tirto.id - Warga Cina masih enggan memiliki dua anak untuk mendukung kebijakan pemerintah yang dikenal dengan Two-Child Policy guna mengatasi kesenjangan demografi dengan berbagai alasan.
"Merawat satu anak saja butuh perjuangan dan berbiaya besar. Kami tidak punya rencana menambah anak lagi," kata Liu, warga Beijing, kepada Antara, Senin (22/1/2018).
Meski Liu dan istrinya sama-sama bekerja, pasangan suami-istri tersebut beralasan bahwa menambah anak membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anak semata wayangnya kini duduk di bangku kelas I sekolah menengah atas.
Enggannya warga Cina memiliki anak tampak dari data Biro Statistik Nasional Cina (NBS) yang menyebutkan angka kelahiran selama 2017 mencapai 17,23 juta jiwa atau lebih rendah 630 ribu dibandingkan 2016 yang mencapai 17,86 juta jiwa.
Angka tersebut di luar prediksi pemerintah yang memperkirakan pada 2030 jumlah populasi bakal bertambah dari 1,39 miliar jiwa menjadi 1,45 miliar jiwa.
"Menurunnya angka kelahiran bayi pada 2017 mengindikasikan berakhirnya era ledakan bayi yang dipicu oleh kebijakan pemerintah Cina mengampanyekan dua anak. Sangat mungkin penurunan angka kelahiran ini akan berlanjut hingga tahun-tahun mendatang," kata He Yafu, peneliti demografi China, sebagaimana dikutip People`s Daily.
Kebijakan satu anak Cina telah diganti pada 2015 dengan mengizinkan semua pasangan suami-istri memiliki dua anak untuk mengatasi persoalan kesenjangan demografi, terutama melonjaknya jumlah penduduk berusia senja dan tidak adanya keseimbangan antargender.
Kebijakan tersebut sempat diikuti dengan kenaikan angka kelahiran sekitar 7,9 persen pada 2016. Data NBS juga menunjukkan bahwa sekitar 45 persen kelahiran bayi pada 2016 berasal dari keluarga yang sudah memiliki seorang anak, namun kelahiran bayi pertama pada tahun pertama perkawinan di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu juga tinggi.
Namun tingginya biaya membesarkan anak membuat warga Cina mulai enggan menambah anak. Menurut Caixin.com, biaya rata-rata perawatan anak dalam satu tahun di beberapa kota besar di Cina berkisar antara 20.000 RMB hingga 30.000 RMB (Rp40 juta hingga Rp60 juta).
Oleh sebab itu, para pengamat mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih mudah dipatuhi masyarakat untuk meningkatkan angka kelahiran, misalnya insentif pajak atau subsidi langsung kepada pasangan suami-istri.
"Subsidi kelahiran harus segera diberlakukan. Ingat, meningkatnya penduduk berusia senja sudah tidak bisa dibendung lagi. Saat ini sudah sangat terlambat untuk meningkatkan angka kelahiran," kata Prof Liang Jianzhang dari Peking University.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora