tirto.id - Pemerintah tetap mempertahankan posisi tidak membuka akses publik untuk melihat sendiri isi draf RUU Omnibus Law yang sesaat lagi akan diserahkan ke DPR RI. Pemerintah berdalih karena harus diserahkan dulu ke Presiden Joko Widodo untuk kemudian diproses menjadi surat presiden (supres) yang harus dikirim ke DPR.
“Kami laporkan ke Pak Presiden. Kalau sudah paraf dan masuk surpres ke DPR, kami akan sampaikan ke publik,” ucap sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (24/1/2020).
Susi mengatakan sebelum draf ini diserahkan ke Presiden Jokowi pun masih ada sejumlah tahapan yang belum selesai. Antara lain proses peninjauan ulang substansi RUU ini.
Ia mengatakan per Jumat (24/1/2020), proses itu sedang diupayakan agar rampung sehingga pekan depan bisa diserahkan ditanda-tangani Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan diserahkan ke presiden.
“Draf RUU ini masih perlu paraf. Kami targetkan Senin (27/1/2020) besok. Pak menko masih kembali dari Davos (Swiss),” ucap Susi.
Karena itu, Susi bilang pemerintah memang tidak bisa menyebarluaskan draf RUU ini.
Ia bilang sampai hari ini sudah banyak pihak yang meminta, mulai dari wartawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sampai masyarakat. Namun lagi-lagi, Susi menegaskan permintaan mereka tidak bisa diproses.
Pernyataan Susi ini sekaligus menggarisbawahi adanya draf yang beredar dan diduga adalah Omnibus Law. Susi memastikan draf yang sesungguhnya masih ia pegang dan belum akan disebar kemana pun.
“Draf RUU kami tidak akan sebar kemana pun. Kami masih belum bisa berikan. Masih kami review,” ucap Susi.
Meskipun demikian, Susi agaknya melupakan kalau RUU ini nyatanya harus disebar ke masyarakat sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan UU No 12/2011, ada kewajiban menyebarluaskan materi yang akan diundangkan sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang.
Kedua tanggung jawab ini harus dipenuhi pemerintah. Dengan demikian masyarakat dapat memberi masukan dan pandangan.
Di sisi lain, UU No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP) juga mengatur kewajiban pemerintah untuk memberikan dokumen yang diminta publik. Informasi yang bisa dirahasiakan atau tidak bisa diakses publik dalam pasal 17 hanya berkaitan hal-hal yang menghambat proses penyelidikan, pertahanan keamanan, sampai intelijen.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz