tirto.id - Natal tahun ini, Renae Lawrence mendapat pengurangan masa tahanan dua bulan. Salah satu anggota Bali Nine ini akan jadi satu-satunya anggota sindikat bandar narkoba itu yang lolos dari hukuman seumur hidup dan hukuman mati. Ia bahkan bisa bebas pada Mei tahun depan, jika bayar denda Rp 1 miliar, yang setara dengan enam bulan tahanan tambahan. Artinya, kalaupun tidak bebas pada Mei, dia tetap bisa keluar dari bui paling lama November tahun depan.
Lawrence adalah satu-satunya perempuan dalam sindikat itu, sekaligus jadi yang mendapat vonis paling ringan. Dua anggota lainnya, Myuran Sukuraman dan Andrew Chen sudah dieksekusi mati 2015 silam. Sementara anggota lainnya dapat hukuman seumur hidup.
Di Indonesia, menjadi bandar narkoba memang dianggap kejahatan besar yang ancamannya bisa hukuman mati. Belum lagi, perang pada narkoba adalah salah satu kejahatan yang jadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam dua tahun pertama pemerintahannya, tercatat 14 eksekusi mati telah dilakukan. Semua merupakan hukuman dalam kasus narkoba.
Berbeda dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ia mengeksekusi mati 24 orang. Namun, tidak semua eksekusi itu berasal dari kasus narkoba.
Di ASEAN, Indonesia adalah tempat eksekusi mati paling banyak terjadi dalam lima tahun terakhir. Dalam laporan Amnesty International yang dikutip Coalition for the Abolition of Death Penalty in ASEAN (CADPA), angkanya sampai 19 kasus. Disusul Vietnam dengan 14 kasus di tempat kedua. Singapura di posisi ketiga dengan 4 kasus, dan berikutnya Malaysia dengan 3 kasus.
Dari data yang sama, Indonesia punya 135 napi yang menanti hukuman mati. Angka itu membuat Indonesia berada di posisi keempat negara di ASEAN yang punya calon tereksekusi paling banyak. Posisi pertama ada Malaysia dengan 902 kasus, Vietnam dengan 676, dan Myanmar dengan 235. Dari data terbaru milik CADPA, per 12 Oktober 2017, angka itu bahkan bertambah.
Di Indonesia, setidaknya ada 165 orang terpidana mati, 7 di antaranya perempuan, dan sebanyak 42 orang adalah warga negara asing (WNA). Kasus terbanyak adalah pidana umum pembunuhan yang sampai 90 orang. Sementara tertinggi kedua adalah narkoba dengan total 73 orang, dan teroris dengan jumlah 2 orang saja.
Tingginya angka hukuman mati di ASEAN jadi perhatian dunia. Terutama karena kebijakan yang diambil beberapa pemimpin negara kawasan ini, seperti Presiden Jokowi dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Sementara berdasarkan catatan CADPA, semua negara di kawasan ASEAN masih menganut hukum tersebut. Hanya saja, Myanmar, Laos, dan Brunei mulai mengabolisi praktik tersebut.
Dalam dekade terakhir, penolakan atas hukuman mati memang makin nyalang disuarakan. Sejak 2003 silam, 10 Oktober bahkan diperingati sebagai Hari Antihukuman Mati sedunia. Hukuman mati dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Pada dasarnya, ia dianggap melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Belum lagi, hukuman mati bersifat tak bisa ditinjau lagi. Padahal ada kemungkinan proses peradilan yang keliru, dan akhirnya membunuh orang-orang tidak berdosa.
Daniel Awigra dari CADPA menambahkan, bukan cuma pada terpidana mati, efek hukuman mati ini juga membayangi keluarga mereka. Beban psikologi yang diterima keluarga atas vonis dan proses menunggu sampai hukuman mati itu datang jadi faktor paling berat.
Tahun ini, dalam Universal Periodic Review (UPR)—hajatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengulas kondisi HAM di negara-negara anggotanya—penghapusan hukuman mati juga jadi salah satu saran untuk Indonesia. Yunianti Chuzaifah, Komisioner Komisi Nasional Perempuan, yang hadir di sana juga merasa saran itu tepat untuk diterapkan. Dalam acara diskusi membahas rekomendasi UPR yang diadakan Human Right Working Group (HRWG) Juli lalu, Yuni juga menggarisbawahi beban keluarga dalam penerapan hukuman mati di Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya, hukuman mati tidak hanya akan berdampak pada individu yang mendapat hukuman, tapi juga pada keluarganya.
“Bukan cuma psikologi menanggung malu dan sebagainya, dari segi uang, mereka juga rugi,” kata Yuni. “Kami pernah bertemu dengan keluarga yang sebenarnya miskin dan harus menjual perahu, rumah—mereka nelayan—untuk membiayai ustaz, berdoa bersama, mengundang tetangga dan lain-lain. Jadi kalau dari perspektif HAM, kami menyarankan pemerintah untuk mengikuti rekomendasi (UPR)."
Komnas Perempuan juga mengkhawatirkan ancaman hukuman mati yang membayangi para pekerja migran Indonesia. Per April 2015, ada 228 WNI terancam hukuman mati di berbagai negara: Arab Saudi 36 orang, Malaysia 168 orang, RRC 16 orang, Singapura 4 orang, Laos 2 orang, UEA 1 orang, Vietnam 1 orang.
Faktor lain yang membuat hukuman mati masih perlu dihapuskan adalah ongkos praktik ini. Membunuh manusia tidaklah murah. Di Indonesia, di mana hukuman mati dilakukan dengan cara tembak mati oleh regu tembak, negara setidaknya mengeluarkan biaya Rp200 juta per orang.
Biaya itu digunakan untuk mengongkosi para eksekutor, petugas kerohanian yang membantu menenangkan para terpidana, keluarga terpidana, dan ongkos pemakaman. Pada eksekusi 2015 lalu, saat Sukuraman dan Chen jadi salah satu yang dieksekusi, Kejaksaan Agung membutuhkan Rp1,2 miliar untuk mengeksekusi enam orang.
Meskipun demikian, dalam catatan CADPA, hukuman mati masih dianggap populer oleh masyarakat. Sekitar 91 persen masyarakat Vietnam, 76 persen masyarakat Singapura, dan 85 persen masyarakat Indonesia bahkan setuju dengan penerapan hukuman mati. Sekitar 85 persen masyarakat Vietnam, 79 persen masyarakat Singapura, dan 71 persen masyarakat Indonesia menganggap penerapan hukuman mati di negara masing-masing sudah cukup adil.
Hal tersebut yang menurut Daniel akhirnya masih membuat pemerintah percaya diri untuk tetap memberlakukan hukuman tersebut di tanahnya. Padahal, efek jera yang diharapkan hadir karena adanya hukuman mati, tak pernah terbukti mengurangi tindak kejahatan yang ada.
Seree Nonthasoot, ahli hukum internasional dalam konferensi regional tentang situasi hukuman mati di ASEAN, Kamis lalu menyarankan untuk menggenjot penerapan hukuman mati di Asia Tenggara lewat Sustainable Development Goals alias SDGs. Program tersebut adalah inisiasi PBB dalam hal pengentasan kemiskinan dan peningkatan mutu hidup sebuah negara. Menurutnya, negara-negara pengadopsi hukuman tersebut lama-lama akan beradaptasi dengan negara lain lewat SDGs.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah terus menuntut transparansi dari lembaga pemasyarakatan. Tentang jumlah tereksekusi mati, kriminalitas yang didakwakan, dan bagaimana mereka diperlakukan. Hal ini akan membuat lembaga pemerintahan lebih awas tentang isu hukuman mati.
Gloria Lai, Director Regional Internasional Drug Policy Consortium, dalam acara yang sama juga sangat menyayangkan penerapan hukuman mati yang masih aktif di kawasan ASEAN. Ia menyoroti kebijakan tegas Indonesia dan Filipina yang menggunakan hukuman mati sebagai konsekuensi dari penyalahgunaan narkoba. “Aturan ini bahkan bukan datang dari sini (ASEAN). Ia datang dari AS sekitar 1970-an lalu. Gagasan bahwa narkoba adalah musuh utama bangsa,” katanya. Sehingga, negara merasa perlu membunuh orang-orang yang jadi musuh utama bangsa.
Bagi Gloria, ini sebuah ironi, karena kini negara-negara di Amerika dan Eropa justru getol untuk menghilangkan hukuman mati sebagai opsi.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti