tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menuturkan lebih dari 30 negara berkembang di dunia kesulitan membayar utang. Kondisi ini tidak lepas dari dampak pandemi COVID-19 yang membuat negara tersebut menarik utang lebih dari batas kemampuannya.
"Lebih dari 30 negara utangnya di atas 100 persen," kata Airlangga dalam siaran virtual acara Economic Outlook 2022: Prospek Ekonomi Indonesia di Tengah Perubahan Geopolitik, ditulis Rabu (3/8/2022).
Dia menjelaskan kondisi utang negara berkembang turut diperburuk langkah pengetatan likuiditas bank sentral sejumlah negara maju, utamanya The Fed. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan telah berdampak pada peningkatan beban bunga utang.
"Dengan kenaikan tingkat suku bunga AS maka potensi mereka untuk membayar atau solvency negara-negara berkembang ini menjadi bermasalah," ucapnya.
Lebih lanjut, Airlangga merinci menurut data Kemenko Perekonomian, posisi rasio utang luar negeri Indonesia hingga Mei 2022 berada di level cukup baik yaitu 32,3 persen terhadap PDB. Posisi tersebut bahkan lebih rendah dari prapandemi COVID-19 di 2019, yakni 36,07 persen terhadap PDB.
Rasio utang luar negeri naik ketika pandemi merebak pada 2020 ke level 39,31 persen terhadap PDB. Lalu, mengalami penurunan di 2021 ke level 35 persen terhadap PDB.
"Rasio utang luar negeri Indonesia menurun. Sampai Mei 2022, rasio utang luar negeri berada di kisaran 32,3 persen terhadap PDB," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengklaim rasio utang Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara berkembang maupun maju. Rasio utang terjaga itu dikarenakan penerapan disiplin fiskal yang ketat.
"Risiko kredit Indonesia dianggap manageable karena eksposur utang pemerintah yang jauh lebih rendah dibandingkan negara maju dan berkembang yang di ASEAN maupun di G20," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, ditulis Kamis (28/7/2022).
Dia mengatakan rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB), berdasarkan proyeksi IMF pada April 2022, yakni mencapai 42,71 persen di 2022. Angka itu lebih rendah dibandingkan negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang sebesar 125,58 persen, Jerman 70,87 persen, Prancis 112,58 persen, Inggris 87,83 persen, Jepang 262,54 persen, dan Korea Selatan 52,04 persen.
Sedangkan jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, seperti Malaysia yang sebesar 69,25 persen, Thailand 62,68 persen, Filipina 60,04 persen. Serta bila dibandingkan dengan negara peers di G20 seperti Brasil yang sebesar 91,89 persen, Cina 77,84 persen, dan India 86,90 persen.
"Kalau dibandingkan negara maju dan berkembang, baik yang di ASEAN maupun G20 terlihat rasio utang pemerintah yang 42 persen ini relatif sangat kecil, negara-negara itu jauh di atas Indonesia rasio utangnya terhadap PDB, kata Sri Mulyani.
Selain dari rasio utang yang relatif rendah, credit default swap (CDS) lima tahun Indonesia juga mengalami tren penurunan menjadi berada di posisi 117 per 27 Juli 2022, setelah sempat menyentuh level tertinggi di 160,45 pada 14 Juli 2022.
Sebagai informasi, level CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pula pada instrumen surat utang suatu negara.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin