tirto.id - Lagu Kampusku bercerita soal gambaran ideal hubungan perguruan tinggi dengan mahasiswa. Lewat liriknya, Kampusku menegaskan bahwa perguruan tinggi semestinya jadi tempat mahasiswa digembleng agar peduli kepada rakyat. Yang paling menarik dan yang paling mudah diingat dari lagu sederhana ini ialah bagian chorus-nya.
Berjuta rakyat menanti tanganmu
Mereka lapar dan bau keringat
Kusampaikan salam-salam perjuangan
Kami semua cinta-cinta Indonesia
Menurut Doreen Lee, antropolog yang meneliti banyak tentang gerakan pemuda di Indonesia, kata "rakyat" dapat diterjemahkan menjadi "people" dalam bahasa Inggris. Namun, di Indonesia, kata tersebut digunakan tidak sesederhana "people" yang berarti orang banyak atau masyarakat.
Dicatat Lee, di Indonesia, kata "rakyat" mengandung makna bangsa atau orang-orang biasa. Sementara itu, generasi gerakan 1998 menggunakan kata "rakyat" untuk merujuk buruh, petani, buruh tani, seniman, dan masyarakat miskin kota—sederet kategori masyarakat kelas bawah Indonesia.
Dalam lagu Kampusku, masyarakat kelas bawah Indonesia itu disebut menanti mahasiswa. Mereka digambarkan dalam kondisi yang lapar. Alam pikiran pengarang lirik Kampusku pun menganggap bau keringat—bukan bau wewangian—menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat kelas bawah Indonesia. Dia boleh jadi mengetahui dengan jeli bahwa bau badan ialah penanda kelas.
Kejelian seperti itu pula yang dimiiki Bong Joon-ho. Film teranyar garapannya, Parasite, menceritakan dua keluarga dengan latar belakang sosial yang amat tajam berbedaannya: yang satu miskin, sedangkan satu lainnya kaya. Meskipun anggota keluarga miskin berhasil menyamar jadi orang berpunya dan masuk dalam kehidupan keluarga kaya, keluarga kaya tetap dapat mengenali keluarga miskin itu dari bau badannya.
"Dalam kehidupan yang normal, orang kaya dan orang miskin tidak hidup di ruang yang sama. Di pesawat yang sama, ada bagian untuk penumpang kaya dan penumpang miskin; dan mereka terpisah. Satu-satunya waktu orang-orang dari kelas yang berbeda mencium bau satu sama lain ialah ketika orang miskin bekerja untuk keluarga kaya sebagai guru, pembantu rumah tangga, dan pengemudi," kata Joon-ho kepadaKorea Times.
Tidak hanya menjadikan bau badan sebagai penanda kelas, Parasite juga menggambarkan ketidaksukaan keluarga kaya terhadap bau badan keluarga miskin. Tuan Park (sosok ayah dalam keluarga kaya) sengaja membuka jendela mobil supaya aliran udara menghempaskan bau badan supirnya. Dia juga bilang ke istrinya bahwa keluarga miskin berbau badan seperti lobak basi. Saking tidak tahan terhadap bau badan para keluarga miskin itu, Tuan Park ingin memecat mereka, tetapi ia urung melakukannya karena keluarga miskin tidak pernah bikin salah dalam hal pekerjaan.
Situasi yang sama seperti keluarga miskin dalam Parasite dihadapi Sharanya Deepak, perempuan asal India. Deepak bekerja sebagai bartender di sebuah kafe di Brussel, Belgia.
Suatu hari di bulan April 2015, Deepak dipanggil bosnya, Julien. Bos berambut pirang itu kemudian menyuruh Deepak memakai wewangian. Dalam "You Smell Like Curry, You're Fired", Deepan menceritakan Julien bahkan langsung memberikan sebotol kolon berwarna merah muda kepadanya.
“Aku tidak bisa, aku tidak suka itu,” kata Deepak kepada Julien.
Julien pun membalas, "Oke, baiklah, kalau begitu, kau dipecat."
"Aku?" tanya Deepak.
"Ya," kata Julien, "Kamu berbau seperti kari, kami tidak ingin pelanggan mengeluh."
Di situ, Parasite dan kasus Deepak turut menggambarkan bau badan sebagai standar moral. Ada bau badan yang baik. Ada bau badan yang buruk. Penentu bau badan mana masuk kategori moral mana ialah ia yang punya kuasa, dalam hal ini Tuan Park dan Julien sebagai majikan.
Bau Badan dan Identitas
Di Barat, sebagaimana ditulis Constan Classen, David Howes, dan Anthony Synnott di Aroma: The Cultural History of Smell (1994), perbedaan bau badan kerap dianggap berakar dari perbedaan kelas sosial dan etnis. Ada yang menganggap itu boleh jadi disebabkan beberapa hal terkait pola makan, kebersihan, dan penggunaan parfum.
Di abad ke-18, misalnya, Benjamin Franklin menitikberatkan pola makan sebagai penyebab perbedaan bau badan.
"Siapa pun yang makan ikan basi, terutama dengan bawang yang banyak, akan mendapat bau yang tidak bisa ditoleransi oleh orang-orang lain; sementara dia yang telah hidup selama beberapa waktu dengan sayuran saja, akan memiliki nafas yang begitu murni sehingga tidak dapat dirasakan hidung yang paling peka," ujar Franklin.
Gerrit Kuijt, seorang misionaris yang bertugas di Papua, mengatakan bahwa dia dapat mengenali orang Kobakma, daerah di Memberamo Tengah, lewat aroma tubuhnya.
"Mungkin Saudara menganggap ini aneh tetapi kami dapat mengenali asal kalian. Misalnya orang Kobakma mempunyai bau yang sangat khas. Mereka mengoles badannya dengan cairan dari kulit pohon. Sangat berbeda dengan bau orang Ilugwa," kata Kuijt, seperti ditulis Jejak seorang pekabar Injil di Papua, Gerrit Kuijt (2007).
Namun, ada pula yang menganggap bau badan etnis dan kelas tertentu melekat dalam diri penyandang identitas itu dan tidak bisa diubah, seperti halnya warna kulit. Bau rasial atau etnis seperti itu digambarkan sebagai sesuatu yang ada untuk membedakan dan tidak menyenangkan bagi mereka yang membuat kategori itu. Orang biasanya menggunakan bau itu untuk membenarkan tindakannya menghindari kelompok tertentu.
Classen, dkk. memberikan contoh seorang anak muda pengangguran di Birmingham, Inggris yang mengatakan ini kepada imigran dari Pakistan, "Saya hanya tidak suka orang Pakistan. Mereka bau. Orang-orang Pakistan benar-benar berbau busuk. Kamu bisa menunjukkan satu di antara mereka di jalan yang satu mil jauhnya."
Pernyataan anak muda Birmingham itu merupakan suatu contoh khas wacana penciuman yang rasis. Seseorang cenderung menganggap kelompoknya tidak berbau. Lalu, perasaan tidak suka terhadap suatu kelas sosial biasanya dikatakan terlebih dahulu, "Saya hanya tidak suka orang Pakistan". Persepsi bahwa kelas tersebut berbau busuk dikatakan kemudian, "Mereka bau."
"Karena itu, alih-alih menjadi penyebab antipati terhadap etnis tertentu, kebencian lewat penciuman justru merupakan ekspresi dari hal tersebut," sebut Classen, dkk.
Bau Badan dan Pandangan Rasis Borjuis
Bau badan imigran pun menjadi bahan perdebatan politik di negara-negara Eropa. Di Perancis, Jacques Chirac menunjukkan simpatinya kepada buruh-buruh Perancis dengan menyebut mereka dipaksa untuk tahan terhadap suara dan bau keluarga imigran tetangganya. Sedangkan kelompok sayap kiri Perancis mengecam cara mendulang suara ala perdana menteri Perancis periode 1974-1976 dan 1986-1988 itu sebagai penghasutan kebencian rasial.
Lebih jauh, Classen dkk. menengarai perdebatan itu mencerminkan perubahan komposisi etnis masyarakat Eropa. Di Eropa, secara tradisional, yang dipandang berbau itu kelas pekerja. Pandangan ini muncul, tentu, dari kelas menangah dan atas Eropa. Sebagaimana dikatakan George Orwell pada 1930-an, alasan di balik perbedaan kelas di Barat dapat diringkas dalam empat kata mengerikan:"the lower class smell" (bau kelas-kelas bawah).
Bagi Orwell, dan seperti ditunjukkan juga dalam Parasite, bau badan kelas pekerja membentuk penghalang yang tidak dapat ditembus. Terbentuknya persepsi mengenai bau badan kelas pekerja ini sebagian disebabkan fakta bahwa, sebagai buruh kasar, mereka berkeringat ketika bekerja dan kurangnya fasilitas mandi di rumah-rumah kelas pekerja.
Sebagaimana ditulis Windu Jusuf dalam "Parasit Wangi Bong Joon-ho" (2019), Edward Bulwer-Lytton menciptakan frasa “the great unwashed” untuk mengolok-olok kemunculan sebuah kelas sosial, yakni orang-orang melarat tak tersentuh air, yang memadati kawasan sekitar pabrik di kota-kota besar Britania Raya sejak revolusi industri. Kata Windu, "Olokan itu punya pijakan empiris."
“Di sini kamar mandi adalah barang langka yang selalu terisi penuh atau letaknya terlalu jauh untuk digunakan kebanyakan penduduk,” tulis Windu Jusuf mengutip Friedrich Engels dalam Condition of the Working Class in England in 1844 (1845).
Namun, Orwell juga menyadari bahwa bau badan kelas pekerja bukan bau yang sebenarnya disebabkan kebersihan yang buruk. Menurutnya, ini merupakan manifestasi pandangan borjuis yang menganggap pekerja dan pelayan secara moral dan fisik menjijikkan.
"Bahkan orang-orang 'kelas bawah' yang Anda kenal cukup bersih—pelayan, misalnya—samar-samar tidak menggugah selera. Aroma keringat mereka, tekstur kulit mereka, secara misterius berbeda dari Anda," sebut Orwell.
Pola pengelompokan yang mirip juga muncul di Amerika Serikat (AS). John Dollard menuliskan dalam Caste and Class in a Southern Town (1937) bahwa orang-orang kulit putih menyatakan orang-orang kulit hitam punya bau badan yang tidak menyenangkan dan tajam, sehingga mereka tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit hitam. Bau badan ini dianggap bukan karena kondisi kehidupan tetapi ciri-ciri bawaan semua orang-orang kulit hitam, baik itu yang dari kelas pekerja, menengah, maupun yang paling bersih sekalipun.
Di Time, Omise'eke Natasha Tinsley mengatakan meluruskan rambut, mengolesi kaki dengan losion, douching dan memberi deodoran ke vagina ialah beberapa hal yang diajarkan perempuan kulit hitam ke anak perempuan dan teman-teman perempuannya. Menurut dosen Studi Diaspora Afrika dan Afrika di University of Texas, Austin tersebut, itu merupakan cara mereka mencintai dan memelihara tubuh.
Namun, Tinsley mempertanyakan, mengapa perempuan kulit hitam bekerja sangat keras untuk menjaga agar vagina tidak berbau seperti saat berdarah, orgasme, berkeringat atau makan ikan lele?
Michelle Feranti mengatakan dalam “An Odor of Racism: Vaginal Deodorants in African-American Beauty Culture and Advertising”, “Bagi banyak budak Afrika-Amerika yang baru dibebaskan, tubuh yang bersih dan bebas bau menandakan kemajuan dan usaha pribadi, serta harapan untuk berasimilasi rasial."
Editor: Maulida Sri Handayani