tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Januari hingga November 2023 mencapai 1.290 kasus.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, berujar pihaknya mendapatkan angka seribuan kasus itu dari pihak korban yang melaporkan melalui layanan pengaduan kasus kekerasan SAPA 129.
"Dari kasus-kasus yang kami terima sampai November [2023], ada 1.290 kasus [kekerasan terhadap perempuan dan anak]," ungkap Ratna di Gedung Kementerian PPPA, Jakarta Pusat, Jumat (5/1/2024).
Ia menyebutkan, sebanyak 1.290 kasus itu melibatkan 1.332 korban. Kementerian PPPA, kata Ratna, menyelesaikan 1.090 kasus di antara 1.290 kasus yang ada.
Sementara itu, sebanyak 200 kasus lain tak begitu saja ditinggalkan oleh Kementerian PPPA. Sebanyak 200 kasus kekerasan masih ditangani hingga saat ini.
Namun, penyelesaiannya memang membutuhkan waktu. Sebab, ratusan kasus itu melibatkan lebih dari satu pihak untuk dikomunikasikan atau dimediasi.
"200 [kasus kekerasan] di antaranya masih proses karena banyak juga kasus-kasu yang terkait antar-daerah, antar-lembaga," terang Ratna.
Menurut dia, dari 1.290 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, kasus yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jenis KDRT yang dilakukan melibatkan fisik.
Kasus paling banyak kedua, yakni kekerasan secara daring (online). Ratna menyebutkan, peningkatan kasus kekerasan secara online terjadi seiringan dengan perkembangan teknologi di Tanah Air.
Kemudian, kasus kekerasan seksual juga mendominasi di antara 1.290 kasus kekerasan yang ada. Berdasarkan data, korban kekerasan seksual paling banyak adalah anak-anak.
"Yang terakhir kekerasan seksual, [korban] lebih banyak adalah anak," kata Ratna.
Sementara itu, Menteri PPPA Bintang Puspayoga menyebutkan bahwa pihaknya juga fokus dalam menangani kasus tindak pidana penjualan orang (TPPO) yang melibatkan perempuan dan anak.
Ia mengakui, Ketua Satgas Pemberantasan TPPO tak lagi diempu oleh Kementerian PPPA. Kini, satgas itu dipimpin oleh Polri. Namun, Kementerian PPPA tetap memiliki andil dalam mencegah TPPO perempuan dan anak.
"TPPO akan menjadi penting juga bagaimana kita tidak hanya bicara di hilirnya, tapi juga pencegahan itu akan menjadi penting," kata Bintang di lokasi yang sama.
Ia menyebutkan, andil Kementerian PPPA dalam kasus TPPO adalah berkoordinasi antar kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah.
Politikus PDIP itu pun mengapresiasi pemerintah daerah Kupang, NTT, yang memiliki peraturan desa (perdes) terkait pencegahan TPPO.
"Kami melihat praktik, yang terjadi di kupang, itu mulai dikuatkan dari perdes, perdes pencegahan dari pada trafficking ini. Kondisi para suster peti mati menerima jasad, jenazah, yang tidak jelas nama dan dikembalikan dari negara tujuan. Ini memang sangat miris," urai Bintang.
Di satu sisi, ia meminta setiap kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah terus fokus mencegah TPPO. Sebab, menurut Bintang, pencegahan kasus TPPO hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah lembaga eksekutif.
"Mungkin menjadi PR-PR yang harus menjadi kekuatan kami bersama, lintas kementerian, gugus tugas, demikian gugus daerah, harus punya komitmen bergerak bersama dalam pencegahan TPPO ini," kata Bintang.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Bayu Septianto