tirto.id - Pemerintah Sri Lanka membubarkan parlemen pada Jumat (9/11/2018) guna menghindari bentrok atau tindak kekerasan terkait pemilu di negara tersebut.
Dalam pidato yang disiarkan televisi setempat Minggu (11/12/2018) malam, Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena mengaku mendapat laporan dari anggota parlemen adanya potensi kekerasan yang berujung maut yang menyebar di seluruh negeri.
“Tampaknya bagi saya, jika saya mengizinkan Parlemen untuk bersidang pada tanggal 14 [November], tanpa membubarnya, itu dapat menimbulkan keributan dan bentrok di setiap kota dan setiap desa dan mengarah pada situasi yang sangat tidak menyenangkan dan sulit bagi warga di negara tercinta saya ini, ”katanya, dilansir dari AP News, Senin (12/11/2018).
“Karena itu, solusi terbaik adalah tidak mengizinkan 225 anggota di Parlemen untuk saling bertarung dan membiarkan itu berkembang menjadi bentrok jalanan di setiap bagian negara. Sudah menjadi tugas saya dan tanggung jawab untuk ... menciptakan situasi aman bagi 15 juta pemilih di negara ini untuk memilih anggota mereka ke Parlemen melalui pemilihan yang bebas dan adil.”
Pemerintah AS dan asing telah menyatakan keprihatinan atas keputusan Sirisena untuk membubarkan Parlemen termasuk memecat Ranil Wickremesinghe dari kursi perdana menteri serta menggantinya dengan mantan penguasa Mahinda Rajapaksa.
Wickremesinghe mengatakan pemecatannya tidak konstitusional dan bahwa ia masih memiliki dukungan mayoritas di Parlemen.
Awalnya Sirisena menangguhkan Parlemen sampai 16 November. Namun ia kemudian membubarkan parlemen usai tidak memperoleh dukungan untuk Rajapaksa dan menyerukan diadakannya pemilu pada 5 Januari 2019.
Beberapa partai politik mengatakan mereka akan mengajukan petisi ke Mahkamah Agung pada hari ini untuk membatalkan pembubaran Parlemen.
Editor: Yantina Debora