tirto.id - Amnesty International Indonesia mendesak Polda Metro Jaya untuk segera membebaskan dan mencabut status tersangka terhadap 6 aktivis Papua yang dituduh makar akibat menyuarakan aspirasi menentukan nasib sendiri. Amnesty International Indonesia memandang, keenam aktivis tersebut tidak bisa dipidana akibat menyampaikan ekspresi kepada publik.
"Amnesty International Indonesia menganggap keenam aktivis itu sebagai tahanan hati nurani, yaitu orang yang ditahan semata-mata karena menjalankan hak asasi mereka secara damai," kata Corporate Communication Amnesty International Indonesia Haeril Halim, Selasa (3/9/2019).
Amnesty juga mengritik proses penanganan hukum yang dilakukan aparat kepolisian. Berdasarkan informasi yang diperoleh sekitar 8 orang ditangkap oleh kepolisian dalam operasi pada tanggal 30-31 Agustus 2019 lalu di empat tempat. Kedelapan orang tersebut ditangkap karena diduga mengorganisir aksi protes damai di depan Istana Presiden pada tanggal 28 Agustus 2019. Kedelapan orang yang ditangkap adalah Dano (Anes) Tabuni dan Charles Kosai yang ditangkap pada tanggal 30 Agustus 2019. Kemudian enam orang ditangkap di keesokan harinya, yakni Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Naliana Lokbere, Arina Lokbere, Norince Kogoya. Kemudian satu orang lagi adalah Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua Surya Anta Ginting.
Dalam proses penangkapan terhadap para aktivis mahasiswa Papua tanggal 30 Agustus 2019, Amnesty melihat aksi kepolisian tidak sesuai prosedur penangkapan. Polisi menangkap dua aktivis, yakni Dano (Anes) Tabuni dan Charles Kosai tanpa menunjukkan surat penangkapan. "Selama penangkapan, seorang petugas polisi menodongkan pistol ke arah para siswa Papua tersebut," kata Haeril.
Hal senada juga terjadi saat kepolisian menangkap 3 siswa lain, yakni Naliana Lokbere, Arina Lokbere dan Norince Kogoya. Kepolisian langsung menangkap tanpa surat perintah. Bahkan, polisi sempat mengucapkan pernyataan rasial saat penangkapan ketiga orang tersebut di rumah mereka."Ketika salah satu siswa ingin mengganti pakaiannya, seorang petugas polisi mengatakan kepadanya, dengan nada menghina, “Kalian orang Papua biasanya tidak mengenakan pakaian.”," klaim Haeril.
Dari kedelapan yang ditangkap, dua orang dilepas polisi, yakni Naliana Lokbere dan Norince Kogoya. Enam orang lain ditetapkan sebagai tersangka dengan dijerat pasal 106 dan pasal 110 KUHP. Namun, dalam pandangan Amnesty, proses penyelidikan tidak sesuai aturan sehingga para aktivis yang ditahan harus dibebaskan.
"pelaksanaan penyelidikan polisi juga sangat memprihatinkan. Pendamping hukum para aktivis Papua tersebut mengklaim bahwa polisi telah mencegah mereka mendampingi dan memberikan bantuan hukum kepada klien mereka selama interogasi. Tindakan ini melanggar hak-hak peradilan yang adil dan proses hukum yang sah (due process) para aktivis tersebut," kata Haeril
Haeril menegaskan, pemerintah harus mencabut pasal 106 dan 110 KUHP karena berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi di luar batas sesuai hak asasi manusia internasional. Sebab, kebebasan berekspresi merupakan hak damai untuk menyampaikan aspirasi politik selama tidak melontarkan hasutan dengan tujuan mendiskriminasi, memusuhi atau menyulut kekerasan. Pihak berwenang Indonesia harus memastikan bahwa segala pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai telah sesuai dengan kewajiban Indonesia berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mana Indonesia merupakan negara pihak.
Selain meminta pembebasan para aktivis Papua, Amnesty mendesak agar aparat tidak menyiksa para aktivis yang ditahan. Mereka pun mendesak agar para tahanan bisa mendapatkan akses hukum dan bertemu keluarga meski belum bebas.
"kami meminta Polda Metro Jaya memastikan bahwa mereka tidak akan disiksa atau diperlakukan buruk dan memiliki akses reguler ke keluarga dan pengacara pilihan mereka. Mereka juga harus dibantu pengacara dalam semua langkah proses hukum yang mereka hadapi dan dipindahkan ke Markas Besar Kepolisian Daerah Jakarta (Mapolda Metro Jaya), karena lokasi Mako Brimob lebih sulit diakses," kata Haeril.
Editor: Andrian Pratama Taher