tirto.id - Lonjakan impor komoditas sayuran jadi salah satu pemicu defisit neraca dagang sebesar 2,05 miliar dolar AS pada November yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (17/12/2018). Angka yang tercatat BPS pada periode itu menunjukkan adanya pertumbuhan impor sayuran sebesar 140 persen dibandingkan Oktober 2018.
Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi mengatakan, produk hortikultura Indonesia memang terus menurun akibat dominannya pasokan sayuran dari luar negeri.
Hal itu tak lepas dari pengubahan syarat impor dalam aturan tata niaga produk hortikultura. Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017 yang direvisi menjadi Permentan Nomor 24 Tahun 2018.
Dalam perubahan itu, Kementerian Pertanian mempermudah izin rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) setelah adanya pengaduan dari Amerika Serikat, yang menganggap kebijakan awal Indonesia terkait impor tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Sayangnya, revisi itu tidak diikuti dengan komitmen untuk meningkatkan produktivitas petani hortikultura.
“Jadi mau berpihak ke mana sebenarnya. Padahal kalau produk kita kalah sama asing, kan, pengaruhnya ke mana-mana, ke rupiah dan sebagainya?" tutur Anton kepada reporter Tirto, Selasa (18/12/2018).
Menurut Anton, pemerintah memang sudah mengundangkan aturan wajib tanam bagi importir swasta, seperti pada komoditas bawang putih. Namun, hal itu tidak dilakukan pada komoditas produk hortikultura lainnya seperti kentang dan kacang-kacangan.
Selain itu, kata Anton, pengawasan terhadap aturan wajib tanam itu juga masih belum berjalan optimal. Buktinya, impor bawang putih Indonesia masih menunjukkan angka yang tinggi.
Berdasarkan data BPS, bawang putih memang mendominasi impor komoditas sayuran yang totalnya mencapai 97 juta dolar AS. Nilai impor bawang putih yang membanjiri pasar Indonesia mencapai 78 juta dolar AS.
Jumlah tersebut naik 243,59 persen dibandingkan periode Oktober 2018 dengan nilai 22,7 juta dolar AS. Selain itu, ada pula bawang putih potong, kering serta dalam bentuk bubuk yang nilainya mencapai 1,5 juta dolar AS--naik 40,23 persen dari Oktober yang tercatat sebesar 1,1 juta dolar AS.
"Coba dilihat itu, betul enggak kewajiban itu dijalankan. Harusnya ini, kan, jadi warning buat pemerintah,” kata Anton.
Selama ini, menurut Anton, pemerintah selalu berkilah bahwa tingginya impor bawang putih lantaran belum adanya produsen yang bisa mengembangkan benih dan memproduksi bawang putih secara massal.
Selain itu, faktor teknologi dan cuaca yang kurang pas juga jadi penyebab sulitnya pembibitan bawang putih di Indonesia.
"Tapi masa sih tidak bisa dikurangi, kan, pasar kita besar. Dari dulu saya melihat Kementerian Pertanian ini tuh enggak ada gregetnya, gitu," ungkap Anton.
Tingginya impor sayuran harusnya memang jadi warning buat Kementan. Apalagi, salah satu negara yang jadi importir Indonesia adalah Ethiopia, yang pendapat domestik bruto-nya kalah jauh dibandingkan Indonesia.
Indonesia, kata Kepala BPS Kecuk Suharyanto, mengimpor sayuran dari negara tersebut sebanyak 3 ton atau senilai 3,04 juta dolar AS. Meskipun, impor sayuran terbanyak masih berasal dari Cina, dengan total 94 ton atau 81 juta dolar AS.
Di samping itu, ada pula sayuran yang berasal dari Australia, yakni sebanyak 1,4 ton atau senilai 1,4 juta dolar AS serta Selandia Baru sebesar 44 ton.
Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Suwandi menyampaikan, peningkatan impor bawang putih memang wajar karena disesuaikan dengan permintaan pasar. Lagi pula, kata dia, kewajiban tanam bagi importir bawang putih merupakan pembiakan bibit, dan baru berjalan tahun ini.
“Jadi wajar lah besar impornya. Kalau bawang putih bukan untuk dijual dia baru bibit yang nanti kami tanam," tuturnya saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Hingga saat ini, jumlah bibit bawang putih yang sudah dikembangkan oleh importir dengan pengawasan Kementan telah mencapai 10.000 bibit. Harapannya, ujar Suwandi, jumlahnya dapat meningkat pada tahun depan menjadi 30.000.
"Baru 2021 kami perkirakan bisa panen dan setop impor. Jadi memang wajar,” kata dia menambahkan.
Sementara terkait komoditas sayuran lain seperti kentang, ia menjelaskan bahwa kebutuhan tersebut hanya diperuntukkan untuk industri dan bukan untuk konsumsi rumah tangga.
Ia juga mengklaim, "sekarang kami sudah swasembada. Jadi itu adalah prestasi, jangan salah menyimpulkannya.”
Berdasarkan data BPS, impor kentang tercatat mencapai 1,9 juta dolar AS--meningkat dibandingkan periode Oktober yang senilai 1,1 juta dolar AS.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz