tirto.id - Benang merah relasi Prabowo Subianto dan Amien Rais dimulai ketika Soeharto lengser. Hanya beberapa hari setelah diktator Orde Baru itu tumbang, Prabowo "dibuang" menjadi Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI. Sementara Amien moncer sebagai sosok yang dianggap penggerak reformasi dan mendirikan Partai Amanat Nasional pada Agustus 1998.
Beberapa bulan sebelumnya, pada 10 Januari 1998, penyair Wiji Thukul yang lantang menyuarakan kritik terhadap Orde Baru hilang diculik aparat. Modus penculikan semacam itu sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan 1997. Namun, penculikan aktivis kian meningkat sepanjang Januari-Mei 1998.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dibentuk khusus untuk menyelidiki penculikan itu mencatat sebanyak 5 orang dihilangkan pada 1997. Sedangkan pada 1998 yang dihilangkan aparat sejumlah 18 orang. Total orang yang diculik sebanyak 23. Dari jumlah itu, 1 meninggal, 9 dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
Berdasarkan keterangan dari korban penculikan, lembaga yang saat itu dipimpin Munir mengungkap ada rangkaian yang sama, rapi, dan terorganisir dalam penculikan. Kontras menduga penculik para aktivis itu merupakan sekumpulan bintara dan perwira Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar. Tim kecil itu dipimpin Mayor Bambang Kristiono. Saat penculikan terjadi, Prabowo adalah atasan mereka, sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus.
Kompas (15/7/1998) melaporkan tujuh anggota Kopassus sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penculikan aktivis. Mereka dikenakan tahanan militer pada 14 Juli 1998. Di hari yang sama, Kontras menggelar konferensi pers. Munir mengatakan militer tidak punya wewenang menangkap masyarakat sipil.
"Namun, kita semua juga tahu, selama ini, militer melakukan operasi semacam itu, yang sebenarnya menjadi porsi Kepolisian," ujar Munir.
Untuk mengusut kasus penculikan, Panglima ABRI Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai Jenderal Subagyo Hadisiswoyo. Pada 5 Agustus 1998, sebagaimana dilaporkan Kompas (6/8/1998), Subagyo memeriksa salah satu perwira dari tiga perwira yang harus diselidikinya. Tapi ia enggan menjawab siapa perwira yang dimaksud.
Dari tiga orang itu, Prabowo merupakan perwira dengan pangkat tertinggi, disusul mantan Danjen Kopassus Mayor Jenderal Muchdi Purwoprandjono dan Komandan Grup IV Kopassus Kolonel Chairawan.
Belum sampai berganti bulan, Wiranto sudah mengeluarkan keputusan lain. Pada 24 Agustus 1998, ia memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliteran. Selain itu, Wiranto membebaskan Muchdi dan Chairawan dari semua tugas dan jabatan struktural di ABRI.
Subagyo mengatakan keputusan administratif yang diambil Wiranto sesuai rekomendasi lembaga yang dipimpinnya. Salah seorang anggota DKP, Letnan Jenderal Agum Gumelar, membenarkan bahwa pada persidangan Prabowo mengaku telah menculik sembilan orang, demikian dilaporkan Kompas (25/8/1998).
Solidaritas Amien Rais untuk Korban Penculikan
Kontras menilai pembentukan DKP cacat hukum. "Mengacu pada SK Pangab 838/III/1995 itu, pembentukan DKP itu seharusnya dibentuk setelah adanya proses persidangan Mahmil [Mahkamah Militer]. Putusan Mahmil itu selanjutnya menjadi bahan pertimbangan untuk DKP mengambil sikap dan bukan sebaliknya," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Munir, seperti dilansir Kompas (6/8/1998).
Soal Mahmil, Wiranto mengatakan ketiga perwira tersebut, termasuk Prabowo, akan diajukan ke Mahmil apabila dalam persidangan Mahmil terhadap 10 anggota Kopassus yang lain bisa membuktikan bahwa ketiga perwira ini melakukan tindak pidana.
Amien Rais merasa tidak puas keputusan Wiranto. Menurutnya, penculikan adalah kasus pidana dan Prabowo seharusnya dibawa ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
"Mahkamah militer adalah sebuah keharusan. Kalau tidak, saya khawatir citra ABRI akan terpuruk di mata rakyat. ABRI sekarang sedang coreng-moreng karena peristiwa Aceh, Trisakti, penjarahan, pemerkosaan, dan lain-lain. Jadi supaya tidak berlarut-larut, sebaiknya pimpinan ABRI membawa Prabowo dan teman-temannya ke Mahmilub, terbuka untuk publik," kata Amien, sebagaimana dikutip Kompas (26/8/1998).
Amien juga mengatakan Mahmilub akan membuka siapa yang menyuruh Prabowo. Itu juga bisa mengungkap kemungkinan Prabowo pernah disuruh seorang jenderal untuk memusnahkan seorang tokoh politik.
Waktu itu, dukungan Amien Rais ke kerja-kerja Kontras terasa betul. Saat para korban penculikan mengunjungi kantor PAN pada 10 September 1998, Amien mengatakan Munir perlu dibantu dengan kekuatan politik. Menurutnya, ada permainan yang tidak terpuji sehingga korban penculikan yang masih hilang dilupakan.
"Pemeriksaan Prabowo dianggap seolah-olah sudah selesai dengan dicopot dari ABRI, dan diharapkan orang akan lupa kepada saudara-saudara kita yang kita cintai itu. Karena itu, dalam tempo yang secepat mungkin, saya dan Faisal Basri sebagai ketua dan sekjen PAN akan melayangkan surat kepada Presiden Habibie, Menhankam/ Pangab, dan juga departemen terkait seperti Kehakiman, Kejaksaan Agung, juga Kepolisian," ujar Amien.
Solidaritas Amien Rais untuk korban penculikan juga dia tunjukkan saat menghadiri Kemah Keprihatinan yang diselenggarakan korban dan keluarga korban penculikan di halaman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 15 September 1998.
"Kita harus terus menuntut supaya Pangab dan pemerintah Habibie mengajukan Prabowo ke Mahmil untuk mencapai kejelasan nasib 14 orang," kata Amien, seperti dikutip Kompas (16/9/1998).
Masih di YLBHI, Amien juga mengatakan suatu ketika para penculik yang berada di tampuk kekuasaan akan mengulangi kebiadaban mereka dalam bentuk dan skala yang lebih besar lagi jika sampai nyawa korban penculikan yang belum kembali ini hilang begitu saja.
"Bila mereka sudah sampai dilenyapkan nyawanya, maka siapa yang melenyapkan, dalang dan aktornya, harus dijelaskan kepada seluruh bangsa dengan sejelas-jelasnya," tandas Amien.
Pada April 1999, anggota Tim Mawar dihukum dan dipecat. Tapi Prabowo tidak pernah disebut sebagai pemberi perintah penculikan.
Menuju Puncak Semasa Orba
Karier Amien Rais dan Prabowo Subianto sama-sama melejit pada zaman Orde Baru, meski berada di jalur yang berbeda. Amien meniti karier sebagai dosen ilmu politik sekaligus aktif di Muhammadiyah. Ia juga menjadi kolumnis yang rajin menulis di media massa. Sementara Prabowo dekat dengan kekuasaan sejak muda. Selain karena dia anak Sumitro Djojohadikusumo, Prabowo juga menikahi Siti Hediati Hariyadi, putri Soeharto.
Warsa 1995 merupakan titik mula keemasan karier keduanya. Pada tahun itu, Prabowo didapuk sebagai Komandan Jenderal Kopassus, sedangkan Amien terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Salah satu kiprah Kopassus yang paling dibanggakan saat Prabowo menjabat Danjen ialah operasi pembebasan Tim Lorentz yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Mapenduma, Papua.
Posisi ketua umum organisasi masyarakat (ormas) Islam juga bukan jabatan sembarangan. Para peneliti politik dan politikus saat itu sudah mafhum bahwa pada era 1990-an Soeharto semakin mendekat ke kelompok Islam. The Smiling General itu merestui pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), memperbolehkan pemakaian jilbab, dan mengurangi represi terhadap Islam politik. Dan yang tak kalah penting: Soeharto dan seluruh keluarganya menunaikan ibadah haji.
Bahkan, karena ia pernah mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah, Soeharto mengklaim dirinya sebagai "bibit Muhammadiyah".
“Saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia; dan alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah,” kata Soeharto dalam pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh pada 1995, seperti dilansir Media Indonesia (9/7/1995).
Amien dan Prabowo dalam Pusaran 1998
Tiga tahun setelah Prabowo menjabat Danjen Kopassus dan Amien menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Indonesia diterjang krisis. Nilai tukar rupiah anjlok. Akibatnya, harga bahan pokok melonjak tinggi.
Semasa itu, Amien tampil sebagai salah satu pemimpin gerakan reformasi. Puncak manuvernya terjadi pada 14 Mei 1998 saat dia membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR) guna menghimpun kekuatan politik menentang Soeharto. Amien menjadi salah satu tokoh panutan para demonstran.
Lalu dimana Prabowo pada 1998?
Sebelum dilempar ke Sesko ABRI, Prabowo didapuk sebagai Panglima Kostrad pada 20 Maret 1998. Dia menggantikan Letnan Jenderal Soegiono.
Sehari setelah Soeharto menyatakan berhenti, Habibie—presiden pengganti Soeharto—mengatakan bahwa ia menerima laporan mengenai pergerakan pasukan Kostrad. Keterangan itu ia catat dalam memoarnya, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).
"Oleh karena itu Panglima ABRI [Wiranto] saya beri perintah untuk segera mengganti Pangkostrad, dan kepada Pangkostrad baru diperintahkan mengembalikan pasukan Kostrad ke basis masing-masing pada hari ini juga sebelum matahari terbenam,” sebut Habibie.
Setelah itu, Prabowo ditarik dari Kostrad dan dijadikan Dansesko—jabatan yang dianggap buangan dalam militer Indonesia.
Sulit membayangkan Amien Rais si penentang Soeharto bakal berjalan bersama-sama Prabowo si menantu Soeharto. Namun, semuanya jadi mungkin dalam politik: dua orang yang berseteru belasan tahun lalu bisa bersekutu dan bahu-membahu.
Amien Rais adalah salah satu pendukung utama Prabowo saat Pilpres 2014. Ketua umum partai yang didirikannya, Hatta Rajasa, juga didapuk sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo. Lawan mereka, Joko Widodo, menggaet Jusuf Kalla sebagai calon wakil presidennya.
Kebersamaan itu berlanjut hingga sekarang. PAN dan Amien Rais mengiringi Prabowo berjibaku merebut kursi presiden yang belum pernah mereka raih. Amien dan Prabowo, yang terpisah saat Reformasi, kini bersatu menantang Jokowi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan