Menuju konten utama

AJI Jakarta: Redaksi Belum Memihak Korban Pelecehan Seksual

Kebijakan redaksi dalam ruang pemberitaan (newsroom) belum sepenuhnya berpihak kepada korban kekerasan dan pelecehan seksual.

AJI Jakarta: Redaksi Belum Memihak Korban Pelecehan Seksual
Relawan mengangkat poster ajakan untuk mencegah pelecehan seksual di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Jumat (9/2/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak Dewan Pers perlu lebih tegas soal kebijakan penulisan berita tentang korban kekerasan atau pelecehan seksual.

"Harusnya Dewan Pers juga bisa memberikan sanksi yang cukup keras sebagai efek jera [kepada jurnalis yang melanggar etik]," tegas Naomi Jayalaksana, kata Koordinator Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Jakarta, kepada reporter Tirto, Senin (4/3/2019).

Menurut Naomi, pemberitaan terkait korban pelecehan atau kekerasan seksual sudah cukup meresahkan. Lebih jauh lagi, banyak penderitaan yang justru mengeksploitasi korban.

Naomi juga berkata, beberapa kali AJI Jakarta memberikan pelatihan kepada jurnalis terkait penulisan terkait masalah pelecehan atau kekerasan seksual. Namun, kinerja para jurnalis tersebut justru dipatahkan oleh kebijakan dalam ruang redaksi.

"Atau para editor yang kemudian menjadikan produk jurnalistik itu kembali tidak ramah gender, menghakimi dan memviktimisasi korban, bahkan menjadi bentuk kekerasan terhadap korban pelecehan seksual," jelas Naomi.

Dengan sejumlah permasalahan tersebut, Naomi menilai kebijakan dari Dewan Pers bisa membantu permasalahan yang ada.

"Ini penting, karena ada landasan yang kuat juga bagi Dewan Pers untuk menjatuhkan sanksi kepada awak media yang melanggar," kata Naomi.

Selain masalah pemberitaan korban kekerasan dan pelecehan seksual, Naomi juga mengatakan perlu ada kode etik yang mengatur pemberitaan gender, anak, dan kaum marjinal, yang dimasukan ke dalam Kode Etik Jurnalistik.

"Bahayanya, jika ini tidak benar-benar menjadi perhatian, maka produk jurnalistik yang harusnya punya misi sebagai alat edukasi, justru berubah menjadi alat bertumbuhnya budaya kekerasan dan kebencian," tutur Naomi.

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, belum membahas kembali terkait rencana untuk membuat pedoman penulisan soal kekerasan atau pelecehan seksual tersebut.

Lebih jauh lagi, Hendry Chairudin Bangun, anggota Dewan Pers mengatakan memang belum ada rencana ke arah sana.

"Kalau ada aturan baru, maka Dewan Pers akan mulai dengan FGD [forum group discussion] dengan undang semua konstituen, media, akademisi, LSM untuk membahasnya. In belum ada rencana," kata Hendry saat dikonfirmasi Tirto Senin (4/3/2019).

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hard news
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali