Menuju konten utama

100 Hari Jokowi-Maruf: YLBHI Nilai Kondisi Hukum dan HAM Memburuk

YLBHI mengkritik kinerja 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin lantaran kondisi kondisi penegakan hukum dan keamanan makin memburuk.

100 Hari Jokowi-Maruf: YLBHI Nilai Kondisi Hukum dan HAM Memburuk
Sejumlah warga memberikan tanda tangan di kantor LBH sebagai bentuk dukungan kepada lembaga tersebut pasca terjadi penyerangan di kantor LBH, Jakarta, Senin (25/09/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik kinerja 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin lantaran kondisi kondisi penegakan hukum dan keamanan makin memburuk.

"Kondisi hukum dan hak asasi manusia terus memburuk seiring dengan pengabaian Konstitusi. Hal ini mengindikasikan yang akan terjadi selama lima tahun masa pemerintahan Jokowi–Ma’ruf," kata Kadiv Advokasi YLBHI M. Isnur dalam keterangan tertulisnya, Kemarin (29/1/2020).
YLBHI mencatat setidaknya ada 9 indikator yang menunjukkan memburuknya penegakan hukum dan keamanan tersebut.

Pertama, pendekatan keamanan dengan perluasan definisi radikalisme menjadi intoleransi dalam surat keputusan bersama 11 kementerian dan lembaga tentang radikalisme serta masuknya TNI dalam pelibatan persoalan keamanan.

Kemudian, pemerintah terkesan membungkam kebebasan sipil. Hal tersebut terungkap lewat pernyataan Jokowi yang intimidatif dengan meminta BIN dan POLRI “mendekati” Ormas yang menolak Omnibus Law.

Hal ini dinilai hanya bahkan melanjutkan kebijakan periode sebelumnya di mana dalam catatan LBH-YLBHI 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum.

Data ini belum termasuk 21 orang yang ditangkap saat buruh melakukan aksi pada pidato Presiden 16 Agustus 2019.

Ketiga, Jokowi mengembalikan dwifungsi TNI-Polri, meski sudah dilarang oleh TAP MPR VI/2000, dengan melibatkan kembali TNI-Polri di kementerian.
Kemudian pemerintah Jokowi dianggap melanggngkan impunitas penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

YLBHI mengacu kepada tidak adanya langkah penyidikan untuk melanjutkan penyelidikam pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM.

Selain itu, Jokowi juga tidak menjadikan HAM sebagai agenda utama. Hal tersebut diperparah dengan pernyataan Menteri-menteri pilihan Jokowi konsisten pula dengan pengabaian HAM.

Hal tersebut diperkeruh dengan pernyataan pembantu presiden yang tidak pro penegakan HAM masa lalu.

"Menkopulhukam mencoba memelintir tentang apa yang disebut pelanggaran HAM dengan mengatakan tidak ada pelanggaran HAM di Era Jokowi. Demikian pula Jaksa Agung yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat," Kata Isnur.
Pemerintah juga dianggap berencana merampok hak rakyat demi segelintir orang. Rencana omnibus law pemerintah diklaim sebagai pengabaian hak rakyat dan lingkungan.

"Omnibus Law juga berencana menghapus berbagai hak normatif buruh yang artinya akan makin mengurangi kualitas hidup buruh dan keluarganya," kata Isnur.

Lalu, pemerintah dianggap mengabaikan partisipasi publik, misalnya, dalam rencana pemindahan ibukota serta penyusunan omnibus law.

Kemudian, pemerintah melakukan operasi militer illegal di Papua. Setidaknya daerah Kabupaten Timika, Paniai, Puncak Papua, Puncak Jaya dan Intan Jaya menjadi contoh penurunan pasukan yang diikuti korban jiwa.

Kemudian, pemerintah dianggap memperlemah pemberantasan korupsi. Presiden tidak kunjung menerbitkan Perppu KPK sebagai pengganti revisi UU KPK yang melemahkan KPK serta tak bersikap dalam kasus Menkumham Yasonna yang dianggap melakukan tindakan melanggar etika sebagai Menteri dan terindikasi terlibat dalam penghalang-halangan proses peradilan.
"Atas fakta-fakta di atas, YLBHI-LBH berkesimpulan bahwa 100 hari Jokowi-Ma’ruf menunjukkan makin jelasnya perampasan hak-hak rakyat yang dapat mengarah pada kondisi ekstrim demi memfasilitasi segelintir orang untuk mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya, di atas pembangkangan hukum dan hak asasi manusia," tulisnya.

"Pencabutan hak rakyat dan Demokrasi di depan mata," pungkas Isnur.

Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman mengklarifikasi menjawab sejumlah kritik yang dilontarkan YLBHI atas kinerja 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Maruf.

Pertama, pemerintah kini tengah berusaha menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu lewat rancangan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR).

"Dalam rekomendasi ruu KKR nanti sangat dimungkinkan adanya rekomendasi lewat pengadilan HAM tetap dilaksanakan," kata Fadjroel di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.

Kemudian, pemerintah membantah menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Presiden, kata Fadjroel, taat hukum sehingga tidak mungkin ada dwifungsi ABRI di periode kedua.

"Tidak akan pernah ada hal seperti itu terjadi sepanjang di dalam konstitusi ada di dalam uu di dalam perundang-undangan, tidak akan pernah ada yang bisa dilanggar oleh presiden karena negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan," ujar Fadjroel.

Ketiga, pemerintah juga mengakomodir penolakan tentang omnibus law. Pemerintah masih butuh masukan untuk omnibus law. Fadjroel juga membantah kalau pemerintahan Jokowi-JK membungkam ekspresi publik.
"Tidak benar. buktinya tidak ada seorang pun yang ditangkap karena mengkritiik pemerintah," kata Fadjroel.

Baca juga artikel terkait JOKOWI-MARUF atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Hendra Friana