tirto.id - Sebelum tape recorder masif digunakan untuk merekam pembicaraan dalam sebuah rapat besar atau persidangan, keberadaan seorang ahli stenografi sangat diperlukan. Tanpa kehadiran stenografer, pembicaraan dalam rapat atau sidang hanya akan berlalu terbawa angin.
Sekadar wawasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan stenografi sebagai, “tulisan cepat (berupa huruf steno).” Sementara itu, orang yang menguasai cara menulis atau dapat menulis cepat dengan huruf steno disebut stenografer. Kadang, ia disebut juga stenograf atau penulis cepat.
Para stenografer inilah yang berjasa membuat notulen atau risalah sebuah pertemuan. Meski kini pekerjaan stenografer bukan lagi kelaziman, namun mereka juga punya peran dalam perjalanan sejarah Indonesia. Salah satu episode sejarah yang bisa jadi contoh pentingnya peran stenografer terjadi pada hari-hari jelang Proklamasi.
Buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku IX 1987 (2008, hlm. 92-93) mencatat bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) punya tim stenografi yang bertugas mencatat seluruh pidato dan pembicaraan dalam rapat-rapatnya. Pasalnya, tidak semua anggota lembaga ini—misalnya Sukarno—menyiapkan teks untuk pidato. Tim stenografi ini dikepalai stenografer andal bernama Eliezer Karundeng.
Eliezer yang belakangan dikenang sebagai Bapak Stenografi Indonesia dan pencipta Sistem Karundeng punya banyak murid. Dua di antara murid-murid Eliezer yang kemudian jadi orang terkenal adalah Pramoedya Anantan Toer dan Alexander Benjamnin Johannis Tengker.
Pram ikut kursus stenografi sekira 1944 sampai 1945. Peneliti sastra Indonesia A. Teeuw menyebut, di bawah arahan Eliezer, Pram ikut mencatat rapat-rapat Chuo Sangi In—dewan rakyat zaman pendudukan Jepang. Pram kebagian mencatat empat ceramah Muhammad Yamin tentang Diponegoro yang masing-masing berdurasi dua jam. Namun, bukan keahlian stenografi yang membuat Pram kagum pada Eliezer.
“Karundenglah yang membukakan padaku keindahan bahasa Indonesia,” kata Pram sebagaimana dikutip Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997, hlm. 18).
Sementara itu, A.B.J. Tengker yang akrab disapa Han Tengker dianggap penerus dari Sistem Karundeng. Sebelum akrab dengan Sistem Karundeng, Han pernah pula mempelajari dan memakai Sistem Groote alias Sistem Paat. Pada 1968, Sistem Karundeng ditetapkan oleh Presiden daripada Soeharto menjadi sistem stenografi nasional.
Han Tengker memulai karier profesional dengan bekerja sebagai steno reporter bagi Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) pada 1949. Meski terbilang masih hijau, kepiawaian dan kecepatannya sebagai stenografer tidak kalah dari mereka yang sudah pakar. Buktinya, pada 1950 di Makassar, Han Tengker berhasil memecahkan rekor nasional penulis tercepat dengan capaian 300 suku kata per menit.
Pada 1951, seperti dicatat majalah Parlementaria (nomor 2, 1989, hlm. 87), Han Tengker hijrah ke Jakarta. Kali ini dia jadi stenografer di DPR RI.
Mendirikan Akademi
Han Tengker tak melulu sibuk sebagai stenografer, dia terjun pula ke dunia pendidikan. Selepas berhenti bekerja di DPR pada 1960, Han mendirikan Akademi Maritim Indonesia (AMI) dan Yayasan Lembaga Pendidikan Gideon (YLPG). Nama lembaga pendidikan itu mirip dengan nama anak semata wayangnya dengan Marietje Rombot, Gideon Louis Joan Tengker—musisi blues era 1980-an dan ayah kandung Nagita Slavina.
Han mengaku AMI semula adalah tempat kursus yang terselenggara berkat kerja sama antara Dewan Veem Pelabuhan dan Direktorat Perhubungan Laut. Sebelum punya gedung sendiri, kegiatan AMI menumpang di gedung SMA 1 Jakarta di Jalan Budi Utomo.
Pada 1962, Han Tengker mendirikan lagi sebuah lembaga pendidikan yang bernama Akademi Ilmu Sekretaris dan Manajemen Indonesia (ASMI). Han berinisiatif mendirikan ASMI karena mendengar banyak lulusan sekolah guru susah dapat kerja. Maka itu, pada tahun-tahun awal berdirinya, ASMI berfokus mencetak calon pegawai yang terampil dalam administrasi kantor dan sekretaris pribadi.
Seturut buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984(1984), pada 1981, ASMI berhasil meluluskan 917 siswa. ASMI turut pula mengangkat derajat profesi sekretaris yang sebelumnya dipandang rendah. Pada dekade 1980an, profesi ini pun mulai diminati dan ASMI terkenal sebagai kampus pencetak sekretaris.
Han Tengker pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Indonesia—belakangan berubah status menjadi Universitas Negeri Jakarta.
Berkembang
Han Tengker tidak sendirian dalam usahanya mengelola akademi. Setelah operasinya cukup mapan, Han mengajak Benny Tengker, keponakannya, untuk ikut membantu mengembangkan AMI dan ASMI. Benny mulanya adalah mantan prajurit Permesta yang dekat dengan dunia preman.
“Mula-mula saya dijadikan supir dan bersama Han Tengker sering bertemu pejabat,” aku Benny sebagaimana tercatat dalam tabloid Reformata (29/8/2005). Pada 1966, Han mendapuk Benny menjadi Kepala Sekretariat AMI-ASMI. Benny lalu pegang kendali penuh sejak sejak 1978.
Sesuai tujuan yang ditetapkan Han Tengker, ASMI mulanya membuka dua jurusan: Administrasi Perkantoran dan Sekretaris. Berkat inisiatif itu, Han lantas dikenal sebagai perintis pendidikan manajemen di Indonesia.
Sepeninggal Han, Benny-lah yang meneruskan pengelolaan ASMI. Ia berkembang pesat pada 1980-an. Dari semula menumpang gedung lembaga lain, ASMI berhasil membangun kampus sendiri di Jalan Pacuan Kuda, Pulo Mas, Jakarta Timur. Diresmikan oleh Tien Soeharto pada 1981, kampus ASMI ramai dijuluki Kampus Ungu.
Selain pencetak sekretaris, ASMI juga punya reputasi sebagai kampusnya para olahragawan. Pasalnya, beberapa atlet kondang Indonesia pernah berkuliah di Kampus Ungu dengan beasiswa. Atlet-atlet itu di antaranya petinju Syamsul Anwar, pelari Starlet, dan pebulu tangkis Liem Swie King. Kampus ini bahkan punya sasana tinju yang dikenal sebagai Benteng AMI ASMI.
Pada 2000, ASMI yang dirintis Han dan dipimpin Benny berkembang menjadi sekolah tinggi. Statusnya naik lagi dan berubah nama menjadi Institut Bisnis dan Multimedia ASMI sejak 2010.
Nama Han Tengker perlahan terlupakan seiring menghilangnya profesi stenografi karena semakin terjangkaunya teknologi perekam suara. Meski sebagian orang di sekitar Jakarta tahu kampus AMI-ASMI yang didirikannya, tak banyak yang mengenal sosok Han Tengker sebagai stenografer. Rafatar, cicit Han Tengker, kelak akan tahu kiprah moyangnya, tapi belum tentu dia tahu apa itu stenografi dan stenografer.
Majalah Parlementaria mencatat, dibandingkan dikenal sebagai pendiri dan direktur sekolah atau dosen, Han Tengker mengaku lebih bangga disebut sebagai mantan stenografer DPR RI.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi