Menuju konten utama

7 Tahun UU Pemajuan Kebudayaan, Kabar dari Jalan Kebudayaan

Ekosistem kebudayaan sepatutnya diperkuat dan dilanjutkan melalui peran pemerintah sebagai fasilitator yang didukung dengan kehadiran Dana Indonesiana.

7 Tahun UU Pemajuan Kebudayaan, Kabar dari Jalan Kebudayaan
Ratri Anindyajati (Direktur Indonesia Dance Festival), Dian Jennie Cahyawati (Ketua Puan Hayati), Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek), dan Rani Jambak (musisi) berfoto bersama dalam acara konferensi pers Jalan Kebudayaan di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2024). Foto: Tirto.id/Zulkifli Songyanan

tirto.id - Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjenbud) menyelenggarakan kegiatan Jalan Kebudayaan di Gedung A Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Jalan Jenderal Sudirman No 1, Jakarta Pusat, Jumat lalu (21/6/2024).

Kegiatan tersebut digelar untuk merayakan 7 tahun disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengilustrasikan keberadaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dengan langkah-langkah membangun rumah.

“Sejauh ini, pelaksanaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan fokus dalam pembangunan ekosistem kebudayaan. Fondasinya sudah berhasil diletakkan. Tantangan ke depan, bangunan ekosistem kebudayaannya yang harus dikuatkan,” kata Hilmar.

Selain menguatkan ekosistem, hal penting lainnya dari pelaksanaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah menempatkan pemerintah sebagai fasilitator kebudayaan, bukan eksekutor, dengan perencanaan kebijakan yang disusun secara bottom-up, melibatkan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan.

“Sebagai fasilitator, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa tata kelola yang ada didesain untuk mendukung inisiatif dan aspirasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan,” terang Hilmar.

Keterangan Hilmar diamini Reza Rahadian, aktor yang didapuk menjadi salah satu pengisi pidato Jalan Kebudayaan. Menurut Reza, beberapa tahun belakangan kehadiran pemerintah begitu dirasakan oleh teman-teman di industri perfilman.

Indikatornya, antara lain, dapat dilihat dari meriahnya gelaran Festival Film Indonesia (FFI) serta dukungan yang diberikan pemerintah kepada film-film Indonesia yang mengikuti festival di luar negeri.

“Sekarang, jika ada undangan untuk mengikuti kegiatan festival film di luar negeri, yang berangkat memang merepresentasikan insan film, bukan pegawai negeri,” kata Reza.

Jalan Kebudayaan

Aktor Reza Rahardian menyampaikan pidato soal manfaat UU Pemajuan Kebudayaan bagi insan film Indonesia dalam acara Jalan Kebudayaan di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2024). tirto.id/Zulkifli Songyanan

Reza menambahkan, kolaborasi antara pemerintah dan stakeholders film Indonesia juga berhasil mengusulkan dan menetapkan tokoh film Haji Usmar Ismail sebagai Pahlawan Nasional.

Tahun 2021, almarhum Usmar Ismail diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Dalam menjalankan peranannya sebagai wartawan sekaligus sutradara, Usmar Ismail, inisiator Festival Film Indonesia, dinilai memberikan makna penting terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Terakhir, Reza menekankan pentingnya Indonesia memiliki Kementerian Kebudayaan yang otonom. Hal tersebut juga sempat dijanjikan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto dalam debat calon presiden Januari lalu.

Reza berpendapat, jika kebudayaan Indonesia yang sangat kaya dan beragam dikelola oleh lembaga setingkat kementerian, efek dominonya luar biasa, sebagaimana yang terjadi pada negara lain seperti Korea Selatan.

“Jalan Kebudayaan adalah momentum refleksi, memikirkan mengapa kebudayaan itu penting, agar Indonesia terus maju, punya kementerian kebudayaan sendiri, yang dipimpin oleh orang yang benar-benar mengerti soal kebudayaan, bukan titipan atau perwakilan partai tertentu,” pungkas Reza.

Dana Abadi Kebudayaan Sudah Ada, Tinggal Dilanjutkan

Dalam Debat Capres-Cawapres 2024 lalu, Prabowo Subianto sempat menjanjikan adanya dana abadi kebudayaan. Sebagai amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, dana abadi tersebut sudah ada, sebetulnya, diwujudkan lewat platform Dana Indonesiana.

Dana Indonesiana merupakan dukungan yang diberikan pemerintah berupa fasilitasi dana hibah kepada kelompok kebudayaan maupun perseorangan. Dengan Dana Indonesiana, pelaku budaya dapat mengakses pendanaan yang lebih fleksibel dan transparan, dengan durasi yang tidak terpaku pada tahun anggaran pemerintah.

Ratri Anindyajati, Direktur Indonesia Dance Festival, menyebut keberadaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Dana Indonesiana dapat menjadi stimulus untuk membangkitkan Indonesia, negara yang disebut-sebut sebagai The Sleeping Giant di kawasan Asia. Ratri berpendapat, dilihat dari segi potensi alam maupun budayanya, Indonesia punya kekayaan yang sangat melimpah, tapi belum dikelola dan dimanfaatkan dengan optimal.

“Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jepang, Singapura, atau Korea Selatan, misalnya, Indonesia tidak kedengaran gaungnya dalam bidang kebudayaan. Padahal, kekayaan budayanya sangat melimpah,” ungkap Ratri.

Ratri pun menyebut sejumlah penari Indonesia yang kini dikenal sebagai seniman mapan di kancah internasional, sejatinya menggali inspirasi dari nilai-nilai dan tradisi lokal.

“Karya-karya Mas Eko Supriyanto atau Mas Rianto yang dikenal sebagai tari kontemporer, sumbernya dari tradisi lokal Indonesia. Tradisi atau budaya lokal dalam karya mereka bukan sebagai ekspresi tarian saja, tapi sekaligus sumber gagasan.”

Ratri sendiri merasakan manfaat Dana Indonesiana bagi IDF, platform tari berskala dunia yang eksis di Indonesia sejak 1992. Sebelum mendapat fasilitasi Dana Indonesiana, Ratri menyebut IDF tidak punya kantor tetap dan sering kali kerepotan membayar orang. Padahal, dua hal tersebut diperlukan agar kegiatan IDF yang dilangsungkan dua tahun sekali bisa berjalan lancar dan maksimal.

Untuk menghadirkan seniman dari luar negeri, misalnya, komunikasi dan kesepakatan mesti berlangsung 1,5-2 tahun sebelum kegiatan, mengingat jadwal mereka yang padat. Dengan adanya fasilitasi Dana Indonesiana, perkara semacam itu teratasi sehingga membuat penyelenggara bisa bekerja lebih nyaman tanpa perlu sistem kebut semalam.

“Kami bisa merancang dan menyiapkan program jangka panjang dengan lebih optimal, tidak lagi serba dadakan,” kata Ratri.

Dukungan institusional dari Dana Indonesiana menuntut IDF untuk bisa membiayai diri dan kegiatannya sendiri setelah fasilitasi berakhir. “Skema bisnis kami sudah mulai berjalan, sayang kalau Dana Indonesiana tidak dilanjutkan,” ungkap Ratri.

Manfaat Dana Indonesiana dan UU Pemajuan Kebudayaan tidak melulu dirasakan kalangan seniman. Puan Hayati, organisasi Perempuan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, juga merasakan dampak fasilitasi ini.

Berkat Dana Indonesiana, para penghayat bisa mengenyam pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, serta melangsungkan perkawinan dan upacara kematian sesuai ajarannya. “Selain itu, kami juga bisa melakukan penguatan organisasi di 10 provinsi,” ungkap Ketua Puan Hayati, Dian Jennie Cahyawati.

Namun, Dian menggarisbawahi pentingnya perbaikan untuk mengakses Dana Indonesiana di masa depan. Skema pengajuan yang ada saat ini, menurut Dian, terbilang sangat kompleks secara administrasi. Dan itu merepotkan banyak kalangan, termasuk Puan Hayati.

“Semoga Dana Indonesiana tetap ada, mekanisme dan administrasinya bisa dibuat lebih ringkas dan praktis,” kata Dian.

Hal senada sempat diungkapkan eks anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan kepada tirto.id. Menurut Hikmat, Dana Indonesiana mengharuskan legalitas kelembagaan, sedangkan banyak komunitas seni atau budaya yang tidak punya aspek legal formal, sekalipun program-programnya sudah layak mendapat dukungan.

“Hal semacam itu harus juga dipikirkan penyelesaiannya,” kata Hikmat, Selasa (28/5/2024).

Khawatir Dihapuskan

Menjelang peralihan kekuasaan, sangat masuk akal jika banyak kalangan khawatir Dana Indonesiana bakal diubah atau bahkan dihapuskan, sebagaimana lazimnya perubahan kurikulum setiap pergantian rezim.

“Jika Dana Indonesiana sampai dihapuskan, maka akan menjadi hari patah hati nasional bagi seniman dan pelaku budaya,” ungkap Rani Jambak, seniman berdarah Minangkabau.

Rani menilai, jika Dana Indonesiana tak ada lagi, fenomena itu hanya akan membuat kerja-kerja pemajuan kebudayaan yang sudah berjalan, mundur beberapa tahun ke belakang.

“Dengan atau tanpa dukungan pemerintah, seniman tentu akan tetap berkarya. Dan untuk berkarya, sering kali perlu modal besar, salah satunya untuk riset. Dalam hal inilah Dana Indonesiana dibutuhkan,” kata Rani.

Rani Jambak sendiri didapuk menjadi penampil Jalan Kebudayaan, bergantian bersama Boogie Papeda (penari), Teater Anak Sekolah Seni Tubaba, dan The Talkback Band.

Sebagaimana seniman lain, Rani berharap pemerintah yang akan datang berkenan melanjutkan Dana Indonesiana. “Sangat ironis jika untuk membiayai kerja-kerja kebudayaan, seniman Indonesia justru mendapat dukungan dari lembaga atau institusi luar negeri,” sambung Rani.

Rani tampil dengan seperangkat alat musik yang dinamakan Kincia Aia, artinya kincir air, inovasi yang dibuat Rani memanfaatkan teknologi kinetik leluhurnya. Di masa lalu, kincir air biasa digunakan dalam sistem irigasi dan menumbuk pangan. Dengan dukungan Dana Indonesiana, Rani berhasil mengulik kincir air menjadi alat musik kontemporer.

Disinggung soal kemungkinan dihapuskannya Dana Indonesiana, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid menggelengkan kepala. “Bisa ya, bisa tidak. Tapi, untuk menghapus sebuah kebijakan, banyak regulasi yang harus dibongkar. Artinya, aturan-aturannya harus diubah. Pengalaman kami di pemerintahan, hal semacam itu tidak mudah,” ungkap Hilmar.

Jalan Kebudayaan

Rektor Institut Musisi Jalanan Andi Malewa menyampaikan pidato bertajuk Kitab Pusaka Tata Kelola Musisi Jalanan Indonesia dalam acara Jalan Kebudayaan di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2024). Tirto.id/Zulkifli Songyanan

Hilmar mengakui bahwa Dana Indonesia masih perlu diperbaiki. Untuk itulah sosok yang dikenal sebagai sejarawan ini menekankan, alih-alih diubah atau dihapuskan, dukungan fasilitasi buat kaum seniman dan pegiat budaya yang satu ini sebaiknya disempurnakan.

Terlepas dari harapan mengenai keberlanjutan Dana Indonesiana, di momen yang sama Rektor Institut Musik Jalanan Andi Malewa menyebut Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan tak ubahnya sebuah “Kitab Pusaka” bagi tata kelola musik jalanan Indonesia.

“Karena kehadiran Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, musisi jalanan yang biasanya ngamen atau bahkan dianggap mengemis di pinggir jalan itu sekarang bisa naik kelas tampil di tempat-tempat yang lebih terhormat,” kata Andy.

Salah satu musisi yang naik kelas itu adalah The Talkback Band—band yang semua personilnya tunanetra. Lewat program Musisi Naik Kelas, para musisi jalanan yang terseleksi diberi lisensi oleh Direktorat Jenderal Kementerian untuk tampil resmi di ruang-ruang publik.

“Sekarang, band seperti The Talkback bisa tampil di mal-mal dan di acara-acara kementerian. Ini merupakan sebuah pencapaian,” ujar Andi Malewa.

Baca juga artikel terkait UU PEMAJUAN KEBUDAYAAN atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Dwi Ayuningtyas