Menuju konten utama

Alasan Sri Mulyani Batasi Pembukaan Rekening bagi Baru Nasabah

Sri Mulyani menambah kewenangan DJP untuk dapat membatasi pembukaan rekening baru bagi nasabah pribadi maupun entitas. Apa alasannya?

Alasan Sri Mulyani Batasi Pembukaan Rekening bagi Baru Nasabah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan keterangan pers hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) III Tahun 2024 di Kantor LPS, Jakarta, Jumat (2/8/2024).ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menambah kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk dapat membatasi pembukaan rekening baru bagi nasabah pribadi maupun entitas yang menolak ketentuan identifikasi kegiatan transaksi keuangan. Aturan ini tertuang dalam Pasal 10A ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Sementara itu, ketentuan ini dirilis untuk memberikan kepastian hukum bagi lembaga jasa keuangan (LJK), lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dalam menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Perubahan PMK ini juga telah mempertimbangkan tidak adanya ketentuan mengenai anti penghindaran sesuai dengan standar pelaporan umum (common reporting standard) pada PMK 70 Tahun 2017.

"Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan belum mengatur ketentuan anti penghindaran sesuai dengan standar pelaporan umum (common reporting standard), sehingga perlu dilakukan perubahan," tulis beleid tersebut, dikutip Tirto, Senin (12/8/2024).

Selain membatasi pembukaan rekening baru, PMK ini juga tidak mengizinkan LJK pelapor melayani transaksi baru nasabah lama yang menolak identifikasi kegiatan transaksi keuangan oleh DJP. Adapun transaksi baru yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PMK 47 Tahun 2024 antara lain, setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening atau pembuatan kontrak bagi nasabah perbankan; pembukaan rekening, transaksi beli atau pengalihan bagi nasabah pasar modal; serta penutupan polis baru.

"Dan kegiatan transaksi lainnya bagi pemegang Rekening Keuangan Lama pada lembaga keuangan pelapor yang merupakan LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain," bunyi beleid itu.

Meski begitu, ketentuan larangan bagi LJK pelapor untuk melayani transaksi beru tidak berlaku untuk transaksi atas pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pemilik Rekening Keuangan Lama dengan lembaga keuangan pelapor; penutupan rekening; atau pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, dalam ketentuan anti penghindaran yang tercantum dalam Bab VA, Sri Mulyani juga melarang setiap orang termasuk LJK, LJK Lainnya, Entitas Lain; pimpinan dan/atau pegawai LJK; pimpinan dan/atau pegawai LJK Lainnya; pimpinan dan/atau pegawai Entitas Lain; Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi; Pemegang Rekening Keuangan Entitas; penyedia jasa; perantara; dan/atau pihak lain untuk melakukan kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Jika DJP mengetahui adanya kesepakatan antara pihak-pihak tersebut, kesepakatan dianggap tidak berlaku dan/atau tidak terjadi.

Sebaliknya, kewajiban pengungkapan akses informasi tetap harus dijalankan oleh pihak-pihak tersebut. "Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kesepakatan dan/atau praktik sebagai suatu kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan," kata PMK 47 Tahun 2024.

Selain itu, DJP juga berwenang untuk memperoleh informasi keuangan yang berkaitan dengan kesepakatan dan/atau praktik penghindaran pengungkapan informasi perpajakan oleh pihak-pihak yang bersepakat. Dalam pengungkapan informasi, terlapor juga dilarang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan kepada DJP.

Jika terdapat indikasi pelanggaran, DJP berhak meminta surat klarifikasi kepada terlapor dan pihak-pihak lain yang melakukan pelanggaran. Namun, jika surat klarifikasi tidak juga dikirimkan dalam 14 hari sejak permintaan diajukan, DJP berwenang melakukan penelitian terhadap pihak-pihak terkait dan member surat teguran kepada mereka.

Selanjutnya, ketika pelapor tidak juga membuka akses informasi terkait transaksi keuangan meski surat teguran telah dikirimkan, DJP berwenang melakukan pemeriksaan sesuai ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan.

"Dalam hal berdasarkan pemeriksaan ditemukan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan bukti permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan," tulis aturan itu.

Baca juga artikel terkait SRI MULYANI atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang