tirto.id - Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat terseret dalam pusaran kasus korupsi perizinan Meikarta. Politikus PKS itu dipanggil KPK, Rabu lalu, tapi mangkir.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebut KPK tak mendapat informasi kenapa lelaki yang akrab disapa Aher itu tak datang. "Tidak hadir tanpa pemberitahuan," kata Febri, Kamis (20/12/2018).
Ketidakhadiran Aher membikin KPK menjadwal ulang pemeriksaannya. Ini lantaran penyidik butuh keterangan Aher buat menelusuri dugaan bau amis dalam pemberian izin untuk proyek Meikarta, milik Lippo Group.
Febri menyebut penyidik ingin mendalami peran Aher dalam pemberian rekomendasi pembangunan Meikarta ke Pemerintah Kabupaten Bekasi. Sebab rekomendasi ini jadi salah satu pintu masuk serangkaian suap yang dilancarkan Lippo Group lewat Billy Sindoro dan kawan-kawan.
Dalam surat dakwaan terhadap Billy Sindoro disebutkan, Meikarta mengajukan perubahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) untuk Wilayah Pengembangan (WP) I hingga WP IV ke Pemkab Bekasi. Pengajuan dilakukan setelah mendapat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) dari Pemkab Bekasi.
Pemkab Bekasi kemudian menindaklanjuti permohonan perubahan RDTR ini ke DPRD Kabupaten Bekasi dan disetujui. WP I dan WP IV disahkan pada Mei 2017, sedangkan WP II dan WP III disahkan Juli 2017.
Meski sudah disahkan, Pemkab Bekasi melanjutkan permohonan Meikarta ini ke Pemprov Jabar. Tujuannya untuk mendapat persetujuan substantif dari Gubernur Ahmad Heriawan.
Namun, Wakil Gubernur Deddy Mizwar mempersoalkan izin perubahan RDTR WP I dan WP IV dalam rapat Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) pada Juli 2017. Deddy bahkan meminta proyek itu disetop sementara sampai mendapat rekomendasi Gubernur Ahmad Heryawan.
Kabar tak sedap itu membikin Lippo menunjuk pegawainya yang bernama Henry J. Sihotang dan dua konsultan Fitradjaja Purnama dan Taryudi untuk membantu memuluskan perizinan Meikarta. Ketiga orang suruhan itu langsung bergerak mendatangi sejumlah SKPD di Pemkab Bekasi guna membicarakan perizinan Meikarta.
Kemudian pada 10 Oktober 2017, BKPRD kembali menggelar rapat pleno di Bandung. Rapat yang dipimpin Deddy Mizwar itu diikuti sejumlah dinas di lingkungan Provinsi Jabar dan membahas pemberian rekomendasi pembangunan Meikarta.
Pada waktu yang berdekatan dengan rapat itu, ketiga orang suruhan Lippo mulai bergerak memuluskan rekomendasi. Mereka memberi fulus sebesar 90 ribu dolar Singapura kepada Yani Firman, Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang pada Bidang Penataan Ruang Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (BMPR) Jabar.
Selang 13 hari dari rapat pleno BPKRD dan beberapa waktu setelah pemberian duit, Gubernur Ahmad Heryawan mengeluarkan surat keputusan (SK) soal Meikarta pada 23 November 2017.
SK itu intinya mendelegasikan pelayananan dan penandatanganan rekomendasi pembangunan Meikarta ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Pemprov Jabar.
Berdasarkan SK itu, Kepala Dinas PMPTSP Jawa Barat Dadang Mohamad memberikan rekomendasi pembangunan Meikarta ke Pemkab Bekasi. Namun, Pemkab Bekasi harus menindaklanjuti dengan sejumlah catatan.
Setelah rekomendasi berhasil dikeluarkan, pihak Lippo lewat tiga orang suruhannya kembali memberi duit buat sejumlah pejabat di Pemkab Bekasi. Salah satunya untuk Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebesar 90 ribu dollar Singapura.
Pemberian duit dari Lippo ini yang kini sedang ditelusuri KPK. Febri menyebut penyidik ingin mengetahui apakah duit yang diberikan kepada Yani Firman dan Neneng Hasanah Yasin murni untuk personal atau dialirkan kepada sejumlah orang terkait, termasuk Ahmad Heryawan.
“Nanti tentu kami telusuri,” kata Febri.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih