tirto.id - Santi, bukan nama sebenarnya, baru saja usai tampil dalam pertunjukan Ode Tusuk Konde di Goethe Haus, Minggu (10/12) malam lalu. Bersama dua penampil perempuan lain, ia duduk di meja bundar tempat sejumlah wartawan menantinya untuk wawancara.
Tanya jawab kali ini berbeda, hanya penampil dengan pita hijau atau mereka yang memberikan consent yang boleh diliput, demikian keterangan panitia acara. Pasalnya, sebagian besar dari penampil ialah para penyintas dan pendamping penyintas kekerasan terhadap perempuan, mulai dari perkosaan hingga KDRT.
Wawancara diawali dengan situasi emosional. Kendati di panggung Santi tampak mulus melakoni perannya, ia tak kuasa menahan tangis saat berkisah di depan wartawan. Ia adalah nenek dari bocah tiga tahun yang sempat mengalami pelecehan seksual setahun silam. Sesal karena merasa gagal menjaga sang cucu masih menghantui Santi, dan malam itu trauma kembali menderanya.
Lain cerita dengan Ima, bukan nama sebenarnya, penampil di sebelah Santi. Pemeran Kembang dalam Ode Tusuk Konde tersebut sempat ditinggal suaminya ketika tengah mengandung anak kedua. Kekecewaan dan amarah yang sempat menetap di hati Ima sempat luntur ketika suaminya datang sesaat menjelang persalinannya.
Rekonsiliasi berlangsung sementara. Hingga suatu siang, ia mendapati suaminya tengah membopong anak pertamanya yang masih berusia 13 bulan, bersiap membawanya pergi tanpa seizin Ima atau orangtua Ima. Ima berusaha mencegat, tetapi tidak dihiraukan suaminya yang sudah mendudukkan anak pertama mereka di mobil.
Pengaduan ke Polda Ima lakukan dalam keadaan kalut malam harinya, tetapi apa yang ia dapatkan dari seorang petugas laki-laki di unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) ketika itu? “Tanpa empati sedikit pun, si polisi berkata kepada saya, ‘Lah itu kan bapaknya, Bu. Ya sudahlah…’,” aku Ima.
Baca juga: Pentingnya Kepekaan Saat Bertanya kepada Penyintas Perkosaan
Sementara penampil ketiga, Mumun, bukan nama sebenarnya, merupakan penyintas KDRT yang telah melaporkan kasusnya sejak 2008. Berbagai upaya advokasi telah ia lalui, termasuk dengan cara menyurati presiden. Telah berulang kali ia jatuh saat berusaha mencari keadilan sekaligus nafkah untuk anak-anaknya di usianya yang paruh baya, tetapi hal itu tidak membuatnya menyerah.
Baginya, hanya dengan cara buka suara ia bisa menyembuhkan diri sekaligus memenuhi kebutuhan keluarganya yang tak diurus sang suami. Dan salah satu pilihan yang ditempuhnya untuk vokal urusan kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana dipilih penampil-penampil lainnya, adalah melakoni teater Ode Tusuk Konde.
Menurut Helga Worotitjan, penyintas sekaligus ketua panitia acara ini, pementasan oleh penyintas di bawah naungan LBH Apik adalah kali pertama yang mereka selenggarakan. Selama ini ia melihat, betapa besarnya usaha yang sudah dilakukan LBH Apik untuk membantu para penyintas, termasuk mengadakan acara gathering rutin dalam rangka pemulihan psikis mereka.
Tentu ada biaya tidak sedikit yang mesti digelontorkan untuk gathering tersebut. Maka, ia bersama teman-teman lainnya berinisiatif menggalang dana lewat pertunjukan teater tersebut.
Menariknya dalam Ode Tusuk Konde, sutradara Agustian memaparkan, ia sengaja memilih potongan-potongan kisah berlatar sejarah dan budaya di Indonesia seperti jugun ianfu dan ronggeng. Di bawah payung tema kekerasan terhadap perempuan, ia menjahit plot yang dibuatnya dengan pengalaman-pengalaman personal para penyintas.
Baca juga:Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang
Adegan awal dibuka dengan monolog Angie—satu dari segelintir penampil yang bukan penyintas—, pemeran film Virgin (2004), yang mengisahkan perkosaan yang dialaminya sebagai seorang penari. Ia dibuang oleh keluarganya dan harus mengemban beban sendirian, termasuk saat mengandung anak si pemerkosa. Berikutnya tentang penyintas perkosaan yang menjadi depresi setelah tragedi menimpa hidupnya.
Topik bergulir ke isu penyiksaan asisten rumah tangga. Seorang penyintas belia mengungkapkan langsung pengalaman pahitnya seperti disiram air cabai, digantung dalam posisi terbalik, serta dipukul pada bagian kepala oleh majikannya.
Lalu ada cerita tentang derita ibu yang mendapati anaknya diperkosa ayah kandungnya, juga kisah istri yang suaminya berselingkuh, lantas mengusir dirinya sampai ia tidak boleh lagi bertemu dengan anaknya. Beberapa penonton menitikkan air mata. Cerita yang bersumber dari kisah-kisah pribadi ini tak pelak membuat yang hadir merinding dan terbawa emosi.
Pilihan untuk mengangkat kisah para penyintas kekerasan terhadap perempuan di atas panggung tentu bukan sembarang diambil penyelenggara. Di berbagai negara, hal ini juga dilakukan menggunakan medium-medium berbeda sebagai wujud aktivisme, atau sering juga disebut artivisme/artivism—terminologi yang menggabungkan art dan activism. Tidak hanya para penyintas, mereka yang peduli terhadap isu kekerasan terhadap perempuan pun telah tercatat berkontribusi dalam artivisme ini.
Frida Kahlo misalnya, kendati bukan penyintas seperti para penampil Ode Tusuk Konde, sempat membuat lukisan berjudul A Few Small Nips (1935). Dalam buku Women's Contributions to Visual Culture, 1918-1939 (2016) tercantum, pelukis Meksiko ini menggambarkan perempuan ditusuk hingga tewas di ranjang, tepat di sisi laki-laki pembunuhnya. Judul lukisan Kahlo seiring dengan realitas di mana seorang pembunuh berkelit di depan polisi dengan mengatakan, “but it was only a few small nips!”
Lalu, ada The Clothesline Project yang dibentuk di Massachusetts tahun 1990. Tujuannya ialah mendorong para penyintas untuk buka suara dengan cara menuliskan pesan di atas kaus yang berisi ungkapan perasaan, pikiran, serta aktivisme dari perspektif penyintas maupun orang yang peduli terhadap isu kekerasan.
Di Inggris, salah satu aktivisme melawan kekerasan terhadap perempuan lewat seni dilakukan Elisa Iannacone, seorang jurnalis dan sinematografer. Penyintas perkosaan ini tengah membukukan karya fotografi yang menceritakan dampak psikologis yang dialaminya dan sejumlah penyintas lain. Rencananya, proyek Iannacone bertajuk The Spiral of Containment: Rape's Aftermath ini rampung pada 2018 mendatang dan akan dirilis pada bulan Februari di Inggris.
Baca juga:Kisah-Kisah Korban Perkosaan yang Melawan dan Menginspirasi
Terkait artivisme, Saras Dewi, pengajar Filsafat FIB UI sekaligus salah satu penampil pembuka dalam acara tersebut, menyatakan bahwa proses latihan yang dijalani para penyintas penting untuk membangun solidaritas antarsesamanya. Saat pertunjukan digelar, solidaritas ini meluas dengan melibatkan para penonton.
“Di satu sisi, pertunjukan ini memiliki sisi estetis, tetapi bagi mereka [penampil], ini adalah suatu pelepasan, bahwa mereka ingin melampaui kekerasan yang sudah mereka alami,” jelas perempuan yang kerap mendampingi penyintas kekerasan seksual ini kepada Tirto.
Seiring dengan pendapat Saras soal seni sebagai bentuk pelepasan atau pemulihan diri, Ima mengungkapkan, “Itu [partisipasi dalam pertunjukan Ode Tusuk Konde] adalah proses healing karena ada teman-teman yang punya permasalahan yang kurang lebih sama. Kami jadi saling menguatkan, sama-sama berjuang, tidak diam. Perempuan itu harus bersuara, tidak perlu malu atau takut supaya ada solusi ke depannya.”
Menurut pakar psikologi, berkesenian merupakan cara penyembuhan luka psikis yang cukup efektif karena tidak semua orang bisa dengan gamblang mencurahkan pengalamannya, terlebih penyintas kekerasan seksual yang potensial mengalami PTSD (post traumatic stress disorder).
Seni menjadi suatu ruang aman bagi mereka dalam memulihkan diri dari trauma-trauma mendalam. Tidak hanya itu, dikutip dari situs Pandora’s Project yang berfokus memberi dukungan bagi penyintas kekerasan seksual, seni bisa menjadi alat tersendiri untuk memompa rasa percaya diri orang-orang dengan PTSD.
Baca juga: Terapi Seni: Alternatif untuk Ringankan Gangguan Bipolar
Dalam proses latihan Ode Tusuk Konde, beberapa kali kondisi psikis penyintas menurun. Ini menjadi kendala tersendiri dalam persiapan selama tiga bulan yang mereka jalankan. Santi mengungkapkan, “Saya selalu sedih saat latihan, tapi saya berusaha, bagaimana pun caranya supaya saya bisa menyuarakan isi hati saya, supaya saya enggak terlarut-larut dalam kesedihan lagi.”
Hal senada pun juga diutarakan Ima. Tetapi yang jelas, ketika trauma lagi-lagi merundung mereka, ada teman-teman lain yang senasib serta pendamping yang siaga memberi dukungan moral. Mencoba pendekatan spiritual untuk mengentaskan kepedihan mereka juga menjadi strategi lain bagi penyintas. “Life must go on. Saya ingat ada Tuhan, dan karenanya saya yakin akan ada harapan,” imbuh Ima.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani