tirto.id - Amnesty International mencatat selama tahun 2022 hak asasi manusia di Indonesia suram. Seperti kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akibat kebijakan setengah hati pemerintah, keterlibatan negara.
Kemudian pembiaran negara dalam berbagai peristiwa pelecehan dan intimidasi terhadap warga aktivis maupun akademisi yang mengkritik pejabat. Lalu menyuarakan masalah lingkungan, membahas korupsi, atau membela kelompok minoritas masih tinggi.
"Ada berbagai kebijakan dan tindakan negara yang menggerus kebebasan sipil, penanganan setengah hati kasus pelanggaran HAM masa lalu, berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM baru dengan keterlibatan aparat keamanan negara yang berakhir dengan impunitas," kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid dikutip dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/12/2022).
Usman menilai kondisi HAM tahun ini suram karena kebebasan sipil menyusut, budaya kekerasan dan impunitas terutama di Papua dan Papua Barat, keputusan setengah hati presiden dalam membentuk tim penyelesaian non-yudisial bagi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kemudian pengesahan KUHP yang bukan hanya membuktikan negara tidak serius melindungi HAM di dalam negeri. Dia menambahkan hal itu membuat citra negatif tanah air.
"Juga mencoreng wajah Indonesia di mata dunia dalam bidang pemajuan dan penghormatan HAM," sambung Usman.
Amnesty menemukan pola warga yang mendukung kebijakan negara difasilitasi, sedangkan yang melawan akan ditindas, terutama di wilayah seperti Papua dan Papua Barat. Terlebih, saat disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 6 Desember 2022 menambah suram wajah penegakan HAM tahun ini dan selanjutnya.
Sebelum RKUHP disahkan, ramai penolakan oleh koalisi masyarakat sipil namun DPR dan pemerintah tetap mengesahkannya.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly bersyukur RUU KUHP bisa disahkan. Dia menilai pengesahan regulasi tersebut akan menjadi titik awal dekolonisasi hukum pidana Indonesia.
"Dengan disetujuinya RUU KUHP dapat menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional Indonesia sebagai perwujudan dari keinginan untuk mewujudkan misi dekolonisasi KUHP peninggalan kolonial, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi," ucap Yasonna, 6 Desember.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Intan Umbari Prihatin