tirto.id - Enam tahun silam, Rogue One dirilis dan mendapatkan pengakuan luas. Film arahan Gareth Edwards itu disebut-sebut menjadi angin segar bagi waralabaStar Wars karya George Lucas.
Nyaris sepenuhnya berkisar di luar keluarga Skywalker—juga Jedi dan Sith, ia malah bisa jadi lebih digemari fan ketimbang trilogi sekuel Star Wars sendiri. Kisah sampingan itu memuat detail kecil nan krusial bagi gambar besar tiga trilogi, menghubungkan film ketiga (Revenge of the Sith) dan keempatnya (A New Hope).
Dalam cerita berskala lebih kecil, kita mendapati salah satu karakter utama yang unik, Cassian Andor (Diego Luna). Tindak-tanduknya tak terduga dengan standar moral yang ambigu.
Bagi kebanyakan orang, Andor sama sekali tak tampak seperti pembunuh atau penyintas perang. Namun jika diobservasi lebih jauh, sosok kapten Rebel Alliance itu justru mudah dipahami.
"Ada lebih dari satu jenis penjara, Kapten. Aku merasa kau membawanya [penjara] ke manapun kau pergi," ujar Chirrut Îmwe kepada Andor suatu waktu.
Masa lalu sang kapten akhirnya disibakkan dalam 12 episode serial TV prekuelnya, Andor. Dikreasikan oleh Tony Gilroy yang sebelumnya turut menulis skrip Rogue One, serial ini mulai ditayangkan di Disney+ sejak September lalu.
Berkat Rogue One yang mendahuluinya, jauh-jauh hari kita bisa berekspektasi bahwa Andor akan disampaikan dengan gaya penceritaan berbeda ketimbang The Mandalorian dan The Book of Boba Fett.
Kita bisa menantikan pertemuan pertama Andor dengan droid konyol seperti K-2SO atau penggalian kisah pemberontak individualis macam Saw Gerrera. Darinya pula, kita bisa mengharapkan kisah spionase, kerja-kerja infiltrasi, dan penjara macam apa yang dipanggul Cassian Andor ke manapun ia beranjak.
Pencuri Menuju Kapten
Pencuri yang kerap merugikan Empire dan tak segan-segan membunuh pihak yang menghalanginya. Itulah gambaran karakter Andor pada awal serial ini. Ia mengambil latar waktu lima tahun sebelum Rogue One. Di lain sisi, sosok Andor yang ini masih sangat oportunis dan berpandangan sinis terhadap revolusi di galaksi.
Dua episode awal Andor terasa biasa-biasa saja. Ia tak begitu banyak menyuguhkan kejutan. Kisahnya sendiridituturkan secara perlahan dengansisipan momen-memenflashback masa kecil Andor di planet Kenari. Apa yang dihadapi Andor sejak berusia 6 tahun di sana?
Belum ada jawaban yang pasti, selain Andor kecil yang hidup yatim piatu bersama anak-anak suku Kenari lainnya. Tak ada takarir yang disediakan saat mereka berdialog, tapi kita semua tahu bahwa proyek tambang Empire yang gagal kelak menamatkan riwayat orang-orang Kenari, menyisakan (mungkin) Andor seorang.
Andor tumbuh menjadi scavengersekaligus pencuri lantaran diselamatkan figur orang tua berprofesi serupa, pasangan Maarva (Fiona Shaw) dan Clem Andor (Gary Beadle).
Serial mulai menemukan bentuknya pada episode ketiga. Keahlian Andor merampok pesawat Imperial mengantarkannya direkrut sosok misterius Luthen Rael (Stellan Skarsgård). Pertemuan itu kemudian jadi awal dari petualangannya, dari kerja-kerja tentara bayaran yang harus menyusup serta merampok garnisun Empire hingga masuk penjara.
Pelarian-pelarian spektakuler disajikan, mulai dari melesat di antara hujan meteor Aldhani, dikejar TIE Fighters, hingga kabur dari penjara. Aspek hiburannya dilancarkan sambil diselingi kisah yang lebih personal. Ada kisah tentang hantu masa kecil yang membuat kita memahami perilaku Andor, jadi buronan beberapa pihak sekaligus, juga bagaimana sosok lone wolf itu bisa bekerja dengan baik dalam tim (yang kelak ditampilkan dalam Rogue One).
Nyaris tak ada waktu tenang bagi Andor. Sekalinya dia rehat di Niamos yang seperti Ibiza-nya galaksi, kesukaran lain telah menanti.
Latar galaksi tentu kelewat luas untuk menceritakan perkembangan karakter seorang pencuri. Di antara operasi-operasi mendebarkan yang mengubah hidup Andor, serial ini kerap berpindah-pindah fokus. Kehidupan juga tetap berjalan dengan tak biasa bagi orang-orang terdekatnya, seperti Maarva dan Bix Calleen (Adria Arjona). Beberapa flashback lainnya juga muncul, seperti bagaimana Clem dieksekusi Empire di hadapan publik.
Porsi kisah yang cukup besar dibagikan pada karakter Syril Karn (Kyle Soller), Dedra Meero (Denise Gough), dan Mon Mothma (Genevieve O'Reilly). Individu yang mengambil risiko besar dengan pendekatan tak biasa nyatanya juga ada di sisi pemerintahan totalitarian Empire.
Para pendobrak itu bisa hadir dalam wujud senator seperti Mon Mothma yang diam-diam membelot dan kelak mendirikan Rebel Alliance. Serta kader-kader ISB ambisius seperti Syril dan Dedra yang hendak menegakkan keadilan versi mereka. Aksi-aksi mereka memberi kita fakta bahwa tokoh antagonis di waralaba Star Wars bisa tetap mengerikan, meski tanpa force dan pedang cahaya.
Jajaran karakter dengan latar dan motivasi berbeda itu terhubung melalui beberapa aspek. Misalnya, obsesi meraih kekuatan demi tujuan tertentu atau—yang paling mengejutkan—ihwal hubungan ibu dan anak. Urusan yang rasanya tak begitu dieksplorasi pada kebanyakan judul Star Wars ini, justru menjadi tema berulang dalam Andor.
Pagi Itu, Revolusi Terbit
Saking seringnya tema hubungan ibu dan anak muncul, saya sempat memikirkan bahwa “Andor” sebagai judul serial tidaklah semata soal Cassian, tapi juga Maarva Andor.
Bagi sang putra, aksinya di garnisun Aldhani hanyalah perampokan biasa. Namun, sang ibu memiliki pemaknaan berbeda dan menyebut para perampok itu "pahlawan". Karena itu pula, dia lantas mengabarkan bahwa orang-orang kini terbangun oleh aksinya.
Sang ibu kemudian memilih melawan represi Empire sampai mati, sementara Cassian kabur. Tema perlawanan terhadap represi seperti ini sebenarnya jamak ditemukan dalam semesta kisah Star Wars, tapi Andor menyelaminya lebih dalam.
Dalam lingkup lebih kecil, Andor mendalami alasan-alasan khas yang mendorong seseorang memilih memberontak. Dalam regu kecil pemberontak Aldhani, misalnya, Andor mendapati teoris ulung Nemik yang muak pada represi. Dia juga bertemu Skeen si oportunis sejati yang berkeyakinan dirinya tak eksklusif berada di satu sisi ideologi tertentu.
Perlawanan juga hadir dengan segala bentuknya, dari bentuk paling sederhana seperti memukul-mukul besi saat aparat memburu warga hingga baku tembak plasma di benteng musuh. Pidato dan manifesto perlawanan dilantangkan, entah itu di penjara atau di upacara kematian.
Andor juga menunjukkan bahwa segala aspek dalam revolusi itu mahal.Cita-cita akan hari esok yang cerah pun butuh pengorbanan. Benturan ideologi dan motif tentu lumrah terjadi. Segala rincian detail revolusi inilah yang membikinAndor memikat.
Kisah yang Pantas Diceritakan
Lumrah saja bila kau merasa skeptis pada Disney yang berkisah tentang revolusi. Itu terdengar ironis mengingat Disney sendiri kini tampak lebih menyerupai Empire yang memonopoli industri film. Bagi raksasa kapital macam Disney, kisah revolusi agaknya merupakansalah satu dagangan belaka.
Kendati demikian, tak bisa dimungkiri bahwa Andor adalah saga yang dirancang dengan apik. Cerita yang baik akan lalu-lalang di kepalamu kendati gambarnya tak lagi diputar. Menyoal pembebasan ataupun tidak, cerita yang baik membebaskanmu.
Dan omong-omong soal ironi, jangan lupakan post-credits pada episode finale-nya. Benda-benda yang dirakit oleh Cassian Andor di penjara tak lain ialah komponen Death Star yang kelak menewaskannya. Penyibakan itu mungkin sama sekali tak mengejutkan bagi fan garis keras, tapi tetap memberikan kedalaman berlapis bagi Andor.
Andor kokohberdiri sebagai dirinya sendiri, tanpa perlu banyak cameo dari karakter-karakter Star Wars yang telah mapan. Juga tanpa lightsaber dan Vader.
Kehadiran droid pendamping seperti B2EMO terasa sudah lebih cukup sebagai hiburan. Dengan polahnya yang macam anabul (dengan tempat charging-nya yang lebih menyerupai kasur untuk anjing atau kucing peliharaan) dan kisahnya yang memicu simpati, ia bisa dengan cepat menjadi kegemaran fan.
Andor juga diisi akting meyakinkan dari para aktor senior, seperti Fiona Shaw, Stellan Skarsgård, dan Genevieve O'Reilly. Diego Luna sukses mengemban karakter utamanya, meski tak berbagi sorotan dengan Felicity Jones seperti di Rogue One. Para aktor yang muncul sesekali pun mampu mencuri perhatian, seperti Ebon Moss-Bachrach dan Andy Serkis.
Layaknya karakter Andor sendiri, serialAndor tidak mudah ditebak. Beragam suasana dan desain dari sudut-sudut galaksi mewarnai. Cuplikan kehidupan “normal” kaum borjuis dipajang, begitu pula tempat-tempat tradisi lokal dipelihara sekaligus mempertegas kelaliman Empire. Intrik politik di kalangan penguasa digali lebih dalam, dan pertempuran angkasa juga tak dilupakan.
Kekayaan latar dan karakternya menjadi kunci, meskipun perlu waktu untuk mengunyah dan menikmatinya. Tatkala plot berpindah dari karakter utama ke para pendukung,jalan ceritanya terkadang bisa terasa membosankan juga. Ada pula bagian-bagian yang terasa dipanjang-panjangkan, seperti ketika plot diseret ke karakter seperti supervisor ISB atau Mon Mothma yang detail hidupnya sangat mungkin tak menarik minat penonton.
Dengan sifatnya sebagai prekuel dua film Star Wars, penonton baru tentu akan terbata-bata memahami konteks dalam Andor.
Mulanya, saya kira Andor akan menjadi sekadar filler, pengisi kekosongan “konten” perang bintang sekaligus pengeruk uang belaka. Namun usai menyelesaikan 12 episodenya, Andor menjelma kisah yang berkelas.
Star Wars yang kadang terasa tak ubahnya kisah perebutan kekuasaan belaka, kali ini menjadi hikayat yang layak lantaran sorotan terhadap orang-orang kecil dalam pusaran raksasa perlawanan. Ini saga kepahlawanan yang kelanjutannya layak dinantikan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi