tirto.id - Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.
Ketiga hakim itu adalah Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Saldi Isra. Berikut isi dissenting opinion tiga hakim tersebut:
Arief Hidayat
Menurut Arief, tak boleh ada penyelenggara negara yang ikut campur atau cawe-cawe dan memihak kepada salah satu kontestan dalam proses Pemilu 2024. Ia menilai Presiden Joko Widodo telah memihak paslon tertentu.
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga, dari tingkat pusat hingga level daerah, telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," sebutnya saat membacakan dissenting opinion.
Menurut Arief, tindakan Jokowi mencederai sistem keadilan pemilihan umum. Sebab, penyelenggaraan pemilu harus berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Melalui Jokowi dan kroni-kroninya, pemerintah pusat dinilai telah melanggar pemilu secara sistematis dan terstruktur.
"Pada titik inilah pemerintah telah melakukan pelanggaran pemilu secara terstruktur dan sistematis," ucap Arief.
Ia menyatakan, Jokowi seolah-olah ingin mengembangbiakkan politik dinasti usai tak lagi menjabat sebagai presiden. Jokowi disebut hendak mengembangkan virus nepotisme yang mengancam demokrasi.
"Apa yang dilakukan presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit yang berpotensi mengancam tata demokrasi ke depan," urai Arief.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyindir hakim MK lain yang hanya memikirkan hukum dengan pendekatan formal. Padahal, ungkapnya, pendekatan tersebut hanya menghasilkan rumusan yang kaku dan prosedural.
Hakim MK lain disebut seharusnya memikirkan hukum secara berkepanjangan yang menghasilkan rumusan hukum progresif, solutif, serta substantif.
"Semua dalil-dalil dianggap terbukti berlawanan dengan hukum, harusnya dikabulkan," urai Arief.
Enny Nurbaningsih
Dalam dissenting opinion-nya, Enny menilai dalil pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sebab, menurutnya, memang ada ketidaknetralan pejabat negara saat Pilpres 2024.
Karena itu, Enny menilai seharusnya diadakan pemungutan suara ulang. Hal ini dilakukan untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.
"Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut di atas," kata Enny saat membacakan dissenting opinion-nya.
Ia menegaskan, presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk terlibat dalam kampanye. Keduanya juga diperkenankan memberikan atau menyalurkan bansos.
Namun, kata Enny, pemberian bansos kepada masyarakat menjelang pemilu atau saat kampanye berdampak kepada peserta pemilu.
"Dengan pemberian bansos menjelang pemilu dan di masa kampanye, maka dalam batas penalaran yang wajar, hal tersebut tentu berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya ketidaksetaraan," ucapnya.
"Di antara faktor yang mendukung keadaan ini adalah karena ada celah hukum pada aturan pemilu yang tidak jelas, yang kemudian dimanfaatkan," imbuh Enny.
Ia menilai dampak dukungan yang ditampilkan pemberi bansos berkaitan erat dengan salah satu paslon Pilpres 2024. Hal ini kemudian menyebabkan ketidaksetaraan peserta Pilpres 2024.
Padahal, kata Enny, pemilu seharusnya menjadi tempat di mana semua peserta Pilpres 2024 memiliki posisi yang sama.
"Terlebih, terdapat indikasi dukungan yang jelas terhadap satu pasangan calon, maka hal demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak netral dan memberikan keuntungan signifikan bagi pasangan tersebut," tegasnya.
Saldi Isra
Sementara itu, Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menyinggung soal ketidaknetralan penjabat (pj) kepala daerah hingga kepala desa. Menurutnya, ketidaknetralan ini kerap didalilkan oleh para pemohon.
Setelah membaca keterangan Bawaslu RI, ungkapnya, dia menemukan fakta soal netralitas pj. kepala daerah dan kepala desa.
"Saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas pj. kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi, antara lain di Sumatra Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan," urainya.
"Adapun bentuk ketidaknetralan pj kepala daerah, di antaranya berupa penggerakan ASN, pengalokasian sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN," lanjut Saldi.
Kemudian, ada juga pembagian bansos atau bantuan lain kepada masyarakat dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas paslon tertentu.
Lalu, kata Saldi, ada pula temuan soal pemasangan alat peraga kampanye (APK) di kantor-kantor pemerintah daerah, serta ajakan untuk memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah.
Dalam kesempatan itu, ia menyinggung soal kinerja Bawaslu RI yang menghindar untuk memeriksa kasus pelanggaran pemilu. Sebab, Bawaslu RI sempat tak memberitahu kekurangan atas laporan pelanggaran pemilu.
"Saya berkeyakinan bahwa telah terjadi ketidaknetralan sebagian pj kepala daerah, termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil," ungkap Saldi.
"Semuanya ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas. Dengan demikian, dalil pemohon a quo beralasan menurut hukum," imbuhnya.
Berdasar pertimbangan tersebut, Saldi menilai bahwa MK sudah seharusnya meminta agar pemungutan suara ulang dilakukan.
"Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," urai Saldi.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Irfan Teguh Pribadi