tirto.id - Anggota DPR F-PDIP di Komisi I Charles Honoris berbeda kriteria soal sosok yang pantas menjadi Panglima TNI baru menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo setelah masa jabatannya habis Maret mendatang.
Charles Honoris menilai Panglima TNI setelah Jenderal Gatot harus dipilih berdasarkan peraturan rotasi. Sehingga yang pantas menjadi Panglima TNI baru harus berasal dari Angkatan Udara (AU).
"Kalau Angkatan Udara berarti KSAU Pak Hadi. Apalagi kalau buat saya Pak Hadi adalah perwira tinggi yang tidak ada track record buruk. Cukup baik. Jadi ya saya rasa bisa membawa angin segar untuk membawa perubahan di tubuh TNI ," kata Charles saat dihubungi Tirto, Rabu (29/11/2017).
Dengan adanya rotasi itu, menurut Charles, TNI tidak akan terlalu Angkatan Darat sentris. Sehingga, pembagian anggaran pertahanan antara AU dan Angkatan Laut (AL) bisa lebih proporsional.
"Mengingat mayoritas wilayah teritorial kita itu laut ya, jadi harus dicover melalui laut maupun udara secara proporsional dan efektif," kata Charles.
Hal ini, kata Charles, juga sesuai dengan visi poros maritim yang digaungkan oleh Presiden Jokowi dalam pemerintahannya.
Charles pun tak khawatir apabila Panglima TNI dari AU akan menciptakan gejolak di publik karena disandingkan dengan peristiwa G30S yang diduga melibatkan perwira AU saat itu.
"Kalau saya rasa sejak reformasi di tubuh TNI sendiri sudah ada rekonsiliasi. Bahwa di tengah masyarakat, di publik, belum sepenuhnya terekonsiliasi karena versi sejarah yang berbeda, tapi kalau di tubuh TNI sudah clear," kata Charles.
Selain itu, Charles juga menilai Panglima TNI selanjutnya harus bebas dari kegiatan politik praktis. "Panglima TNI yang baru harus bersikap profesional. Tidak mudah tergiur untuk berpolitik dan bisa meneruskan reformasi di tubuh TNI yang memang belum selesai," kata Charles.
Berbeda dengan Charles, Anggota Komisi I F-PDIP lainnya, Effendi Simbolon menilai sistem rotasi tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam memilih Panglima TNI yang baru.
"Saya ini termasuk orang yang tidak setuju panglima diganti berdasar angkatannya atau digilir begitu. Kesannya seperti bagi-bagi jatah. Bukan berdasarkan kebutuhan. Panglima TNI itu harus dipilih berdasarkan kebutuhan," kata Effendi saat dihubungi Tirto, Rabu, (29/11/2017).
Sebaliknya, kata Effendi, Panglima TNI harus dipilih dari sosok yang komprehensif, yakni bisa menjaga stabilitas keamanan dari serangan eksternal dan internal. Termasuk menjaga stabilitas politik yang ada.
"Enggak masalah kalau angkatan darat lagi," kata Effendi.
Selain itu, Effendi pun menilai Panglima TNI yang baru harus bisa sejalan dengan kebijakan politik pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintahan Presiden Jokowi.
"Kebijakan negara itu kan yang menjalankan pemerintah. Penyelenggara negara itu kan pemerintah dan DPR. TNI adalah pelaksana dalam kebijakan-kebijakan di bidang pertahanan. Tidak bisa kemudian dia bertolak belakang atau berbeda," kata Effendi.
Kandidat Panglima TNI sesuai tradisinya disyaratkan harus berpangkat bintang empat dan pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Saat ini tercatat Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) adalah Marsekal Hadi Tjahjanto, kemudian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yakni Jenderal Mulyono, lalu Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) yaitu Laksamana Ade Supandi.
Namun berbagai kalangan meminta Presiden Jokowi memilih Panglima TNI baru berasal dari matra Angkatan Udara sesuai rotasi.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto