tirto.id - Menjaga pikiran positif, yakni dengan tetap bahagia dan optimistis, menjadi salah satu kunci dalam menghadapi masa sulit selama pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, Satgas Penanganan Covid-19 menyarankan masyarakat menghindari stres untuk mempertahankan daya tahan tubuh. Menjaga pikiran positif merupakan langkah penting mencegah penularan virus corona, selain harus tetap mematuhi protokol kesehatan.
Bahkan, bahagia dan optimistis dapat mempercepat proses penyembuhan pasien Covid-19. Salah satu dokter RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Dr Debryna mengaku melihat langsung dampak pikiran positif kepada pasien positif corona.
"Imunitas yang baik itu akan tercipta dari suasana hati. Baru kali ini benar-benar melihat, kalau pasien yang pikirannya bisa positif, pasien yang bisa dibawa enjoy, itu beneran cepat banget sembuhnya. Bahkan gejalanya saja bisa hilang dengan cepat," kata Debryna awal Oktober lalu.
Mendorong pasien berpikiran positif juga menjadi salah satu metode perawatan yang dijalankan di RS Wisma Atlet. Koordinator RS Wisma Atlet, Mayjen Tugas Ratmono mengatakan hal ini menjadi bagian penting dalam proses penyembuhan pasien Covid-19.
"Ada kegiatan olahraga pagi, diikuti pendampingan dari psikolog dan rohaniawan. [..] Yang penting jangan ada ketegangan dan stres selama proses perawatan dan isolasi pasien di RS Wisma Atlet," kata Ratmono dalam talkshow yang digelar Satgas Penanganan Covid-19 pada Senin, 9 November 2020.
Selain pendampingan, kata Ratmono, RS Wisma Atlet mengadakan program mingguan bernama "weekend bersama psikolog" untuk menjaga kesehatan mental pasien. Langkah tersebut dilakukan untuk mencegah pasien Covid-19 mengalami gangguan stres dan kecemasan.
Mengapa Perasaan Bahagia Penting Bagi Kesehatan
Dalam acara talkshow yang sama, Psikolog Klinis dan Hipnoterapis Liza Marielly Djaprie menyebut, bahwa kesehatan manusia perlu dilihat dari sudut pandang kesatuan holistik fisik dan psikis.
Dia mencontohkan, ada sebagian orang yang semula sehat, tetapi lantas jatuh sakit setelah stres berkepanjangan. Jadi, perasaan bahagia pun berperan penting dalam menjaga kesehatan.
Liza menerangkan, pikiran manusia dipengaruhi oleh berbagai jenis hormon. Apabila hormon yang mempengaruhi stres (kortisol) lebih sering "ditekan tombolnya" maka kecemasan dan gangguan kesehatan bisa muncul.
"Seperti darah tinggi, kalau rentan akan cenderung mengalami diabetes, hingga imunitas turun," uja Liza.
Sebaliknya, efek positif kepada kesehatan dapat muncul apabila hormon pemicu perasaan bahagia lebih sering diaktifkan. Menurut Liza, ada 4 hormon yang bisa memicu kebahagiaan seseorang.
Pertama, hormon dopamin yang bisa aktif jika seseorang memiliki tujuan hidup, atau fokus meraih suatu tujuan.
Kedua, hormon endorfin yang berperan penting untuk meredakan stres dan menurunkan rasa sakit secara alami. Menurut Liza, hormon endorfin bisa aktif melalui aktivitas olahraga, atau kegiatan fisik lainnya.
Sementara yang ketiga adalah hormon serotonin, yang biasa disebut hormon bahagia. Hormon ini, kata Liza, bisa aktif ketika seseorang berbagi atau melakukan sesuatu untuk orang lain, sehingga merasa berguna bagi sesama.
Adapun yang keempat, hormon oksitosin, atau biasa disebut hormon cinta. Ia mengatakan hormon keempat ini bisa aktif saat seseorang berpelukan dengan orang terdekat, atau menunjukkan kasih sayang ke orang lain.
"Jika hormon-hormon [bahagia] itu banyak keluar bisa meningkatkan imunitas tubuh," ujar Liza.
Perasaan optimistis, juga penting untuk menjaga harapan hidup, termasuk bagi pasien Covid-19. Namun, mengenai hal ini, Liza mengingatkan bahwa optimisme palsu dapat muncul dari sesuatu yang ia sebut: toxic positivity.
Kata Liza, toxic positivity bisa muncul ketika seseorang terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja, meski sebenarnya merasakan sedih, stres, cemas, takut, dan semacamnya.
Penyangkalan terus menerus terhadap adanya perasaan-perasaan seperti itu justru bisa memicu stres yang menumpuk. "Padahal, perasaan-perasaan itu wajar ketika kita berada di situasi tidak normal," kata Liza.
Liza bilang, reaksi yang "tidak normal" terhadap situasi krisis, seperti bencana atau pandemi, bisa berdampak positif jika diakui sebagai kondisi yang wajar. Sebab, optimisme di tengah situasi krisis bisa tumbuh apabila seseorang terlebih dahulu mengakui semua perasaan yang muncul.
Pengakuan itu, Liza melanjutkan, lantas perlu ditindaklanjuti dengan analisis terhadap kebutuhan personal. Sebagai contoh, ketika seseorang merasa takut dan stres, dia perlu memikirkan langkah antisipasinya, berupa olahraga rutin atau menjalin komunikasi dengan orang-orang terdekat.
Tips Tetap Bahagia dan Tidak Stres saat Pandemi
Bagi mereka yang merasakan takut atau cemas berlebihan, Liza menyarankan sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk meredakannya. Hal paling penting adalah mencari dukungan sosial.
Berbicara dengan beberapa sahabat untuk mengungkapkan perasaan, kata Liza, adalah salah satu cara meredakan perasaan takut dan kecemasan berlebihan.
"Ada istilahnya talking cure, ngoceh itu penting."
Kemudian, langkah penting lainnya adalah belajar menenangkan diri. Masing-masing orang, kata Liza, memiliki cara tersendiri untuk menenangkan diri, seperti dengan beribadah, berdoa, meditasi, atau berolahraga dengan rutin.
Selain itu, khusus untuk melewati masa pandemi, Liza mengatakan sikap penerimaan merupakan hal paling penting. Sebab ketika pandemi terjadi, Liza melanjutkan, keinginan menemukan kondisi yang sebaliknya justru dapat memicu stres.
"Kita harus belajar menerima, bahwa kondisi sekarang ini harus dihadapi bersama. [...] Kemudian, kita harus belajar mengelola semua perasaan yang muncul," ujar dia.
"Sedang sedih, bahagia, kecewa, cemas itu tak apa-apa. Tapi, kemudian katakan pada diri sendiri bahwa kita bisa mengelola emosi itu, dan memutuskan untuk tetap bahagia," Liza melanjutkan.
Mengutip pendapat ahli saraf kognitif kenamaan sekaligus penulis buku The Optimism Bias, Tali Sharot, yang dilansir CNBC, kontrol terhadap perasaan merupakan unsur penting untuk menjaga kebahagiaan di tengah pandemi.
Salah satu saran Sharot untuk menjaga perasaan bahagia dan optimistis di tengah pandemi ialah dengan menyusun rencana masa depan ketika kondisi sudah membaik.
"Penting untuk tetap membiasakan diri membuat rencana itu, memasukkannya ke dalam buku harian, dan memiliki hal-hal yang bisa kita nantikan," ujar Sharot.
Taktik yang disebutnya sebagai "antisipasi kondisi" tersebut tidak hanya bisa memicu perasaan gembira, tetapi juga menolong seseorang lebih mudah mengendalikan perasaan.
Kata Sharot, rencana yang dibuat juga tidak perlu merupakan sesuatu yang "besar." Ia bisa seperti rencana untuk berlibur, menonton film di bioskop, hingga agenda berkumpul bareng teman-teman.
Pendapat Sharot didasari hasil satu penelitian di Belanda pada tahun 2010 yang melibatkan 1000 wisatawan, sebagai responden.
Hasil riset itu menyimpulkan tindakan merencanakan liburan berkontribusi lebih besar pada tingkat kebahagiaan responden daripada kondisi setelah perjalanan berlibur itu sendiri.
-------------
Artikel ini diterbitkan atas kerja sama Tirto.id dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Editor: Agung DH