tirto.id - Masyarakat Indonesia punya sejarah panjang menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan--atau setidaknya tidak bermasalah dengan hal tersebut. Ketika Will Smith menggampar Chris Rock dalam Perhelatan Oscar 2022, misalnya, sebagian menganggap itu wajar belaka. Ada pula yang rela menghabiskan waktu adu jotos hanya karena ribut di media sosial dan tidak mampu menuntaskan emosi yang telah naik ke ubun-ubun dengan ketikan.
Kasus-kasus kekerasan terus saja berulang. Yang terbaru melibatkan Ade Armando, dikenal sebagai pembela yang gigih Presiden Joko Widodo--sebagian pihak menyebutnya buzzer pemerintah. Ia dipukuli dan ditelanjangi massa saat berada di tengah-tengah demonstrasi menolak perpanjangan masa jabatan presiden di DPR, Jakarta, Senin (11/4/2022) pekan lalu.
Ekses dari Politik Identitas Berkepanjangan
Apa yang terjadi terhadap Ade bukan kasus kekerasan biasa. Ia terkait erat dengan sebuah peristiwa politik bernama pemilihan presiden.
Satu hal yang menguat setelah Pilpres 2014, yang dimenangkan Jokowi, adalah politisasi identitas (politik identitas). Bahkan sejak Pilpres 2014 pun sudah ada komodifikasi identitas--dari mulai suku, ras, hingga agama.
Politik identitas dipakai untuk kepentingan meraup suara massa, yang pada akhirnya mengalihkan persoalan yang semestinya menjadi pokok bahasan--segala hal tentang kepentingan publik.
Pada Pilpres 2019, menurut Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia (Puskapol UI), “politisasi isu-isu identitas masih menjadi narasi yang dominan.” Hal ini dilakukan kedua belah kubu, tulis Puskapol, baik Jokowi-Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Selain Pilpres 2014, politisasi identitas dalam Pilpres 2019 merupakan residu dari Pilgub DKI Jakarta 2017 yang juga kental dengan nuansa tersebut. Ketika itu petahana Basuki Tjahaja Purnama (BTP)--yang diunggulkan--nyatanya keok karena mobilisasi massa dan isu penistaan agama. Harus diakui bahwa politik identitas memang menemukan momen penting dalam Pilkada Jakarta.
“Dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat,” tulis Puskapol.
Peneliti asal Australia, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, dalam artikel berjudul Southeast Asia's Troubling Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia (2019) menjelaskan apa dampak peristiwa di ibu kota pada 2017 tersebut dengan kondisi politik nasional sesudahnya: Tren penggunaan cara-cara otoriter dari pemerintahan Jokowi untuk menjauhkan Prabowo--yang menggunakan politik identitas Islam--dari kekuasaan.
Atas nama pluralisme, misalnya, pemerintah melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ada pula para pendukung islamis--dan Prabowo--yang diancam dengan tuduhan makar. Cara-cara yang dianggap otoriter ini membuat polarisasi kian parah, tulis Aspinall dan Mietzner.
Baik Jokowi atau Prabowo secara individu sebenarnya melakukan beberapa hal yang dianggap berusaha meredam polarisasi kian parah. Jokowi misalnya merekrut Ma’ruf Amin agar tidak dianggap anti-Islam; sementara Prabowo memutuskan Sandiaga Uno sebagai wakil presiden daripada mengikuti saran dari kelompok Ijtima Ulama.
Namun pergerakan di akar rumput tetap liar. Oleh pendukung Prabowo, Jokowi dianggap musuh Islam (juga antek komunis). Sedangkan pendukung Jokowi menuding Prabowo ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama.
Meminjam istilah Marc F. Plattner, Aspinall dan Mietzner menyimpulkan dalam konteks Indonesia para pendukung pluralisme ini bisa disebut sebagai “pluralis radikal” yang justru bertendensi antidemokrasi. “Pendukung pluralisme yang bersifat nondemokratis sering kali berlindung dengan kata demokrasi, tapi mereka berisiko menjadi tidak liberal seperti lawan politik mereka. Pada akhirnya mereka akan menjadi sama meski dengan jalan yang berbeda.”
Membuahkan Kebencian tapi Terus Dipertahankan
Menggunakan politik identitas untuk meraih kemenangan politik sebenarnya wajar belaka, kata Aryojati Ardipandanto dalam tulisan bertajukDampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme (2019). Namun, katanya, akan jadi bahaya ketika itu “mengabaikan heterogenitas masyarakat di mana pemilu itu dilaksanakan, dan membuat jurang pemisah antar masyarakat.”
Di Indonesia, polarisasi ini tingkatannya bukan lagi adu mulut, tapi sudah duel yang merenggut nyawa.
Pada November 2018, seorang pendukung Jokowi bernama Idris Afandi alias Andika bin Misnadin bertemu dengan simpatisan prabowo Ahmad Alfateh alias Subaidi. Mereka mengetahui satu sama lain lewat media sosial. Subaidi kemudian menabrak motor Idris. Idris terjatuh sedang Subaidi tetap berdiri. Duel tak terhindarkan.
Tapi mereka tak melakukannya dengan tangan kosong. Yang satu bersenjatakan senapan rakit, satunya lagi pisau. Subaidi menarik pisau dan menyabetkannya ke Idris. Idris mundur lalu segera mengambil senjata api yang dia simpan di kantong kanannya. Subaidi terjatuh, senjata tajam yang dipegangnya lepas. Idris segera mengokang pistolnya.
Satu peluru bersarang di dada kiri Subaidi. Idris ketakutan. Ia berlari meninggalkan motornya dan Subaidi yang bersimbah darah. Subaidi akhirnya meninggal dunia.
Dalam sejarah, kasus-kasus ekstrem karena perbedaan politik seperti di atas selalu berawal dari hal-hal yang jauh lebih kecil. Pada konteks indonesia, itu adalah munculnya istilah-istilah peyoratif untuk kelompok liyan.
Para pendukung Prabowo menyebut pendukung Jokowi sebagai “cebong”, sementara di sisi sebaliknya “kampret”. Dampaknya, tulis Ardipandanto , adalah “Indonesia menjadi terbelah dengan terlalu tajam menjadi dua pihak yang mana masing-masing pihak menganggap pihak lainnya adalah semacam lawan yang dibenci.”
Setelah Pilpres 2019, muncul sebutan “kadrun” untuk melabeli pengkritik Jokowi, terutama mereka yang dianggap kelompok Islam radikal. Pihak yang ikut dalam memopulerkan istilah ini adalah Ade Armando dan teman-temannya di kanal Youtube CokroTV semacam Denny Siregar dan Eko Kuntadhi.
Bahkan dalam kasus dugaan kekerasan polisi kepada enam anggota FPI yang kehilangan nyawa, Denny bikin situasi kian panas dengan mengunggah foto karangan bunga berkalimat “Terima kasih sudah kirimkan laskar FPI ketemu bidadari”--yang berarti “terima kasih sudah menembak mati anggota laskar FPI” di Twitter dengan tambahan keterangan: “kerassss...”
Dalam wawancara dengan Tirto, Ade mengatakan “kadrun” layak digunakan dan tidak akan mengancam pluralisme. “Istilah itu, kan, kita pakai untuk mem-branding kalangan anti keberagaman dan kaum radikal saja. Kalau mereka marah, ya, tujuannya memang untuk meledek. Narasi yang mereka gunakan, kan, lebih kasar,” katanya.
Karena terus berkampanye soal hal-hal seperti itu, padahal Prabowo pun telah bergabung ke gerbong Jokowi, tidak mengherankan jika antipati terhadap para pendengung (buzzer)--Ade, Denny, dkk kerap disebut demikian--kemudian meningkat. Dalam jajak pendapat oleh Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Desember 2021, tingkat kepercayaan pada buzzerhanya 23,4 persen. Sisanya, sebanyak 76,6 persen, menyatakan tidak percaya.
Tapi masalahnya tak hanya sekadar muncul antipati. Dampak kebrutalan polarisasi itu masih terjadi hingga sekarang dan Ade Armando hanya salah satu korbannya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino