Menuju konten utama

Ahli Bahasa UPI: Komunikasi Polisi Beda dengan Warga Biasa

Ahli bahasa dari UPI menilai komunikasi hingga penggunaan bahasa di instansi kedinasan seperti kepolisian sangat hierarkis.

Ahli Bahasa UPI: Komunikasi Polisi Beda dengan Warga Biasa
Terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan pembunuhan Brigadir Yosua, Hendra Kurniawan (tengah) dan Agus Nurpatria (kiri) bersama penasihat hukum bersiap mengikuti sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (19/1/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.

tirto.id - Ahli Bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Andika Duta Bachari dihadirkan sebagai ahli meringankan untuk terdakwa obstruction of justice Hendra Kurniawan.

Dalam keterangannya, Andika menerangkan maksud dari kata 'siap' dari seseorang saat menerima perintah.

"Berdasarkan koordinasi dengan A, si B menanyakan, 'C, sudah jelas, ya perintahnya?' Dan dijawab oleh C 'siap sudah', maksud dari kalimat ini apakah B hanya menuntut semacam penjelasan bahwa perintah yang diminta oleh A ini sudah ditangkap oleh C? Bagaimana pemaknaannya secara bahasa?" tanya kuasa hukum Hendra Kurniawan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2023).

"Secara kontekstual, dalam konteks tadi kata 'siap' itu artinya dimengerti, bukan siap bahwa dia dalam komdisi menerima aba-aba atau perintah. Tapi siap di sana itu dimengerti," kata Andika menjelaskan.

Selain itu, Andika juga menerangkan bahwa komunikasi anggota polisi memiliki perbedaan dengan masyarakat pada umumnya. Biasanya, kata Andika komunikasi hingga penggunaan bahasa di instansi kedinasan sangat hierarkis

"Status sosial mereka membentuk ragam bahasa baru, dan ini berbeda dengan status sosial yang lain. Seperti halnya perbedaan dosen dengan hakim yang terbiasa dengan kosa kata tertentu. Apalagi dalam kedinasan polisi yang mengenal pangkat, sudah jelas bahwa hubungan sosial mereka itu sifatnya hierarkis dan hal-hal termasuk bahasa itu menunjukkan hierarki," kata Andika.

Dalam persidangan sebelumnya, Hendra Kurniawan mengungkap penyesalannya telah mempercayai dan mengikuti skenario tembak-menembak buatan eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.

Hendra menyebut dirinya baru mengetahui kejadian sesungguhnya pada 8 Agustus 2022 atau sebulan pasca penembakan.

"Saya tahunya itu bukan tembak menembak itu saat di patsus 8 Agustus 2022," kata Hendra dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 29 Desember 2022.

"Saya tahu berdasarkan keterangannya dari FS yang mengakui bahwa dia yang membuat skenario. Ketika saya diperiksa timsus, FS sudah ngaku ini skenario," imbuhnya.

Hakim kemudian bertanya apakah sikap Hendra akan berbeda jika sejak awal ia mengetahui kejadian sebenarnya.

"Jika saudara tahu ternyata sebenarnya tidak itu (kronologi kejadiannya), apakah saudara akan perintahkan anggota saudara termasuk memerintahkan memanggil Acay, Agus Nurpatria, hingga akhirnya dilaksanakan di tataran bawah oleh Irfan yang mengambil untuk diserahkan, di-copy, di-backup. Apakah saudara akan lakukan jika tidak sebenarnya?" tanya hakim.

"Jika tidak sebenarnya, saya tidak akan lakukan, Yang Mulia," jawab Hendra.

"Walaupun itu berbenturan dengan karir saudara?" tanya hakim.

"Saya sudah cukup berkorban, Yang Mulia. Selama 15 tahun saya hampir mengabdi dari pangkat AKP sampai Brigjen, masa saya harus korbankan demi kesalahan untuk melaksanakan perintah," jawab Hendra.

Baca juga artikel terkait SIDANG OBSTRUCTION OF JUSTICE atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto