tirto.id - Proses peradilan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, menuai kritik dari berbagai kalangan.
Penyerangan kepada Novel bukan peristiwa yang terjadi kepada orang biasa. Novel seorang pribadi yang merepresentasikan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia lewat pengabdian dan dedikasinya di KPK
Ada 'hujan kritik' pada babak akhir dari tiga tahun kasus Novel Baswedan sejak penyerangan pada 11 April 2017. Kini kritikan muncul berkait tuntutan ringan jaksa kepada dua terdakwa yakni setahun.
Alasan jaksa penuntut umu, Ahmad Patoni, pelaku tidak sengaja melukai bola mata Novel Baswedan dengan air keras. Terdakwa berniat, menurut jaksa, hanya memberi pelajaran bahwa Novel telah menghancurkan institusi kepolisian Indonesia.
Jaksa beralasan tuntutan setahun, lebih rendah dari ancaman pasal yang digunakan, karena terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap kooperatif dan telah meminta maaf kepada keluarga Novel Baswedan.
Tak Dapat Diterima Akal Sehat
Setelah pemberitaan tuntutan muncul, Novel Baswedan bersikap di sosial media mengenai unsur ‘ketidaksengajaan’ dalam dakwaan jaksa yang janggal. Penyerangannya adalah tindakan terencana, terutama mengakibatkan kerusakan permanen di bola mata kirinya. Hanya saja dalam dakwaan dinilai perbuatan yang tak sengaja.
Beragam tanggapan muncul dari alasan penyerangan ‘tidak sengaja’ ke Novel Baswedan yang mengakibatkan satu matanya buta.
Selebritas Gusti Bintang menggunakan logika awam dan satire bahwa bila pelaku tak sengaja, tidak akan mungkin mengenai muka, karena tujuannya menyasar badan. Ia mengunggah konten berjudul ‘ga sengaja’.
“Kan kita tinggalnya di bumi. Gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan, gak mungkin meleset ke muka [...] Sekarang tinggal kita cek, yang kagak normal cara jalan Pak Novel apa hukuman buat kasusnya,” kata komika yang pemilik akun Bintangemon, kemarin.
Dua pelaku penyerangan adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Keduanya adalah anggota Polri aktif dituntut setahun penjara. Rendahnya tuntutan ini tak masuk akal bagi selebritas Anya Geraldine.
Anya semula melontarkan cuitan berisi rasa penasarannya terhadap kasus Novel Baswedan. Setelah mengetahui ada ketimpangan dari tuntutan, Anya mencuit lagi this country make no sense ‘negara ini tidak masuk akal’ sembari menunjukkan tangkapan layar lewat InstaStory sebuah berita mengenai tuntutan Novel Baswedan.
Dari perspektif hukum, unsur ‘tidak sengaja’ dalam kasus Novel Baswedan justru menunjukkan adanya kekeliruan logika tuntutan.
Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR RI, Ahmad Sahroni mengatakan, akal sehat manusia dan logika hukum tidak dapat menerima alasan ‘tidak sengaja’ dalam penyerangan Novel Baswedan.
"Pernyataan jaksa ini menurut saya bukan mencederai keadilan lagi, tapi udah mencederai akal sehat. Tidak bisa diterima [..] Kok bisa jaksa ada kesimpulan tak sengaja,” kata Sahroni seperti dilansir Antara.
Sahrono mengaku akan membawa persoalan tuntutan penyerang Novel dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dan akan minta penjelasan dari Jaksa Agung.
Hakim Didesak Abaikan Tuntutan
Tuntutan ringan juga dikritik peneliti hukum Universitas Andalas Padang, Hemi Lavour Febrinandez.
Ia menyebut sanksi terhadap penyerangan penegak hukum tak boleh ringan. Terutama pelaku sesama aparat yang seharusnya mengayomi, bukan menyiram air keras ke muka Novel Baswedan.
“Jaksa seharusnya mendalami motif dari pelaku lebih dalam. Karena temuan tim gabungan bentukan Presiden Jokowi ada enam kasus korupsi besar yang ditangani KPK ditengarai sebagai latar belakang penyerangan,” ungkapnya.
Giri Ahmad Taufik, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebutkan tuntutan rendah dari jaksa dapat diabaikan hakim.
Dalam dakwaan, jaksa menempatkan Pasal 355 ayat (1) pada dakwaan pertama. Pasal ini memberikan ancaman hukuman 12 tahun penjara bagi pelaku kejahatan.
“Kami mendesak Jaksa Agung untuk mengevaluasi jaksa penuntut umum terkait dengan materi tuntutannya yang terindikasi keliru secara konsep hukum pidana,” katanya dalam keterangan tertulis, kemarin.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz