Menuju konten utama

Upaya-Upaya Menempatkan Kebudayaan sebagai Landasan Pembangunan

UU Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan empat langkah strategis pemajuan kebudayaan (perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan).

Upaya-Upaya Menempatkan Kebudayaan sebagai Landasan Pembangunan
Suasana kegiatan Akad Ijab Kabul Musrenbang Kebudayaan di Gedung Bappenas, Jakarta, Jumat (20 Oktober 2023). Kegiatan dihadiri pihak Direktorat Jenderal Kebudayaan, Bappenas, dan masyarakat pegiat kebudayaan. (FOTO/istimewa)

tirto.id - Tahun lalu, Ruang Rapat Menteri di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, “diduduki” publik dan disulap menjadi galeri sekaligus ruang serba guna. Sepanjang 20-29 Oktober 2023, di ruangan bersejarah yang eksis sejak zaman kolonial itu berlangsung macam-macam kegiatan.

Ada Akad Musrenbang Kebudayaan, Pertunjukan Musik LAIR (band asal Majalengka), Pameran Seni dan Pembangunan, Musyawarah Kebudayaan, Pasar Ilmu dan Pasar Barter, dan lain-lain. Semua kegiatan digelar di bawah agenda besar Pekan Kebudayaan Nasional (PKN). Di akhir acara, pihak-pihak yang terlibat dalam Musyawarah Kebudayaan memberikan rekomendasi kebijakan kepada Bappenas.

Ismal Muntaha, pegiat Jatiwangi Art Factory (JAF), menerangkan bahwa Gedung Bappenas dipilih

sebagai “ruang tamu” kegiatan Musyawarah Kebudayaan sebab tugas-tugas menyusun dan merumuskan berbagai perencanaan pembangunan adalah kewenangan Bappenas.

Atas dasar itu, menggelar Musyawarah Kebudayaan tepat di Ruang Rapat Menteri Bappenas dianggap merupakan langkah yang tepat untuk mengawali kerja-kerja pemajuan kebudayaan, termasuk menempatkan kebudayaan sebagai unsur penting dalam pembangunan.

“JAF sudah punya Kota Terakota yang masuk dalam rencana tata ruang Pemda Majalengka. Dalam Musrenbang Kebudayaan di Bappenas tahun lalu, kami menjadikan pengalaman itu sebagai role model Kawasan Pemajuan Kebudayaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN),” ungkap Ismal kepada Tirto, Senin (6/5/2024).

Jika kamu berkunjung ke Majalengka, akan kamu dapati sejumlah ruang publik seperti alun-alun, taman, dan perkantoran kini terlihat makin ciamik dengan sentuhan terakota—tembikar yang dibuat dari tanah liat merah.

“Kulminasi dari pendekatan seni JAF adalah aspirasi perencanaan wilayah berbasis kebudayaan-tanah melalui proyek Kota Terakota yang diproyeksikan menjadi identitas kecamatan Jatiwangi, bahkan Majalengka,” ungkap Ismal.

Gagasan menjadikan terakota sebagai identitas wilayah muncul pertama kali pada tahun 2019 lewat platform artistik bertajuk Indonesian Contemporary Ceramic Biennale (ICCB). Dalam pertunjukan seni tersebut, JAF menjadikan Kota Terakota sebagai landasan kuratorial ICCB dengan mempertimbangkan aspek historis Jatiwangi, sebuah kecamatan di sisi timur Majalengka.

“Secara historis, Jatiwangi dikenal sebagai lokus industri genteng. Sedangkan secara geologis, kandungan tanah Jatiwangi memang terbukti sangat cocok untuk menjadi bahan baku produk terakota,” sambung Ismal.

Sebagai pendekatan artistik, ICCB berhasil “mengompori” pemerintah Majalengka untuk menjadikan terakota sebagai bagian penting dari arsitektur kota dan berbagai proyek pembangunan mereka. JAF pun berjejaring dengan banyak seniman, arsitek, desainer, dan tentu pengrajin keramik agar tanah liat merah bisa dibentuk menjadi berbagai terakota—tidak melulu genteng dan bata.

Lebih dari itu, JAF lewat ICCB bahkan berhasil mendorong pemerintah untuk menerbitkan aturan mengenai perlindungan terhadap industri terakota tradisional Majalengka, lengkap dengan perlindungan ekologis dan perlindungan pasar.

“Dengan begitu, kearifan lokal dan ekonomi berbasis material tanah liat merah dapat terus bersaing di tengah pesatnya perkembangan kota Majalengka menuju kota industri manufaktur,” sambung Ismal.

Kini, gagasan mengenai Kota Terakota resmi masuk dalam agenda revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka. JAF pun diminta oleh Bappeda membuat peta jalan Kota Terakota sebagai Kawasan Strategis di Kabupaten Majalengka.

“Gagasan itu akan diajukan dalam RPJMD dan kami diminta membuat rencana aksi untuk lima tahun ke depan,” pungkas Ismal.

Apa yang dilakukan JAF dan dampaknya terhadap perubahan masyarakat Kabupaten Majalengka adalah bukti bahwa kebudayaan punya peran—dan sudah semestinya dilibatkan—dalam berbagai rencana pembangunan. Apalagi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dengan tegas menempatkan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional.

“Strategi pemajuan yang dimandatkan adalah bottom up dengan pelibatan masyarakat. Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang menjadi prioritas didata dari tingkat kota/kabupaten, naik ke provinsi, baru ke nasional,” ungkap Koordinator Peneliti Koalisi Seni, Ratri Ninditya, kepada Tirto, Jumat (26/4/2024).

Secara teknis, Ratri menambahkan, hal di atas bisa dilakukan dengan mencatat OPK dalam dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), yang kemudian diterjemahkan lewat lini-lini anggaran di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Tidak Mudah, tapi Penting Dilakukan

Sudarmoko, budayawan Sumatera Barat, sepakat bahwa Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK) mesti diturunkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) agar kerja-kerja pemajuan kebudayaan berjalan maksimal. Hanya saja, dalam praktiknya tak sedikit kota/kabupaten yang belum memiliki Perda Pemajuan Kebudayaan.

“Setidaknya ada dua alasan, pertama kebutuhan Perda ini tidak menjadi prioritas bagi eksekutif maupun legislatif. Kedua, kebudayaan sepertinya memiliki kompleksitas yang belum terurai dengan baik,” ungkap Koko, sapaan Sudarmoko kepada Tirto, Senin (6/5/2024).

Koko menjelaskan, banyak praktik dan nilai budaya yang melampaui batas-batas administratif bila diatur lewat Perda kabupaten/kota. Selain itu, aturan mengenai kebudayaan juga sering kali sudah ada dalam aturan sosial budaya masyarakat sehari-hari, yang sudah tentu tidak tertulis.

“Kalau pengaturan kebudayaan dalam Perda ditujukan pada tata kelola, hal itu akan berterima dengan luas. Apalagi kalau ditekankan pada peran pemerintah dalam memajukan kebudayaan,” lanjut Koko.

Dalam penyusunan Rencana Perda Pemajuan Kebudayaan Sumatera Barat, Koko dan sejumlah budayawan lain melakukan strategi jemput bola mendorong pemerintah agar menerbitkan Perda tersebut. Selain itu, mereka juga aktif mendorong pembentukan Dewan Kebudayaan Sumatera Barat.

Dalam proses tersebut, Koko mengakui adanya sejumlah kendala. Salah satunya adalah kurang responsifnya kabupaten/kota dalam penyusunan PPKD.

Disadari atau tidak, kerja-kerja semacam itu tidak berjalan dengan baik sebab selama ini paradigma kebijakan kebudayaan selalu top down—diinisiasi oleh pusat. Akhirnya sikap umum dari pemerintah daerah adalah tinggal menjalankan. Sekarang, paradigma tersebut diubah ke arah sebaliknya.

Kendala lain dalam penyusunan rancangan Perda Pemajuan Kebudayaan, sambung Koko, adalah belum dijadikannya data kebudayaan sebagai dasar dalam penyusunan program. Selain itu, kerja sama antara dinas yang mengurus kebudayaan dengan para periset dan pengkaji juga tidak intens. Belum lagi faktor pembiayaan dan penjadwalan.

“Pemahaman data pokok kebudayaan juga belum komprehensif. Ada banyak data kebudayaan yang tidak masuk atau salah kategori. Namun, pembahasan bertahap dapat membantu menyelesaikan hal itu meskipun sampai sekarang masih harus diperbaharui,” lanjut Koko.

Dosen Universitas Andalas tersebut juga menyatakan, proses penyusunan Perda Pemajuan Kebudayaan di wilayahnya pada akhirnya terlaksana lantaran adanya itikad baik dan dukungan politis. Hal ini seiring munculnya pemahaman bahwa kebudayaan dapat menjadi salah satu sektor penting untuk dapat digerakkan dan membawa manfaat bagi daerah dan masyarakat.

“Kalau hal ini bisa diterima oleh Pemda atau perangkat di daerah-daerah, saya kira akan menjadi modal penting bagi semua pihak untuk dapat berpartisipasi dalam memajukan kebudayaan,” kata Koko.

Disinggung soal urgensi UUPK, Koko berpendapat bahwa pada dasarnya ada harapan besar terkait beleid tersebut terutama dalam aspek pengakuan, perlindungan, dan pengembangan kebudayaan. Di tingkat lokal, kehadiran Perda Pemajuan Kebudayaan diyakini Koko akan membuat masyarakat semakin mengenal dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan strategi kebudayaan terkait Objek Pemajuan Kebudayaan dan Cagar Budaya di daerah.

“UU Pemajuan Kebudayaan juga menunjukkan kehadiran pemerintah dan negara dalam bidang kebudayaan,” pungkas Koko.

Kabar dari Sleman

Awal 2018, petunjuk teknis penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) rampung, lalu dibagikan kepada pemerintah daerah se-Indonesia.

Berdasarkan Pasal 11 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, PPKD Kebudayaan Daerah meliputi identifikasi perkembangan Obyek Pemajuan Kebudayaan setempat; SDM kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan; sarana dan prasarana kebudayaan; potensi masalah Pemajuan Kebudayaan; dan analisis dan rekomendasi untuk implementasi Pemajuan Kebudayaan.

“PPKD itu yang menyusunnya Pak Hilmar Farid. Tahun 2018, Kabupaten Sleman langsung membuat PPKD, tapi sempat ada trouble,” ungkap Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, Edy Winarya, kepada Tirto, Selasa (7/5/2024).

Trouble yang dimaksud, sambung Edy, ada pada lembar pengesahan PPKD Kabupaten Sleman yang ditandatangani oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut UU Pemajuan Kebudayaan, PPKD Kebudayaan Daerah kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

“Dulu, semua kabupaten/kota di DIY itu penyusunan PPKD-nya dikoordinasi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi. Saya ditegur oleh Kemendikbudristek, bahwa Kabupaten Sleman belum mengesahkan PPKD oleh Bupati. Tahun 2021, kami merevisi PPKD, mencoba menyesuaikan isinya dengan perkembangan dan dinamika di sini. Saya kira, mungkin baru Kabupaten Sleman yang melakukan revisi sehingga saat ini PPKD-nya sudah disahkan bupati dan gubernur,” beber Edy.

Edy juga menyatakan, upaya membuat regulasi terkait Pemajuan Kebudayaan di tingkat kabupaten sedang dilakukan. “Perbupnya sedang disusun, semoga tahun ini rampung.”

Menurut Edy, kehadiran Perbup Pemajuan Kebudayaan dirasa sangat penting mengingat banyaknya Cagar Budaya di daerah Sleman. Dengan kondisi itu pula Sleman dikenal dengan sebutan kabupaten seribu candi.

“Regulasi terkait Pemajuan Kebudayaan ini sangat bermanfaat dalam pemanfaatan cagar budaya. Kami tidak hanya menetapkan cagar budaya, ya, tapi juga mengupayakan agar masyarakat bisa memanfaatkan cagar budaya yang sudah ditetapkan,” lanjut Eddy.

Lepas dari belum adanya Perbup Pemajuan Kebudayaan, Edy mengatakan bahwa selama ini pihaknya rutin menjalin komunikasi dengan para stakeholder kebudayaan di Kabupaten Sleman. Selain Candi, Sleman juga kaya akan museum. Menurut Edy, dari 42 museum yang tersebar di DIY, setengahnya ada di Sleman.

“Kami selalu berkoordinasi terkait pembinaan dan pengembangan museum, baik museum pemerintah maupun yang dimiliki swasta atau perorangan. Kami punya Forum Komunikasi Museum Kabupaten Sleman. Setiap bulan, kami bicara soal bagaimana pengembangan museum, bagaimana penyelesaian masalah yang ada, serta bagaimana melakukan promosi bersama-sama,” ungkap Edy.

UU Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan empat langkah strategis pemajuan kebudayaan (yakni perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan) fokus pada 10 unsur kebudayaan. Adat istiadat, bahasa, manuskrip, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, permainan rakyat, ritus, seni, teknologi tradisional, dan tradisi lisan.

Sebagai fasilitator, Edy mengakui bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendirian menerapkan empat langkah strategis pemajuan kebudayaan. Ia perlu bersinergi dengan masyarakat dan pelaku budaya, salah satunya dengan cara memberikan bantuan atau fasilitasi.

“Fasilitasi itu menjadi salah satu tugas pokok pemerintah. Dengan fasilitasi, sanggar-sanggar atau kelompok seni ini bisa bangkit, bisa menciptakan kreativitas, bisa action. Dengan cara itu, upaya pelestarian dan pengembangan (Obyek Pemajuan Kebudayaan) akan berlangsung,” ujar Edy.

Pada 2017, jumlah sanggar dan kelompok seni di Sleman tercatat ada 1.500-an. Saban tahun, kurang lebih 120 sanggar/kelompok seni mendapat fasilitasi dari pemerintah.

“Kelompok wayang, seni tradisional, dan sanggar-sanggar seni itu kami fasilitasi sesuai kemampuan anggaran pemerintah. Sekarang, sanggar-sanggar itu maju, selalu meningkatkan kapasitasnya. Baik dalam hal manajemen organisasi, kualitas pertunjukan, maupun kapasitas anggota-anggotanya.”

Dari cerita di atas kita kita memahami bahwa kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku budaya adalah kunci keberhasilan dalam upaya pemajuan kebudayaan.

Melalui fasilitasi yang diberikan, sanggar-sanggar dan kelompok seni dapat terus berkembang, menciptakan kreativitas, dan memberikan kontribusi yang berarti bagi keberlangsungan kebudayaan lokal. Dengan demikian, kita berharap bahwa upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan akan terus berlanjut untuk generasi mendatang.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis