Menuju konten utama

AMAN Minta Pemerintah & DPR Tak Beri Stigma Masyarakat Adat

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meminta pemerintah untuk duduk bersama membahas RUU Masyarakat Hukum Adat.

AMAN Minta Pemerintah & DPR Tak Beri Stigma Masyarakat Adat
Sejumlah wisatawan berada di kampung adat Ratenggaro Desa Umbu Ngedo, Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Rabu (28/8/2019). Kampung adat yang berada di tepi laut tersebut merupakan tujuan wisata budaya di pulau Sumba yang menawarkan suasana magis kehidupan masyarakat jaman dahulu. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.

tirto.id - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menilai bahwa pemerintah harus duduk bersama dan mendengarkan aspirasi masyarakat adat secara langsung, khususnya dalam membahas tentang RUU Masyarakat Hukum Adat.

“Paling mendasar, pembuatan UU ini, masyarakat adat harus dilibatkan,” tegas Rukka dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, pada Senin (9/12/2019).

“Masyarakat adat, sebagai WNI [warga negara Indonesia], perlu mau diatur oleh negara, tapi itu perlu dibicarakan, jangan sampai megara salah atur lagi,” tegasnya.

Rukka menilai, pemerintah masih kerap memberi stigma kepada masyarakat adat. Maka dari itu, menurutnya, duduk bersama merupakan salah satu bentuk pemecahan masalah.

“Selalu ada desas desus dan kecurigaan terhadap masyarakat adat. Pertama, menurut saya ini fitnah, saat tanah diberikan kewenangannya kepada masyarakat adat, maka hutan akan dirusak, dihabiskan,” ungkap Rukka mencontohkan salah satu bentuk stigma pada masyarakat adat.

“Padahal selama ini justru hutan rusak saat dipegang oleh pemerintah,” lanjutnya.

Rukka juga menganggap bahwa posisi DPR sebenarnya bisa menjadi penengah dari masyarakat adat dengan pemerintah. Sehingga seharusnya, DPR bisa menjadi penengan antara kedua belah pihak: pemerintah dan masyarakat adat.

“Jadi selalu dicurigai masyarakat adat di negeri ini, maka menurut saya perlu ada yang menjembatani, salah satunya DPR lewat pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat ini,” kata Rukka.

Senada dengan Rukka, Perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Hukum Adat dari YLBHI, Siti Rakhma Mary Herwati, pun menyampaikan pentingnya percepatan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat.

“Tidak adanya pengakuan terhadap mereka sehingga terjadi perampasan-perampasan hak terhadap mereka. Rentan konflik agraria, tanahnya digunakan untuk berbagai macam perkebunan oleh perusahaan,” ujar Rakhma.

Rakhma menyampaikan RUU tersebut perlu untuk mengatur sejumlah hak bagi masyarakat adat, yakni hak atas wilayah adat, budaya spiritual, perempuan adat, anak dan pemuda adat.

“Hak atas lingkungan hidup di mana [saat ini] terjadi perusakan yang luar biasa, ini juga berdampak pada hak atas kesehatannya melalui pencemaran-pencemaran, dan sebagainya,” ujar Rakhma.

Terakhir, hak lain yang harus diperhatikan yakni hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atau kebijakan yang melibatkan, ataupun berdampak pada mereka. Pasalnya, ungkap Rakhma, yang banyak terjadi adalah lahan mereka secara tiba-tiba menjadi HGU, tanpa ada komunikasi .

Baca juga artikel terkait MASYARAKAT ADAT atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika