Menuju konten utama

57 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi saat Bencana Sulawesi Tengah

Terdapat 57 laporan kasus kekerasan seksual berbasis gender dalam masa darurat bencana di Sulawesi Tengah. Kekerasan seksual berbasis gender kerap terjadi karena persepsi masyarakat yang tidak sensitif gender.

57 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi saat Bencana Sulawesi Tengah
Sejumlah warga yang tergabung dalam Jakarta Feminis melakukan aksi saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (1/9/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Kordinator Nasional Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Darurat Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Ita Fatia Nadia menyampaikan, ada 57 laporan kasus kekerasan seksual berbasis gender dalam masa darurat bencana di Sulawesi Tengah.

“Terdapat 57 kasus penganiayaan fisik dan seksual termasuk pemerkosaan yang dilaporkan selama penilaian cepat kekerasan berbasis gender yang dilakukan selama November 2018 hingga Januari 2019,” ujar Ita dalam Seminar “Mendengar Suara Perempuan” di Jakarta, Senin (2/9/2019) dilansir Antara.

Ita menuturkan pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan itu terjadi di fasilitas mandi cuci kakus, area gelap, dan terisolasi, serta di kamp pengungsian dan tenda-tenda.

Di masyarakat, perempuan yang mengalami pemerkosaan merasa tabu dan takut dipermalukan. Mereka khawatir akan kehilangan kehormatan dn dituduh berperilaku buruk.

“Remaja perempuan yang hamil setelah diperkosa berusaha menggugurkan kandungannya, seringkali dengan cara-cara yang tidak aman. Terdapat dua kasus remaja perempuan meninggal karena aborsi yang tidak aman,” tutur Ita.

Saat ini masih banyak kejadian pemerkosaan yang diselesaikan secara adat dan hukuman bagi pelaku hanya membayar denda atau menikahi korban, atau keduanya, sehingga para penyintas yang tidak mau dinikahkan memilih diam.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nyimas Aliah mengatakan, dampak dari kekerasan berbasis gender umumnya dirasakan perempuan dan anak perempuan.

Dalam kasus kebecanaan, Nyimas menuturkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual dalam situasi darurat atau bencana jarang melaporkan kasusnya. Padahal kekerasan seksual adalah masalah seriusa dan mengancam keselamatan jiwa.

“Mayoritas korban dan peyintas kekerasan seksual adalah perempuan sehingga terminologi kekerasan berbasis gender sering digunakan untu menarasikan kekerasan terhadap perempuan,” ungkapnya dalam acara yang sama.

Sementara itu, Perwakilan UNFPA Melania Hidayat menyampaikan bahwa perubahan zaman tidak mengurangi angka kekerasan seksual karena masih banyak orang yang tidak sensitif gender. Menurutnya, kekerasan berbasis gender itu bisa terjadi kapan saja.

“Sayangnya, kasus-kasus tersebut dilanggengkan atau terus terjadi karena persepsi masyarakat atau norma yang berlaku di masyarakat tidak sensitif gender. Akibatnya, kekerasan berbasis gender dianggap sebagai suatu hal yang normal atau biasa terjadi,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Hukum
Reporter: Antara
Penulis: Widia Primastika
Editor: Widia Primastika