 tahun di televisi terus-menerus. Cara berpolitik dengan biaya luar biasa mahal, tidak membuat politik menjadi sehat," ujar Anies.

Baca juga:Anies Baswedan dan Persekutuan Anti Buku

Infografik kemesraan yang cepat berlalu

Anies juga pernah menyatakan Prabowo tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Pada 17 Juni 2014, dalam sebuah diskusi di Executive Menteng, Jakarta, Anies mengkritik data milik Prabowo mengenai kebocoran anggaran kekayaan negara.

"Aneka kebocoran anggaran yang dipaparkan angkanya melenceng jauh sekali. Itu menunjukkan bahwa sense-nya enggak ada," ujar Anies.

Dua tahun kemudian, Anies mencalonkan diri sebagai cagub pada Pilkada DKI Jakarta 2017 bersama Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Gerindra dan PKS menjadi parpol utama pengusung Anies-Sandi. Di Kantor DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (6/2/2017), Anies kini menyanjung mantan komandan jenderal Kopassus tersebut.

"Saya bukan anggota, bukan kader Partai Gerindra atau PKS, tetapi Gerindra dan Pak Prabowo menunjukkan sikap kenegarawanan," ungkap Anies.

Tiga hari menjelang pelantikan Anies-Sandi, Sekretaris Jenderal PKS Mustafa Kamal mengingatkan kepada Anies-Sandi agar tidak melupakan masyarakat luas yang selama ini telah mendukungnya. Selain itu, dia juga melarang Anies-Sandi lupa dengan kader-kader PKS, Gerindra, atau partai pendukung lainnya.

Masa jabatan Anies-Sandi selama lima tahun ke depan akan menjawab apakah harapan itu terlaksana atau tidak, dan ujian pertama mereka adalah Pilpres 2019.

Baca juga artikel terkait ANIES-SANDIAGA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani