Menuju konten utama

AJI: 20 Tahun Reformasi Tak Banyak Berdampak pada Kebebasan Pers

Selama tahun 2003 hingga akhir 2017 terdapat 732 kasus kekerasan terhadap jurnalis entah itu kekerasan fisik ataupun non-fisik.

AJI: 20 Tahun Reformasi Tak Banyak Berdampak pada Kebebasan Pers
Puluhan jurnalis menggelar aksi Hari Kebebasan Pers Sedunia di jalan MT Haryono, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (3/5/2018). ANTARA FOTO/Jojon

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai belum ada perubahan signifikan untuk kebebasan pers setelah 20 tahun Reformasi. Padahal, Reformasi tahun 1998 diharapkan jadi titik awal bagi negara untuk menghargai hak asasi manusia.

AJI mencatat setidaknya ada 4 poin yang menyangkut kebebasan pers di Indonesia. Poin pertama ialah kekerasan terhadap jurnalis.

Berdasarkan data LBH Pers, selama tahun 2003 hingga akhir 2017 terdapat 732 kasus kekerasan terhadap jurnalis entah itu kekerasan fisik ataupun non-fisik

"Berarti per bulan ada 4 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Artinya dalam 20 tahun reformasi, watak-watak jahiliah Orde Baru masih ada," kata Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani di kantor AJI Jakarta, Jakarta Selatan pada Selasa (22/5/2018).

Selain itu, selama 2003 sampai Mei 2018 terdapat 282 kasus yang masuk ke meja kerja LBH Pers. Dari jumlah tersebut, 120 di antaranya ialah kasus ketenagakerjaan, 97 kasus pidana, 53 kasus perdata, 9 kasus tata usaha negara dan 3 kasus sengketa pemberitaan.

Poin kedua yang disoroti AJI Jakarta ialah soal kesejahteraan wartawan. Menurut Asnil, mengutip dari perhitungan AJI, upah layak bagi wartawan pemula ialah Rp7,9 juta. Namun kenyataannya rerata upah wartawan baru berkisar di angka Rp4 juta.

Padahal, seiring dengan perkembangan dunia digital, pekerjaan seorang wartawan di lapangan senantiasa bertambah. Tak cukup hanya menulis berita, wartawan juga dituntut untuk mengambil foto, video, atau bahkan melakukan siaran langsung lewat ponselnya.

"Sementara pekerjaan udah tripel, gajinya singgel. Ini fakta, ini persoalan-persoalan yang kami concern," terang Asnil.

Asnil pun menyoroti tentang kriminalisasi yang menimpa narasumber yang diwawancarai oleh wartawan. Bahkan ia menyebut itu merupakan pembredelan gaya baru.

"Narasumber dipaksa untuk tidak bicara oleh ya bisa siapa saja dan ujungnya adalah persekusi. Ini kita sudah maklum melihat ini," kata Asnil.

AJI Jakarta pun menyoroti perselingkuhan antara pemilik media dan elite politik. Menurut Asnil selain merugikan warga selaku konsumen media, jurnalis pun menjadi salah satu korban dari perselingkuhan ini.

"Ketika kita sudah berusaha memenuhi kode etik, memenuhi kapasitas kompetensi yang disyaratkan Dewan Pers. Tapi ketika pemilik media minta order issue tertentu, kita dipaksa melanggar itu," kata Asnil.

Untuk itu ia menuntut kepada Dewan Pers untuk membuat garis tegas yang memisahkan media dan kepentingan politik.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dipna Videlia Putsanra