Menuju konten utama

Terapi Seni: Alternatif untuk Ringankan Gangguan Bipolar

Bukan hanya konsultasi dengan profesional dan obat-obatan saja yang dapat meringankan gejala bipolar. Membuat karya seni pun bisa membantu para pengidap mengatasi masalah psikologis yang satu ini.

Terapi Seni: Alternatif untuk Ringankan Gangguan Bipolar
Ilustrasi terapi seni. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Gangguan bipolar bukan hal yang mudah untuk diatasi. Apalagi jika penderitanya harus menjalankan peran sebagai ibu, dengan anak yang masih balita dan membutuhkan kehadirannya secara utuh. Gangguan emosi yang tidak stabil jika dibiarkan berlarut-larut bisa berimbas pada perkembangan anak. Itulah yang dialami Nina (27), seorang penderita bipolar, yang memiliki seorang anak yang masih kecil.

Dalam media sosialnya, Nina bercerita tentang pengalamannya sebagai seorang ibu rumah tangga pengidap gangguan bipolar. Bukan perkara mudah bagi Nina untuk mengendalikan emosi ekstrem yang datang silih berganti, apalagi dengan kondisi sehari-hari ia mesti mengurus putranya yang masih berusia 2. Setiap malam, Nina merasa dorongan untuk menenggak obat-obatan yang diperlihatkannya di Instagram begitu besar. Ia hanya tak tega kalau putranya mendapati dia dalam kondisi depresif. Ia akan cenderung ketus dan bisa menangis tanpa sebab.

Dalam perbincangannya dengan Tirto, Nina kemudian bercerita tentang gangguan bipolar . Nina menyatakan, ia telah merasakan gejala-gejala bipolar sejak kuliah, tetapi ia belum menyadari bahwa yang dialaminya adalah gangguan psikologis. Kondisi kian parah saat Nina menikah dan punya anak. Ia lantas berinisiatif mencari informasi di internet mengenai gejala-gejala yang dirasakannya. Dari artikel-artikel dan hasil tes gangguan psikologi online yang diikutinya, Nina disugesti untuk menemui psikiater. Benar saja, Nina mengalami gangguan bipolar.

Ia kemudian berkisah tentang kendala-kendala yang dihadapinya akibat gangguan bipolar. Saat masih bekerja dulu, Nina mengaku ada hari-hari saat ia begitu bersemangat sehingga kerap menjanjikan penyelesaian bermacam-macam pekerjaan pada satu waktu. Alih-alih bisa menuntaskan pekerjaan tepat waktu, ia malah sering kali merasa drop setelahnya. Bangun tidur pun sulit.

“Kendala paling besar sih, pas punya anak, karena anak-anak butuh 100% perhatian kita setiap waktu. Pas lagi normal atau pas hypomania episodesih, semua baik-baik aja. Tapi saat gue drop, gue susah bangun dan gampang emosian. Kalau anak gue rewel sedikit, gue nggak bisa nahan untuk nggak bentak. Lalu, karena gue susah bangun, sering kali gue mandiin dan kasih makan anak di atas jam 12.”

Semakin kerap Nina membentak, anaknya pun makin tidak kooperatif. Nina juga mengatakan bahwa efek negatif lain dari pelampiasan emosinya kepada si anak adalah kesulitan tidur dan keterlambatan bicara.

Titik puncak luapan emosi Nina sebagai pengidap bipolar adalah saat suatu kali ia bertengkar dengan pasangannya. Ia pernah merasa ingin mati. Nina berpikir, bila ia menyakiti dirinya sendiri, ia bisa merasa lega. “Gue nangis, meracau, lalu sempat ambil scarf untuk dililit kencang di leher gue. Rasanya, berhenti bernapas sejenak itu bikin lega,” ungkap Nina. Parahnya, ketika itu putranya belum tidur dan melihat kondisi memprihatinkan ibunya. Reaksi putra Nina saat itu tak disangka: tertawa terbahak-bahak seperti berharap bahwa dengan tertawa, ibunya akan ikut tertawa.

That’s actually really sad karena artinya dia ngerti gue punya masalah. Gue pun kasihan sama suami, pada saat bersamaan, dia mesti memastikan gue berhenti melukai diri sekaligus nggak membiarkan anak gue melihat keadaan ibunya saat itu.”

Mendapati pengalaman-pengalaman buruk akibat gangguan bipolarnya, serta sadar bahwa dengan menjadi ibu, artinya ia dituntut untuk terkendali setiap waktu, Nina pun lari ke obat-obatan dari psikiater. Sudah dua bulan ia rutin mengonsumsinya. “Soalnya, kalau nggak minum obat selama 3-4 hari, gue mulai merasa nggak enak,” jelas Nina tentang alasannya memilih pengobatan kimia.

Sebagian pengidap bipolar lainnya bisa jadi berpikiran serupa dengan Nina: hanya dengan meminum obatlah gejala-gejala gangguan tersebut dapat tereduksi. Namun rupanya, ada sebuah alternatif terapi yang jauh lebih kecil efek sampingnya bagi tubuh. Ditambah lagi, biaya yang dikeluarkan untuk terapi ini tak sebesar konsultasi dengan profesional ataupun menebus obat-obatan.

Terapi alternatif itu adalah menggambar atau melukis.

Bukan tanpa alasan menggambar dipilih sebagai bentuk terapi bagi orang-orang dengan gangguan psikologis. Sejumlah studi telah menemukan manfaat pembuatan karya seni bagi kondisi mental seseorang. Menurut Naumberg (1958), seni merupakan cara seseorang memperjelas aneka perasaan yang sering kali tidak mudah dimengerti orang-orang sekitarnya. Proses terapi melalui seni dilandasi pemahaman bahwa perasaan dan pemikiran fundamental seseorang datang dari hal-hal di bawah sadarnya. Alih-alih melalui kata-kata lugas, gambar-gambar lebih mampu mengekspresikan ketidaksadaran ini.

Infografik Seni Untuk bipolar

Subani Maheshwari MD, dkk menyebutkan dalam situs Psychiatric Timescontoh seniman yang mengejawantahkan kondisi emosinya dalam karya seni. Satu di antaranya adalah Martin Ramirez, seniman Meksiko pengidap skizofrenia, yang sempat membuat pameran di American Folk Art Museum, New York.

Dalam tulisan mereka pun dimuat satu contoh kasus Ibu Robinson (78), pengidap bipolar I yang memanfaatkan terapi seni untuk meringankan gejalanya. Pada awal mengonsumsi obat-obatan, Ibu Robinson sempat menunjukkan peningkatan kondisi mental, tetapi memasuki minggu kedua, ia kembali kambuh. Ibu Robinson lantas menjajal terapi seni. Oleh para terapis, karya-karya Ibu Robinson dinterpretasikan mengandung pesan fluktuasi emosi yang yang tengah dihadapinya. Perlahan tapi pasti, dengan mengikuti terapi seni, kemunculan gejala gangguan bipolar Ibu Robinson menurun. Gambar-gambarnya pun lebih merefleksikan tema-tema positif seiring perbaikan suasana hati Ibu Robinson.

Menyadari betapa signifikannya terapi alternatif ini, sejumlah orang di Indonesia pun berinisiatif membuat hal sejenis. Adalah Vindy Ariella, salah satu penggagas komunitas Bipolar Care Indonesia (BCI). Bersama empat rekannya, ia membangun wadah untuk orang dengan bipolar, caregiver-nya, serta siapa saja yang peduli dengan gangguan bipolar. “Awalnya kami bertemu di sebuah komunitas kesehatan jiwa lain, lalu karena sama-sama mengalami gejala bipolar dan merasa seperjuangan, akhirnya terpikirlah membentuk BCI,” papar Vindy.

Salah satu kegiatan BCI adalah terapi seni melalui pendekatan seni rupa dan teater. Vindy menjelaskan, “Bisa jadi karya seni merupakan bentuk "bicara" mereka, bentuk pengalihan saat gejala bipolar kambuh, baik itu depresi maupun manic. Kebetulan ada seniman yang ingin membantu dan mengembangkan metode ini di BCI.” Biasanya, kegiatan terapi ini dilakukan di tempat-tempat sewaan seperti rumah, kantor, kafe, atau restoran.

Vindy menyatakan bahwa animo orang-orang terhadap terapi seni di komunitasnya cukup baik. Satu sesi bisa diisi 15 orang, kadang malah bisa diikuti 30 peserta. Sambutan baik semacam ini bisa terjadi lantaran menggambar bisa dilakukan siapa saja. “Beberapa orang yang pernah mengikuti sesi terapi menggambar mengatakan bisa mengeluarkan unek-uneknya, mengekspresikan yang selama ini tersimpan saja di pikiran. Selain itu, mereka juga lebih bisa mengatasi kecemasan atau kegelisahan dan merefleksikan apa yang sedang terjadi dalam diri mereka. Misalnya, mood-nya apa, pemicunya apa. Dengan begitu, saat penderita bipolar berbicara dengan psikiater, akan lebih mudah untuk melihat apa yang mereka alami beberapa waktu belakangan,” pungkasnya.

Sejauh ini, sudah dua kali BCI mengadakan pameran, yakni ketika mengikuti perayaan Hari Bipolar Sedunia. Vindy berharap, di kemudian hari komunitas ini bisa membuat pameran khusus bagi pengidap bipolar.

Baca juga artikel terkait BIPOLAR atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti