tirto.id - Sidang dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah memasuki sidang ke-16, pada Rabu (29/3/2017). Akan tetapi, meski sudah berstatus terdakwa, pria kelahiran Belitung Timur itu belum diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Forum Umat Islam (FUI) pun kembali mendeklarasikan aksi massa pada Jumat (31/3/2017) nanti. Sekretaris Jenderal FUI, Muhammad Al-Khaththath menyerukan undangan kepada segenap umat Islam untuk mengikuti aksi demonstrasi menuntut Presiden Joko Widodo memberhentikan Ahok sebagai gubernur DKI.
Menurut Al-Khaththath, aksi akan dilakukan dengan bersama-sama menunaikan salat Jumat, zikir, dan tausiah di Masjid Istiqlal. Kemudian massa menuju Istana Negara menuntut pencopotan Ahok.
“Kita jalan menuju Istana Presiden untuk menuntut kepada Presiden agar melaksanakan undang-undang, yaitu mencopot terdakwa Ahok. Basuki Tjahaja Purnama seorang terdakwa penista Alquran harus dicopot dari jabatannya,” ujarnya dalam video yang diunggah di Youtube, 27 Maret lalu.
Seruan demonstrasi oleh FUI untuk mencopot Ahok bukanlah yang pertama. Organisasi yang dipimpin Al-Khaththath ini juga melakukan aksi massa pada 21 Februari lalu. Aksi yang dikenal dengan “aksi 212 jilid 2” dilakukan di depan gedung DPR RI dan menuntut agar lembaga legislatif itu mendesak pemerintah memberhentikan Ahok.
Saat itu, Ketua Komisi III, Bambang Soesatyo berjanji akan menyampaikan aspirasi para peserta Aksi 212 Jilid 2 yang menuntut pemerintah menonaktifkan Ahok sebagai gubernur DKI. “Aspirasi akan kami sampaikan kepada pemerintah melalui Pimpinan DPR,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan perwakilan peserta Aksi 212 Jilid 2 di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, pada Selasa (21/2/2017).
Akan tetapi, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendari) tetap bersikukuh tidak memberhentikan Ahok dengan alasan masih menunggu kepastian tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini dilakukan mengingat Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 156 KUHP dan Pasal 156 huruf a KUHP.
Dengan Pasal 156, Ahok mendapat ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sedangkan Pasal 156 huruf a, ancaman pidana selama-lamanya 5 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 disebutkan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang sudah menyandang status terdakwa harus diberhentikan sementara atau nonaktif bila didakwa dengan ancaman penjara paling singkat lima tahun.
Alasan pemerintah tersebut tidak dapat diterima oleh FUI. Al Khaththath melalui video yang diunggah di Youtube tetap menyerukan kepada segenap umat Islam untuk menuntut Ahok diberhentikan, karena menyandang status terdakwa. Ia meminta para peserta aksi menggunakan pakaian serba putih. Apabila ada anggota ormas menggunakan seragamnya, maka hal itu tak jadi persoalan.
“Bawa bendera ormas masing-masing. Kalau enggak punya bawa bendera Lailahailallah Muhammadarasulullah, bendera tauhid kita. Ayo bersama-sama kita ke Jakarta, tanggal 313 [Jumat 31 Maret 2017]. Kita bela Allah, kita bela Rasul, kita bela Alquran. Allah Akbar. Allah Akbar. Allah Akbar,” demikian Al Khaththath menutup seruannya.
Terkait aksi 313 ini, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono mengaku belum mendapat surat pemberitahuan resmi dari pelaksana aksi 313. Argo justru mempertanyakan rencana aksi tersebut.
“Sampai sekarang masih menunggu pemberitahuan yang masuk. Ngapain lagi sih?" kata Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (27/3/2017).
"Sampai sekarang masih menunggu pemberitahuan yang masuk. Ngapain lagi sih?" kata Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta.
Argo menuturkan, Polda Metro Jaya belum tentu memberikan izin aksi 313. Ia memberikan izin apabila kegiatan memenuhi Undang-Undang Kebebasan Menyatakan Pendapat. Setelah mendapat gambaran jumlah peserta, dikatakan Argo, polisi bisa mengamankan acara dengan baik.
Argo berharap publik melakukan kegiatan agama seperti biasa. Ia meminta agar masyarakat beribadah di rumah masing-masing. Ia berharap, publik tidak berkegiatan politik dengan menggunakan atribut tertentu, terutama agama.
“Kegiatan politik di Jakarta ini biarlah berjalan sendiri tidak usah ditambahi dengan kegiatan yang memperkeruh suasana. Biar Pilkada berjalan sesuai aturan yang ada," kata Argo.
Upaya melengserkan Ahok tak hanya lewat demonstrasi, tapi juga melalui mekanisme hak angket yang diusulkan sejumlah fraksi di DPR RI. Baca: Tak Mudah Menyingkirkan Ahok dari Balai Kota
Dari Aksi Massa hingga Pengajuan “Ahok Gate”
Tuntutan pencopotan Ahok dari jabatannya sebagai gubernur DKI, tidak hanya dilakukan melalui demonstrasi. Sejumlah fraksi di DPR RI juga menempuhnya dengan cara pengajuan hak angket yang dikenal dengan “Ahok Gate”.
Pengajuan hak angket yang diinisiasi oleh Fraksi PKS, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, dan Fraksi PAN itu bahkan telah dibacakan dalam sidang paripurna, pada Kamis (23/2/2017). Sayangnya, hingga saat ini, nasib pengajuan hak angket “Ahok Gate” ini masih belum mendapatkan kejelasan, apakah akan diterima atau ditolak.
Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3, sebelum usulan Ahok Gate tersebut diterima atau ditolak, masih ada beberapa tahapan lain yang mesti dilalui. Misalnya, berdasarkan Pasal 200 ayat (2), usulan tersebut terlebih dahulu diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna, serta dibagikan pada semua anggota.
Dalam Pasal 201 juga secara eksplisit ditegaskan: jika usulan hak angket diterima, maka DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi di DPR. Jika usulan tersebut ditolak, maka Ahok Gate tidak dapat diajukan kembali.
Dalam konteks ini, upaya-upaya melengserkan Ahok dari Balai Kota tidak hanya ditempuh melalui demonstrasi berseri yang dikoordinir FUI, akan tetapi juga melalui mekanisme politik di DPR lewat pengajuan hak angket “Ahok Gate”.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz