Menuju konten utama

Tak Mudah Menyingkirkan Ahok dari Balai Kota

Usulan hak angket "Ahok Gate" akan dibacakan dalam sidang paripurna DPR. Namun, di atas kertas, dengan menghitung konstelasi koalisi, tak mudah meloloskan usulan Ahok Gate ini.

Tak Mudah Menyingkirkan Ahok dari Balai Kota
Sejumlah ulama dan mahasiswa dari perwakilan Forum Umat Islam (FUI) melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/2). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Wacana hak angket “Ahok Gate” yang digulirkan empat fraksi di DPR terkait keputusan Kemendagri yang kembali mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta, memasuki babak baru. Usulan yang ditandatangani 90 anggota dari Fraksi Demokrat, Gerindra, PKS, dan PAN ini sudah dibahas di Badan Musyawarah (Bamus), dan akan dibacakan dalam sidang paripurna, pada Kamis (23/2/2017).

Namun demikian, sebelum usulan Ahok Gate tersebut diterima atau ditolak, masih ada beberapa tahapan lain yang mesti dilalui. Artinya, sidang paripurna yang diagendakan pada pekan ini, baru sebatas membacakan usulan.

Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3 yang salah satunya mengatur soal tata cara pengajuan hak angket. Misalnya, berdasarkan Pasal 200 ayat (2), usulan tersebut terlebih dahulu diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna, serta dibagikan pada semua anggota.

Dalam Pasal 201 juga secara eksplisit ditegaskan: jika usulan hak angket diterima, maka DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi di DPR. Jika usulan tersebut ditolak, maka Ahok Gate tidak dapat diajukan kembali.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon membenarkan hal tersebut. Menurutnya, pada sidang pekan ini, DPR baru sebatas membacakan usulan hak angket yang digulirkan oleh empat fraksi dan ditandatangani oleh 90 anggota. Sementara, keputusan DPR mengenai kepastian diterima atau tidaknya usulan tersebut baru akan dibahas pada masa sidang berikutnya usai masa reses.

“Sejauh ini sebagai usulan dibicarakan di Bamus, dan [lalu ada] penyikapan di paripurna, tapi bukan yang sekarang [sidang paripurna usai reses],” kata Fadli, di Komlek Parlemen, pada Selasa (21/2/2017).

Adu Argumen Hingga Aksi Massa

Wacana hak angket “Ahok Gate” ini bergulir seiring langkah Kemendagri yang mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI setelah masa cuti kampanyenya habis pada 11 Februari lalu. Namun, langkah tersebut mendapat sorotan mengingat pria kelahiran Belitung Timur itu adalah terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama dan masih menjalani proses sidang di PN Jakarta Utara.

Dinamika ini kemudian menyebabkan munculnya usulan hak angket di DPR, yang hendak menginvestigasi pemerintah yang tidak memberhentikan Ahok. Para pengusul hak angket menilai pemerintah telah melanggar UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda karena tidak memberhentikan Ahok yang berstatus terdakwa.

Selain itu, pemerintah juga dinilai telah melanggar UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada karena melakukan serah terima jabatan pada 11 Februari 2017, yang seharusnya masih dalam masa kampanye.

“Cuti para petahana itu dari tanggal 28 Oktober 2016 sampai 11 Februari 2017 Pukul 24.00. Pada saat serah terima itu tanggal 11 Februari pukul 15.30 masih masa cuti dan Ahok sedang cuti. Penyelenggaraan acara tersebut telah melanggar UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 70 serta rinciannya pada Peraturan KPU No.12/2016,” kata politikus PKS, Almuzzammil Yusuf seperti dikutip Antara.

Sebaliknya, Mendagri Thahjo Kumolo beralasan pihaknya belum memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur DKI karena berpegang teguh pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Dalam konteks ini, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif Pasal 156 dan 156a KUHP yang ancaman pidananya berbeda.

Tjahjo menegaskan, kebijakannya mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI bukan dalam kapasitas membela yang bersangkutan, namun menjalankan perintah konstitusi. “Saya tidak membela Ahok namun membela Presiden dan saya bertanggung jawab sehingga kalau pun salah siap diberhentikan. Saya membela Presiden dan kebetulan kasus ini menyangkut Ahok,” ujarnya, dalam rapat kerja Komisi II DPR, Jakarta, pada Rabu (22/2/2017).

Polemik terkait langkah Kemendagri yang mengangkat kembali Ahok sebagai Gubernur DKI ini, tidak hanya diwarnai adu argumentasi antara pihak yang menolak dan yang mendukung. Namun, langkah tersebut juga direspons dalam bentuk demonstrasi yang dikoordinasi Forum Umat Islam (FUI).

Mereka meminta anggota legislatif agar mendesak pemerintah agar memberhentikan Ahok. Artinya, dalam konteks ini tekanan terhadap pemerintah agar memberhentikan Ahok tidak hanya datang dari empat fraksi di DPR yang mengusulkan hak angket, melainkan juga dari ormas yang selama ini melakukan demonstrasi mengawal kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok.

Infografik Ahok Gate

Menguji Soliditas KIH di Parlemen

Terlepas adanya tekanan ormas tersebut, menarik jika melihat peta kekuatan parlemen apabila usulan hak angket “Ahok Gate” benar-benar dibacakan dalam sidang paripurna pekan ini. Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR, Ahmad Muzani meyakini bahwa usulan hak angket terkait pengangkatan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI akan berhasil.

Saya optimis karena standar pengguliran hak angket itu sudah memenuhi syarat dan perdebatannya di Rapat Paripurna setelah reses,” kata Muzani, di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Senin (20/2/2017).

Muzani menegaskan hak angket tersebut secara tidak langsung mengingatkan kepada pemerintah bahwa pernah ada kasus kepala daerah menjadi terdakwa yang langsung dinonaktifkan dari jabatannya. Di sisi lain, ada Ahok yang justru dilantik kembali setelah menjadi terdakwa.

Apakah rencana Partai Gerindra akan berjalan mulus? Jika melihat peta kekuatan partai pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), usulan hak angket tersebut akan sulit terkonsolidasi.

Sebagai ilustrasi misalnya, sebelum reshuffle kabinet kerja kedua, partai pendukung pemerintah di parlemen hanya memiliki 246 kursi, yang terdiri dari PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura, PKB, dan PPP. Sementara itu, parpol di luar pemerintah memiliki 314 kursi yang terdiri dari Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN. Secara hitung-hitungan politik di atas kertas, partai pendukung pemerintah dipastikan kalah.

Namun, itu dulu. Peta politik berubah setelah bergabungnya Golkar dan PAN dalam barisan partai pendukung pemerintah. Artinya, sekarang, secara hitung-hitungan di atas kertas, kebijakan yang diambil pemerintah akan mulus di parlemen, termasuk soal pengangkatan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI. Hal ini dimungkinkan, karena partai pendukung pemerintah di parlemen memiliki 386 kursi, sementara di luar pemerintahan hanya memiliki 174 kursi.

Bagaimana jika PAN tetap bersikukuh dengan sikapnya terkait hak angket Ahok Gate? Apabila partai berlambang Matahari tersebut tetap menginginkan hak angket bergulir, maka kursi partai pendukung pemerintah di parlemen masih cukup besar, yaitu 337 kursi, sedangkan partai pendukung hak angket hanya 223 kursi.

Akan tetapi, jumlah kursi partai pendukung pemerintah di parlemen bukan jaminan untuk selalu berada di barisan pemerintah. Pengalaman usulan hak angket Centuty pada tahun 2009 adalah bukti nyata. Saat itu, sejumlah partai pendukung pemerintahan SBY-Budiono, seperti Golkar, PPP, dan PKS justru mendukung hak angket Century.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET AHOK GATE atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani